Audit E-Purchasing di Era Digital: Melampaui Pola Tender, Menuju Verifikasi Nilai dan Integritas di Pasar E-Katalog
Penulis Agus Arif Rakhman M.M CPSp
Abstrak Eksekutif : Ratusan triliun rupiah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kini dibelanjakan melalui E-purchasing via katalog elektronik (e-katalog), sebuah lompatan efisiensi pengadaan pemerintah. Namun, ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerapkan kacamata audit tender tradisional dan menandai pola transaksi wajar dalam e-katalog—seperti pembelian produk baru tayang, transaksi berulang, hingga pembelian saat harga naik—sebagai "anomali" yang mencurigakan, kita berisiko mematikan dinamisme pasar digital itu sendiri. Paper ini berargumen bahwa pendekatan audit BPK perlu bergeser dari sekadar deteksi pola berbasis tender menuju verifikasi substansi: memastikan value for money tercapai, integritas terjaga, dan prosedur E-purchasing dipatuhi, sesuai amanat SPKN. Fokus pada pola usang berisiko menciptakan efek kekhawatiran (chilling effect) dan menghambat kematangan ekosistem pengadaan digital Indonesia, padahal kompetensi dalam memahami pasar digital adalah kunci.
1. Pendahuluan: Paradoks Pengawasan di Pasar Digital Pemerintah
E-purchasing melalui e-katalog telah menjadi tulang punggung modernisasi pengadaan barang/jasa (PBJ) pemerintah Indonesia, dirancang untuk efisiensi, kecepatan, dan transparansi akses produk/harga. BPK, sebagai lembaga audit negara, memiliki mandat vital untuk memastikan akuntabilitas setiap rupiah yang dibelanjakan. Namun, temuan BPK yang mengkategorikan beberapa pola transaksi E-purchasing sebagai "anomali" menunjukkan adanya potensi disrupsi pemahaman: logika audit yang terbiasa dengan risiko dalam sistem tender tertutup kini diterapkan pada ekosistem marketplace e-katalog yang dinamis dan terbuka.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK sendiri (Peraturan BPK No 1 Tahun 2017), khususnya PSP 100 paragraf 13-17, menekankan pemeriksaan yang independen, objektif, dan profesional untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi pengelolaan keuangan negara. Fokus utama seharusnya adalah memastikan substansi akuntabilitas tercapai: negara menerima barang/jasa sesuai spesifikasi, harga wajar (value for money), tidak ada transaksi fiktif, gratifikasi, suap, atau penyalahgunaan wewenang lainnya. Paper ini akan membantah enam "anomali" yang diidentifikasi BPK, dengan argumentasi bahwa pola-pola tersebut seringkali merupakan fenomena pasar yang wajar dan efisien dalam konteks e-katalog, dan bahwa fokus audit BPK perlu disesuaikan agar sejalan dengan SPKN dan realitas pasar digital, sambil mengakui pentingnya kompetensi khusus bagi pemeriksa dalam memahami dinamika ini.
2. Membedah "Anomali": Perspektif Ekonomi Pasar vs. Logika Tender
Berikut adalah analisis terhadap enam isu yang dianggap anomali oleh BPK, dilihat dari kacamata ekonomi pasar e-katalog:
Isu 1: Pembelian Produk Baru Tayang
Logika BPK (Tender): Produk muncul tiba-tiba saat dibutuhkan, mencurigakan, mungkin "pesanan".
Logika E-Katalog (Pasar): Pasar dinamis, penyedia terus menambah produk. Penayangan baru adalah respons penyedia terhadap sinyal permintaan (RUP yang transparan) atau inovasi produk. Pembeli memilih opsi terbaik saat itu, termasuk produk baru jika paling sesuai & efisien.
Analogi: Mencurigai supermarket yang baru saja menata produk roti model terbaru di rak pajangan, lalu Anda membelinya karena memang mencari roti jenis itu.
Contoh Konkret: Sebuah universitas membutuhkan laptop generasi terbaru (sesuai RUP). Vendor menayangkan model terbaru di e-katalog mendekati jadwal pengadaan. Universitas membelinya via E-purchasing karena spesifikasinya paling sesuai kebutuhan riset terkini dan harganya wajar setelah negosiasi. Ini efisiensi pemanfaatan teknologi baru.
Isu 2: Transaksi Berulang ke Penyedia Tertentu
Logika BPK (Tender): Pengulangan vendor bisa jadi indikasi favoritisme/kolusi.
Logika E-Katalog (Pasar): Rasionalitas ekonomi untuk mengurangi biaya transaksi (pencarian, negosiasi, pemantauan). Implementasi prinsip VMS (Vendor Management System) berdasarkan kinerja memuaskan sebelumnya (kualitas, waktu, layanan). Efisien dan lumrah selama harga wajar & tak ada korupsi.
Analogi: Anda selalu membeli kopi di kedai langganan karena rasanya pas, pelayanannya cepat, dan harganya sesuai, daripada harus mencoba kedai baru setiap hari.
Contoh Konkret: Dinas Kesehatan rutin membeli reagen lab dari Penyedia A via e-katalog karena hanya A yang konsisten menjaga cold chain pengiriman dan menyediakan certificate of analysis per batch, krusial untuk validitas hasil tes. Mengganti vendor berisiko tinggi terhadap kualitas pengujian.
Isu 3: Transaksi Saat Harga Naik
Logika BPK (Tender): Kenaikan harga dianggap potensi mark-up atau pengaturan.
Logika E-Katalog (Pasar): Harga di pasar dinamis, dipengaruhi supply-demand, biaya input (kurs, bahan baku), inflasi. Harga tayang adalah plafon, dan pembelian saat harga pasar naik bisa jadi keputusan rasional karena urgensi atau menghindari kenaikan lebih lanjut. Fokus pada kewajaran harga saat itu dan negosiasi.
Analogi: Anda tetap membeli tiket pesawat meskipun harganya naik saat musim liburan karena memang harus bepergian saat itu; harga tersebut adalah harga pasar yang berlaku.
Contoh Konkret: BPBD membeli terpal via e-katalog saat musim hujan meskipun harga tayang naik 10% dari bulan lalu. Kenaikan ini wajar karena permintaan tinggi (faktor pasar), dan kebutuhan terpal mendesak untuk antisipasi bencana. Harga akhir tetap dinegosiasikan.
Isu 4: Penyusunan Referensi Harga Tidak Memadai
Logika BPK (Tender): Referensi lemah = potensi kemahalan yang tidak terdeteksi.
Logika E-Katalog (Pasar): Ini kewenangan PPK/PP dengan fleksibilitas sumber data (tak ada rumus baku), tujuannya alat negosiasi bukan HPS tender. Penilaian "tidak memadai" bersifat subjektif, lebih sering cerminan isu kompetensi pelaku atau keterbatasan data pasar untuk produk spesifik, bukan otomatis anomali fraud. Fokus pada dokumentasi, justifikasi, dan penggunaan referensi dalam negosiasi.
Analogi: Anda ingin menawar harga mobil bekas. Anda mengecek harga di beberapa situs online dan bertanya ke teman sebagai referensi. Referensi Anda mungkin tidak "sempurna" (tidak punya data harga dealer resmi), tapi cukup sebagai dasar menawar. Yang penting Anda punya referensi dan menggunakannya.
Contoh Konkret: PPK membeli suku cadang mesin khusus dari ATPM via e-katalog. Referensi harga dibuat dari harga tahun lalu + inflasi, karena tidak ada pembanding lain. Ini dapat dipertanggungjawabkan meski sumbernya terbatas. Audit harus melihat logisnya estimasi dan upaya negosiasi.
Isu 5: Pengadaan Produk Spesifik/Kustom di E-Katalog
Logika BPK (Tender): Barang kustom seharusnya via tender, e-katalog untuk barang standar.
Logika E-Katalog (Pasar): E-katalog bisa mengakomodasi produk spesifik/konfigurasi selama tayang transparan (spesifikasi & harga plafon jelas). Ini lebih transparan dari tender tertutup dan mendorong terbentuknya pasar niche. Prosedur E-purchasing (referensi harga, negosiasi) tetap berlaku.
Analogi: Anda membeli komputer rakitan di toko online, memilih sendiri komponen spesifik (CPU, RAM, VGA) dari opsi yang disediakan; ini 'kustom' tapi dalam platform pasar standar.
Contoh Konkret: Pemda memesan ambulans via e-katalog dari karoseri yang menawarkan paket modifikasi interior sesuai standar Dinkes (tata letak oksigen, brankar, dll) pada basis mobil tertentu. Spesifikasi modifikasi dan harga paketnya tayang jelas. Ini efisien daripada tender ambulans jadi utuh.
Isu 6: Pembuatan Paket, Penayangan Produk, dan Input Kontrak Berdekatan Waktunya
Logika BPK (Tender): Proses terlalu cepat mencurigakan, terkesan sudah diatur.
Logika E-Katalog (Pasar): Ini konsekuensi logis efisiensi jika didahului perencanaan (RUP) transparan dan respons pasar cepat dari penyedia. E-purchasing memang dirancang untuk memangkas waktu. Kedekatan waktu menunjukkan sistem berjalan sesuai desainnya.
Analogi: Anda melihat promo flash sale sepatu idaman di aplikasi e-commerce (penjual menayangkan promo mendekati tanggal gajian). Anda langsung membuat 'pesanan' (paket), memasukkan ke keranjang (pilih produk), dan checkout (kontrak) dalam beberapa menit. Cepat karena info sudah ada dan platformnya memungkinkan.
Contoh Konkret: RUP Kemenkes butuh reagen Z bulan depan. Penyedia menayangkan harga terbaru minggu ini. PPK membuat paket E-purchasing hari ini, langsung pilih produk, negosiasi 1 jam, terbit Surat Pesanan besok. Proses cepat karena info (RUP & produk) sudah siap bertemu di platform yang efisien.
3. Menyelaraskan Audit dengan SPKN dan Kebutuhan Kompetensi
Fokus BPK seharusnya kembali pada mandat inti SPKN (PSP 100):
Memastikan Value for Money: Apakah negara mendapatkan barang/jasa sesuai spesifikasi, tepat waktu, dengan harga wajar dalam konteks pasar e-katalog saat transaksi?
Memastikan Integritas: Apakah ada bukti transaksi fiktif, suap, gratifikasi, conflict of interest, atau penurunan spesifikasi secara curang?
Memastikan Kepatuhan Prosedural: Apakah prosedur E-purchasing spesifik (penyusunan referensi, negosiasi, dokumentasi, prioritas PDN/UMK) telah diikuti?.
Menilai pola transaksi E-purchasing memerlukan kompetensi khusus bagi pemeriksa BPK dalam memahami:
Dinamika marketplace digital.
Strategi penetapan harga penyedia di platform online.
Peran RUP sebagai sinyal pasar.
Tujuan efisiensi di balik metode E-purchasing.
Teknik analisis data transaksi digital untuk mendeteksi fraud yang relevan (bukan sekadar pola tender).
Tanpa kompetensi ini, risiko salah interpretasi menjadi tinggi, yang dapat menciptakan iklim keengganan mengambil risiko yang wajar (risk aversion) di kalangan pelaku pengadaan. Mereka akan cenderung menghindari E-purchasing atau melakukan prosedur berbelit-belit hanya demi "terlihat aman" di mata audit, yang justru menggerus efisiensi yang ingin dicapai. Ini adalah bentuk disinsentif terhadap adopsi praktik pengadaan modern.
4. Rekomendasi: Menuju Audit E-Purchasing yang Kontekstual dan Konstruktif
BPK perlu mempertimbangkan adaptasi berikut:
Mengembangkan Kriteria Audit Spesifik E-Katalog: Bekerja sama dengan LKPP untuk merumuskan kriteria risiko dan prosedur audit yang sesuai dengan logika marketplace, bukan menyalin mentah-mentah dari audit tender.
Meningkatkan Kompetensi Pemeriksa: Memberikan pelatihan intensif kepada auditor mengenai dinamika pasar digital, E-purchasing, analisis data transaksi online, dan regulasi PBJ terkait e-katalog.
Fokus pada Verifikasi Substansi: Prioritaskan audit pada kewajaran harga (pasca-negosiasi) dibandingkan harga pasar saat itu, kesesuaian barang/jasa dengan kebutuhan, bukti negosiasi, dan deteksi indikator fraud yang konkret (fiktif, suap, dll), bukan pada pola transaksional semata.
Memanfaatkan Data untuk Analisis Komprehensif: Gunakan data transaksi e-katalog secara luas untuk benchmarking harga dan identifikasi potensi outlier harga yang sistematis, bukan hanya mencurigai transaksi individual tanpa konteks pasar.
Dialog Konstruktif: Membangun dialog dengan LKPP dan pelaku pengadaan untuk memahami tantangan praktis dan memastikan temuan audit bersifat konstruktif untuk perbaikan sistem, bukan sekadar menimbulkan ketakutan.
5. Kesimpulan
Mengaudit E-purchasing dengan kacamata tender tradisional adalah seperti menilai performa mobil balap dengan kriteria truk pengangkut barang – keduanya kendaraan, tetapi tujuan, desain, dan metrik kinerjanya berbeda. E-katalog adalah marketplace yang hidup dengan dinamika pasarnya sendiri. Pola transaksi seperti pembelian produk baru, transaksi berulang, fluktuasi harga, hingga kedekatan waktu proses seringkali merupakan cerminan efisiensi dan responsivitas pasar yang wajar.
BPK memiliki peran krusial, namun agar efektif dan tidak kontraproduktif, fokus audit harus bergeser dari sekadar mencocokkan pola tender ke verifikasi substansi value for money dan integritas dalam konteks pasar e-katalog, sambil mengakui dan mengisi kebutuhan akan kompetensi pemeriksa di era digital. Hanya dengan demikian, pengawasan BPK dapat benar-benar mendukung terwujudnya pengadaan pemerintah yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan adaptif terhadap inovasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar