Penulis Agus Arif Rakhman M.M CPSp
1. Pendahuluan
Lanskap regulasi berusaha di Indonesia terus bergerak dinamis, didorong oleh semangat efisiensi dan peningkatan iklim investasi. Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) menandai sebuah era baru dalam birokrasi perizinan. PP ini, sebagai penyempurnaan dari regulasi sebelumnya, secara fundamental mengubah paradigma dari perizinan yang bersifat prosedural menjadi perizinan berbasis evaluasi risiko, dengan harapan dapat mempercepat proses dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Namun, di balik tujuan mulia ini, terdapat implikasi yang signifikan dan seringkali luput dari perhatian, khususnya pada sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah maupun swasta.
Pengadaan barang dan jasa, sebagai urat nadi operasional pemerintah dan penggerak ekonomi swasta, sangat bergantung pada legalitas dan kepatuhan pelaku usaha yang menjadi penyedianya. Perubahan mendasar dalam sistem perizinan berusaha ini secara otomatis akan merestrukturisasi bagaimana entitas-entitas pengadaan berinteraksi dengan para penyedia, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan kontrak. Artikel ini akan menganalisis secara mendalam bagaimana PP 28 Tahun 2025, dengan ratusan pasalnya, menyisipkan dampak-dampak substansial pada prosedur pengadaan barang dan jasa, memaksa para pemangku kepentingan untuk beradaptasi dengan realitas regulasi yang baru.
2. Permasalahan atau Isu Pokok
Inti permasalahan yang diangkat oleh PP 28 Tahun 2025 adalah penyederhanaan perizinan berusaha melalui pendekatan berbasis risiko. Ini berarti, "tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki Izin, di samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan Pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan Pengawasan". Konsekuensinya, jenis legalitas yang dimiliki oleh pelaku usaha akan bervariasi, mulai dari sekadar Nomor Induk Berusaha (NIB) hingga Izin yang terverifikasi. Isu pokoknya adalah: bagaimana keragaman bentuk legalitas ini, yang menjadi cermin tingkat risiko usaha, akan memengaruhi proses evaluasi kualifikasi penyedia dalam pengadaan barang dan jasa?
Selama ini, sistem pengadaan seringkali berpegang pada daftar panjang izin-izin usaha sebagai prasyarat standar. Dengan adanya kategorisasi risiko dan jenis perizinan yang berbeda, timbul pertanyaan kritis:
Apakah semua jenis perizinan baru ini akan diakomodasi secara adil dalam sistem pengadaan?
Bagaimana unit pengadaan dapat memverifikasi kepatuhan penyedia yang legalitasnya hanya berupa "pernyataan kesanggupan" atau "Sertifikat Standar yang belum terverifikasi"?
Bagaimana pula dengan aspek pengawasan dan sanksi yang kini terintegrasi dalam sistem perizinan, akan memengaruhi penilaian kinerja penyedia?
Perubahan ini menuntut tinjauan ulang terhadap Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta berbagai kebijakan pengadaan internal entitas swasta, agar tetap relevan dan tidak menjadi hambatan dalam implementasi PP PBBR.
3. Analisis Empiris dan Normatif
PP 28 Tahun 2025 memberikan fondasi hukum yang kuat untuk perubahan ini. Beberapa pasal kunci secara langsung memengaruhi prosedur pengadaan:
a. Fragmentasi Legalitas Usaha Berbasis Risiko: PP ini mengklasifikasikan kegiatan usaha berdasarkan tingkat risiko menjadi rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi. Setiap tingkat risiko memiliki jenis perizinan yang berbeda:
Risiko Rendah: Cukup memiliki NIB. NIB ini juga berlaku sebagai Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).
Risiko Menengah Rendah: Wajib memiliki NIB dan Sertifikat Standar. Sertifikat Standar ini adalah "legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha".
Risiko Menengah Tinggi: Wajib memiliki NIB dan Sertifikat Standar yang telah diverifikasi. Pelaku usaha membuat "pernyataan melalui Sistem OSS untuk memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha dan kesanggupan untuk dilakukan verifikasi".
Risiko Tinggi: Wajib memiliki NIB dan Izin. NIB hanya untuk persiapan kegiatan usaha, sedangkan Izin diperlukan untuk operasional/komersial.
Implikasinya terhadap pengadaan sangat jelas. Sebuah entitas pengadaan tidak lagi dapat semata-mata meminta "izin usaha" secara generik. Mereka harus memahami jenis izin yang relevan dengan tingkat risiko penyedia. Misalnya, untuk pengadaan jasa konsultansi (seringkali berisiko rendah-menengah rendah), persyaratan perizinan mungkin hanya sebatas NIB atau NIB plus Sertifikat Standar yang tidak perlu diverifikasi. Namun, untuk pengadaan konstruksi besar atau produk farmasi (risiko tinggi), Izin yang telah diverifikasi menjadi keharusan.
b. Sentralisasi dan Otomatisasi Melalui Sistem OSS: PBBR dilaksanakan secara elektronik dan terintegrasi melalui Sistem OSS. Pasal 188 menegaskan bahwa Sistem OSS wajib digunakan oleh "kementerian/lembaga; pemerintah provinsi; pemerintah kabupaten/kota; Administrator KEK; Badan Pengusahaan KPBPB; dan Pelaku Usaha". Lebih lanjut, "setiap penerbitan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU harus disampaikan kepada Pelaku Usaha hanya melalui Sistem OSS setelah melalui proses tahapan verifikasi oleh kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangan masing-masing".
Ini adalah langkah maju dalam transparansi dan efisiensi. Bagi unit pengadaan, verifikasi legalitas penyedia akan lebih mudah dan cepat melalui integrasi sistem. Namun, ini juga menuntut unit pengadaan untuk memiliki akses dan pemahaman yang memadai terhadap Sistem OSS, serta kemampuan untuk menginterpretasikan informasi legalitas yang disajikan. Proses manual verifikasi dokumen fisik seharusnya dapat diminimalisir, beralih ke verifikasi digital yang lebih akurat.
c. PB UMKU dan Standardisasi Produk/Jasa: Pasal 135 ayat (6) menegaskan bahwa PB UMKU diperlukan dalam rangka:
Peredaran produk.
Kelayakan operasi.
Standardisasi produk/jasa.
Kelancaran kegiatan usaha selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.
Pasal ini sangat relevan dengan pengadaan barang dan jasa. Sebagai contoh, pengadaan produk makanan harus memastikan penyedia memiliki PB UMKU yang terkait dengan peredaran produk dan standardisasi mutu, seperti sertifikasi halal atau standar keamanan pangan. Pengadaan jasa transportasi memerlukan PB UMKU yang menjamin kelayakan operasi. Unit pengadaan kini harus mengidentifikasi PB UMKU spesifik yang relevan dengan barang/jasa yang akan diadakan, bukan hanya izin usaha umum. Kegagalan dalam hal ini dapat menimbulkan risiko hukum dan reputasi.
Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (1) huruf d secara eksplisit menyatakan "pengadaan peralatan atau sarana" sebagai salah satu kegiatan dalam subtahapan persiapan untuk menjalankan usaha. Ini menunjukkan bahwa pengadaan barang (peralatan atau sarana) adalah bagian integral dari proses memulai dan menjalankan usaha yang diatur oleh PP ini. Kepatuhan terhadap standar dan perizinan yang terkait dengan peralatan dan sarana yang diadakan akan sangat penting.
d. Peran Pengawasan yang Terintegrasi: Bab VII PP ini secara detail mengatur Pengawasan PBBR, yang dilakukan secara rutin dan insidental. Pengawasan ini bertujuan "memastikan kepatuhan pemenuhan ketentuan persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU" dan "memastikan perkembangan realisasi dan pemenuhan kewajiban Penanaman Modal". Hasil pengawasan ini akan memengaruhi profil pelaku usaha dengan kategori "sangat baik", "baik", "kurang baik", atau "tidak baik".
Ini merupakan informasi krusial bagi unit pengadaan. Profil kepatuhan penyedia yang terekam dalam Sistem OSS dapat menjadi indikator kinerja dan risiko dalam proses pemilihan penyedia. Penyedia dengan profil "tidak baik" akibat pelanggaran PB atau PB UMKU, bahkan jika belum dikenai sanksi pencabutan, dapat menjadi pertimbangan penting dalam evaluasi risiko pengadaan. Kebijakan pengadaan di masa depan perlu mempertimbangkan integrasi data profil kepatuhan dari OSS untuk penilaian kualifikasi penyedia.
Sebagai contoh konkret, jika merujuk pada Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diterbitkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), perluasan kriteria kualifikasi penyedia dapat memasukkan "profil kepatuhan PBBR" sebagai salah satu elemen evaluasi, melengkapi persyaratan izin usaha yang ada. Pasal 246 ayat (1) menegaskan bahwa kementerian/lembaga menyusun NSPK sebagai pedoman pelaksanaan inspeksi lapangan rutin yang memuat bobot kualitatif dan penilaian kepatuhan Pelaku Usaha. Ini akan menjadi acuan dalam menilai apakah pengadaan barang dan jasa yang dilakukan sudah sesuai dengan standar yang berlaku.
e. Penyelenggaraan Industri dan Lokasi Usaha: Pasal 151 ayat (1) mengatur bahwa "kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a wajib berlokasi di kawasan industri". Namun, terdapat pengecualian seperti berlokasi di daerah yang belum memiliki kawasan industri, atau termasuk klasifikasi industri kecil dan menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Ini penting dalam pengadaan barang dari sektor industri, karena legalitas lokasi usaha penyedia harus diverifikasi. Pembelian dari penyedia yang tidak memenuhi ketentuan lokasi dapat menimbulkan risiko hukum dan lingkungan bagi pengguna barang tersebut.
f. Sanksi Administratif yang Bervariasi: Pasal 355 ayat (2) menguraikan berbagai jenis sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar PBBR, meliputi "peringatan; penghentian sementara kegiatan usaha; pengenaan denda administratif; pengenaan daya paksa polisional; pencabutan lisensi/sertifikasi/persetujuan; dan/atau pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU". Tingkat sanksi ini akan memengaruhi status legalitas penyedia. Unit pengadaan perlu memiliki mekanisme untuk memantau status sanksi penyedia, karena sanksi dapat membatalkan atau menangguhkan kemampuan penyedia untuk memenuhi kewajiban kontrak.
4. Contoh Kasus atau Studi Pendukung (Ilustratif)
Meskipun PP 28 Tahun 2025 masih tergolong baru, pengalaman dari implementasi PP 5 Tahun 2021 (yang digantikan) telah menunjukkan beberapa dinamika. Misalnya, di awal implementasi PBBR, banyak pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) yang sebelumnya tidak memiliki izin formal, kini hanya perlu mendaftarkan NIB. Pasal 234 ayat (1) secara eksplisit menyebutkan bahwa "pelaku UMK mendapatkan NIB melalui Sistem OSS, sebagai identitas dan legalitas usaha". Hal ini membuka peluang bagi UMK untuk berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah yang sebelumnya sulit dijangkau karena persyaratan perizinan yang kompleks.
Namun, di sisi lain, beberapa unit pengadaan masih ragu-ragu dalam menerima NIB sebagai satu-satunya legalitas untuk penyedia UMK, terutama untuk pengadaan barang/jasa dengan risiko menengah. Data dari LKPP menunjukkan peningkatan partisipasi UMK dalam pengadaan sejak adanya NIB, namun belum semua Pokja Pemilihan memahami sepenuhnya implikasi PBBR pada persyaratan kualifikasi. Ini menggarisbawahi kebutuhan akan sosialisasi dan panduan teknis yang lebih masif dari otoritas pengadaan.
5. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan
Melihat implikasi yang luas, beberapa rekomendasi kebijakan dapat diajukan:
Penyelarasan Regulasi Pengadaan: LKPP perlu segera mengeluarkan panduan atau merevisi Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk secara eksplisit mengakomodasi jenis-jenis perizinan berbasis risiko yang diatur dalam PP 28 Tahun 2025. Ini termasuk kejelasan mengenai penerimaan NIB, Sertifikat Standar (terverifikasi maupun belum), dan Izin, sesuai dengan tingkat risiko barang/jasa yang diadakan. Peraturan Kementarian Keuangan terkait perpajakan dan PNBP juga perlu diselaraskan dengan rezim perizinan baru ini.
Integrasi Sistem Informasi: Diperlukan integrasi yang lebih dalam antara Sistem OSS dengan Sistem Pengadaan Pemerintah (SPSE) atau sistem pengadaan entitas swasta. Integrasi ini harus memungkinkan unit pengadaan untuk secara otomatis memverifikasi legalitas dan profil kepatuhan penyedia secara real-time. Pasal 613 ayat (5) menegaskan bahwa Sistem OSS terintegrasi secara elektronik dengan sistem di kementerian/lembaga.
Peningkatan Kapasitas SDM Pengadaan: Pelatihan intensif harus diberikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Pokja Pemilihan, dan bagian pengadaan di sektor swasta mengenai pemahaman PBBR, tingkat risiko usaha, jenis-jenis perizinan baru, serta cara memverifikasinya melalui Sistem OSS.
Transparansi dan Data Kinerja Penyedia: Pemerintah perlu mendorong pemanfaatan data profil kepatuhan penyedia dari Sistem OSS sebagai salah satu kriteria evaluasi kinerja penyedia dalam pengadaan. Hal ini dapat menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk senantiasa mematuhi regulasi dan menjaga kualitas layanannya. Pasal 249 ayat (1) menyebutkan bahwa Sistem OSS melakukan pengolahan data penilaian kepatuhan Pelaku Usaha guna menentukan profil Pelaku Usaha dengan kategori: sangat baik, baik, kurang baik, atau tidak baik.
Kebijakan Afirmatif bagi UMK: Mengingat kemudahan perizinan bagi UMK, kebijakan pengadaan dapat lebih proaktif dalam memfasilitasi partisipasi mereka, misalnya melalui pelatihan khusus atau alokasi persentase tertentu dalam pengadaan barang/jasa yang sesuai dengan kapasitas dan risiko usaha UMK. Pasal 233 ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa "UMK diberikan kemudahan perizinan berusaha melalui perizinan tunggal".
6. Penutup
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 bukan sekadar perubahan administratif, melainkan sebuah transformasi fundamental dalam cara berusaha di Indonesia. Dampaknya pada prosedur pengadaan barang dan jasa sangat signifikan, menuntut adaptasi cepat dari seluruh ekosistem pengadaan. Dengan pemahaman yang mendalam tentang PBBR, penyelarasan regulasi, peningkatan kapasitas SDM, dan pemanfaatan teknologi informasi secara optimal, kita dapat memastikan bahwa revolusi perizinan ini benar-benar membawa kemudahan berusaha tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas, integritas, dan efisiensi dalam setiap tahapan pengadaan barang dan jasa nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar