KPA Sekaligus PPK Dalam Menavigasi Kewenangan Ganda di Tengah Pusaran Regulasi Pengadaan Daerah
Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.
Pendahuluan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) merupakan instrumen vital dalam akselerasi pembangunan dan pelayanan publik. Efektivitas dan akuntabilitasnya sangat bergantung pada kejelasan peran dan kewenangan para pelaku pengadaan. Namun, di tengah kompleksitas regulasi, praktisi di Pemerintah Daerah seringkali dihadapkan pada dilema interpretasi, salah satunya terkait perangkapan jabatan antara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Situasi ini menjadi krusial ketika Kepala Daerah tidak menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan PPK secara terpisah, sehingga menimbulkan pertanyaan fundamental: sahkah KPA bertindak sebagai PPK tanpa adanya mandat eksplisit dalam bentuk SK tambahan? Artikel ini akan mengupas tuntas isu tersebut, membedah landasan hukumnya, serta memberikan analisis dan rekomendasi kebijakan untuk memastikan kepastian hukum dan tata kelola yang baik.
Permasalahan Pokok: Urgensi Kepastian Hukum dalam Penandatanganan Kontrak
Isu sentral yang dibahas adalah legalitas tindakan KPA yang menjalankan fungsi PPK—terutama dalam menandatangani kontrak yang berakibat pada pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)—ketika tidak ada SK pengangkatan PPK yang definitif dari Kepala Daerah. Permasalahan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan menyangkut keabsahan perikatan hukum antara pemerintah daerah dengan penyedia. Tanpa dasar hukum yang kokoh, kontrak yang ditandatangani berpotensi cacat hukum, yang dapat berujung pada sengketa, penolakan pembayaran oleh lembaga pemeriksa, hingga potensi kerugian keuangan daerah. Konteks ini menjadi semakin relevan dengan dinamika Peraturan Presiden (Perpres) tentang PBJP yang terus berkembang, yang menuntut pemahaman mendalam dari seluruh pemangku kepentingan.
Analisis Normatif dan Empiris: Membedah Kewenangan KPA dan PPK dalam Regulasi
Untuk menjawab permasalahan tersebut, analisis harus merujuk pada hierarki peraturan perundang-undangan, mulai dari Peraturan Presiden sebagai landasan utama hingga peraturan pelaksana teknis dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
1. Landasan Hukum Utama dalam Peraturan Presiden
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 beserta perubahannya, yang terkini melalui Perpres No. 46 Tahun 2025, secara tegas telah mengatur mekanisme ini. Dua pasal kunci menjadi rujukan utama:
Kewenangan Umum KPA: Pasal 10 Ayat (5) Perpres Konsolidasi memberikan landasan yang solid dengan menyatakan:"KPA pada Pengadaan Barang/Jasa dapat melaksanakan tugas sebagai PPK."
Pasal ini secara inheren memberikan kewenangan kepada KPA untuk menjalankan tugas-tugas PPK. Frasa "dapat melaksanakan" mengindikasikan sebuah opsi yang sah secara hukum, bukan sebuah kewajiban mutlak, namun membuka ruang bagi KPA untuk mengambil peran tersebut jika diperlukan.Skenario Spesifik untuk APBD: Pasal 11 Ayat (3) Perpres Konsolidasi secara khusus mengatur kondisi di pemerintah daerah:"Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf m."
Ayat ini, pada pandangan pertama, seolah-olah mewajibkan KPA untuk menugaskan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Namun, jika dibaca bersama dengan Peraturan LKPP, maknanya menjadi lebih jelas.
2. Penjelasan Teknis dalam Peraturan LKPP
Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021, khususnya pada Lampiran II, memberikan panduan implementasi yang memperjelas pilihan bagi PA/KPA di daerah:
"Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD maka: a. PA/KPA merangkap sebagai PPK; atau b. PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK..."
Regulasi turunan ini mengkonfirmasi bahwa ketika tidak ada PPK definitif yang ditunjuk, KPA memiliki dua opsi yang sah secara hukum:
Opsi 1: Merangkap Jabatan sebagai PPK. KPA secara otomatis (ex-officio) menjalankan fungsi dan kewenangan PPK. Dalam skenario ini, SK Pengangkatan sebagai KPA sudah cukup menjadi dasar hukum untuk bertindak sebagai PPK. Tidak diperlukan SK tambahan.
Opsi 2: Menugaskan PPTK. KPA tetap menjadi penanggung jawab akhir, namun mendelegasikan pelaksanaan tugas-tugas teknis PPK (seperti menyusun spesifikasi, HPS, hingga mengendalikan kontrak) kepada PPTK. Penugasan ini idealnya didokumentasikan melalui instrumen administratif internal seperti Surat Tugas atau Nota Dinas.
3. Syarat Mutlak: Kompetensi
Regulasi tidak hanya memberikan kewenangan, tetapi juga mensyaratkan adanya kompetensi. Siapapun yang menjalankan tugas PPK harus memenuhi standar yang ditetapkan.
Bagi KPA yang merangkap PPK, Pasal 10 Ayat (6) Perpres Konsolidasi menegaskan:"KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memiliki pengetahuan tentang pengadaan barang dan jasa serta PPK."
Bagi PPTK yang ditugaskan, Pasal 11 Ayat (4) Perpres Konsolidasi menyatakan:"PPTK yang melaksanakan tugas PPK sebagaimana pada ayat (3) wajib memenuhi persyaratan kompetensi PPK."
Syarat ini menjadi garda terdepan untuk memastikan kualitas dan akuntabilitas pelaksanaan pengadaan, terlepas dari siapa pejabat yang melaksanakannya.
Studi Kasus Simulasi: Pengadaan Alat Kesehatan di Kabupaten Maju Sejahtera
Untuk memberikan gambaran konkret, mari kita simulasikan sebuah kasus:
Konteks: Dinas Kesehatan Kabupaten Maju Sejahtera memiliki kegiatan "Pengadaan Alat USG untuk 10 Puskesmas" dengan Pagu Anggaran APBD TA 2025 sebesar Rp 2.500.000.000,-.
Struktur Pejabat:
Pengguna Anggaran (PA): Kepala Dinas Kesehatan.
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA): Sekretaris Dinas, diangkat berdasarkan SK Bupati No. 123/TAHUN 2025.
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK): Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan.
Permasalahan: SK Bupati hanya menetapkan Sekretaris Dinas sebagai KPA. Tidak ada SK lain yang menunjuk PPK untuk kegiatan tersebut. Saat KPA (Sekretaris Dinas) hendak menandatangani kontrak, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) mempertanyakan dasar hukum penandatanganan kontrak dalam kapasitasnya sebagai PPK.
Analisis dan Solusi Berbasis Regulasi:
Berdasarkan analisis normatif di atas, KPA memiliki dua jalur penyelesaian yang sah:
Jalur A: KPA Menandatangani Kontrak sebagai PPK
Tindakan: KPA dapat langsung menandatangani kontrak. Pada kolom penandatanganan, jabatannya ditulis "Kuasa Pengguna Anggaran selaku Pejabat Pembuat Komitmen".
Dasar Hukum: Kewenangan ini bersumber langsung dari Perpres No. 46 Tahun 2025 Pasal 10 ayat (5) dan diperjelas oleh Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021. SK KPA yang dimilikinya sudah cukup sebagai mandat.
Prasyarat: KPA harus dapat membuktikan bahwa ia memenuhi syarat "memiliki pengetahuan tentang PBJ dan PPK" sesuai Pasal 10 ayat (6). Bukti ini bisa berupa sertifikat kompetensi, sertifikat PBJ Level-1, atau bukti keikutsertaan dalam pelatihan/sosialisasi PBJ.
Jalur B: KPA Menugaskan PPTK
Tindakan: KPA menerbitkan Surat Tugas internal yang ditujukan kepada PPTK. Surat tugas ini merinci pelimpahan kewenangan pelaksanaan tugas-tugas PPK sesuai Pasal 11 ayat (1) Perpres. PPTK kemudian melaksanakan proses teknis (menyusun HPS, mengendalikan pelaksanaan, dsb.).
Penandatanganan Kontrak: Meskipun tugas teknis dilimpahkan, penandatanganan kontrak tetap menjadi tanggung jawab utama KPA sebagai pemegang kewenangan pengeluaran anggaran. KPA tetap menandatangani kontrak selaku PPK.
Dasar Hukum: Pasal 11 Ayat (3) Perpres Konsolidasi.
Prasyarat: PPTK yang menerima tugas wajib memenuhi syarat kompetensi PPK, yang harus didokumentasikan.
Dalam simulasi ini, kedua jalur tersebut sah dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan auditor. Jalur A lebih ringkas secara administratif, sedangkan Jalur B lebih mendistribusikan beban kerja teknis.
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik Terbaik
Meskipun regulasi telah memberikan kepastian, beberapa langkah dapat diambil untuk memperkuat tata kelola dan meminimalisir keraguan.
Penguatan Redaksional SK Pengangkatan: Untuk mencegah ambiguitas di masa depan, disarankan bagi Pemerintah Daerah untuk merevisi format SK pengangkatan KPA. Sebaiknya ditambahkan klausul eksplisit yang menyatakan bahwa KPA juga berfungsi sebagai PPK jika tidak ada penunjukan terpisah. Ini bukan untuk menciptakan dasar hukum baru, melainkan untuk memperjelas penerapan dari dasar hukum yang sudah ada.
Formalisasi Penugasan kepada PPTK: Penugasan dari KPA kepada PPTK wajib dilakukan secara tertulis melalui Surat Tugas atau instrumen serupa. Dokumen ini krusial sebagai bukti pelimpahan wewenang dalam jejak audit (audit trail) dan sebagai landasan bagi PPTK untuk bertindak.
Verifikasi Kompetensi sebagai Standar: PA harus memastikan bahwa setiap KPA yang akan merangkap sebagai PPK atau setiap PPTK yang akan ditugaskan telah diverifikasi dan memenuhi syarat kompetensi. Hal ini harus menjadi bagian dari proses administrasi internal sebelum tahun anggaran dimulai.
Prinsip Tata Kelola: Walaupun regulasi memperbolehkan perangkapan jabatan KPA dan PPK, praktik pemisahan kedua fungsi ini tetap menjadi ideal dari sisi tata kelola (good governance). Pemisahan memungkinkan adanya mekanisme saling uji (checks and balances) dan pembagian fokus kerja yang lebih baik, terutama pada satuan kerja dengan beban anggaran dan kompleksitas pekerjaan yang tinggi.
Penutup
Pertanyaan mengenai perlunya SK tambahan bagi KPA untuk bertindak sebagai PPK dapat dijawab dengan tegas: tidak perlu. Dasar hukum yang ada dalam Peraturan Presiden tentang PBJP sudah memberikan legitimasi yang kuat. Kewenangan tersebut melekat pada jabatan KPA saat kondisi ketiadaan PPK definitif terpenuhi. Kunci utamanya terletak pada pemahaman mendalam para praktisi terhadap opsi yang tersedia—apakah bertindak langsung atau menugaskan PPTK—serta pemenuhan syarat kompetensi dan kelengkapan dokumentasi administratif sebagai wujud akuntabilitas. Dengan demikian, proses pengadaan di daerah dapat berjalan dengan kepastian hukum yang kokoh, mendukung realisasi anggaran yang efektif, dan terhindar dari potensi masalah di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar