Kamis, 31 Juli 2025

Revolusi E-Katalog - Antara Kewajiban TKDN, Fleksibilitas Pasar, dan Jerat Akuntabilitas yang Tersembunyi

 

Revolusi E-Katalog: Antara Kewajiban TKDN, Fleksibilitas Pasar, dan Jerat Akuntabilitas yang Tersembunyi

Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.



1. Pendahuluan


Lanskap pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia terus berevolusi, didorong oleh semangat efisiensi, transparansi, dan peningkatan kualitas tata kelola. Salah satu pilar transformasi digital yang diusung oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) adalah hadirnya E-katalog. Platform ini diharapkan menjadi game-changer, menyederhanakan proses, mempercepat transaksi, dan membuka akses pasar yang lebih luas. Namun, di balik janji-janji efisiensi, terdapat isu krusial yang memerlukan pemahaman mendalam: harmonisasi antara kewajiban penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), fleksibilitas pasar yang dinamis, serta celah akuntabilitas yang mungkin timbul jika regulasi diinterpretasikan secara parsial.

Transformasi ini bukan sekadar pergantian platform, melainkan pergeseran paradigma. Dari birokrasi berbasis kertas menuju ekosistem digital, setiap pemangku kepentingan —mulai dari praktisi pengadaan, akademisi, hingga pembuat kebijakan— dituntut untuk tidak hanya menguasai fungsionalitas teknis, tetapi juga memahami implikasi strategis dan hukum dari setiap langkah pengadaan. Urgensi ini semakin terasa mengingat besarnya alokasi anggaran belanja pemerintah yang dipercayakan melalui mekanisme pengadaan, yang secara langsung berdampak pada pelayanan publik dan perekonomian nasional.


2. Permasalahan atau Isu Pokok


Implementasi E-katalog, khususnya dalam konteks kewajiban penggunaan PDN dan TKDN, kerap menimbulkan perdebatan dan potensi salah interpretasi di lapangan. Isu pokok yang muncul adalah:

Apakah kehadiran E-katalog secara otomatis menihilkan proses analisis kebutuhan dan pasar yang mendalam?

Perspektif umum seringkali mengasumsikan bahwa jika suatu produk sudah tercantum dalam E-katalog dengan label PDN atau TKDN, maka pembelian wajib dilakukan tanpa pertimbangan lebih lanjut. Asumsi ini, jika tidak diluruskan, dapat berujung pada:

  • Pembelian yang tidak optimal (sub-optimal procurement): Barang/jasa yang dibeli mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan fungsional, kinerja, atau bahkan tidak menghasilkan value for money terbaik, hanya karena berlabel PDN/TKDN.

  • Risiko akuntabilitas: Jika terjadi permasalahan kualitas, kinerja, atau biaya di kemudian hari, justifikasi pembelian yang semata-mata didasarkan pada label PDN/TKDN tanpa analisis holistik dapat dipertanyakan.

  • Disinsentif inovasi dan persaingan sehat: Fokus berlebihan pada label semata dapat menghambat eksplorasi produk/jasa lain yang mungkin lebih inovatif, kompetitif, atau lebih sesuai dengan kebutuhan spesifik di luar daftar yang tersedia di E-katalog, meskipun memenuhi prinsip good governance.

Regulasi yang menjadi sumber tantangan ini adalah harmonisasi antara semangat peningkatan penggunaan PDN/TKDN dengan prinsip-prinsip dasar pengadaan seperti efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Tanpa pemahaman yang utuh, praktisi pengadaan berisiko terjebak dalam formalitas legalistik tanpa mencapai substansi tujuan pengadaan.


3. Analisis Empiris dan Normatif

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah instrumen strategis untuk mencapai berbagai tujuan negara, tidak hanya sekadar efisiensi belanja. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres PBJP terbaru) secara eksplisit mewajibkan penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) dan mengintegrasikan tujuan ini ke dalam seluruh siklus pengadaan.

Pasal 19 ayat (1) Perpres 46/2025 dengan tegas menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam menyusun spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK) barang/jasa wajib menggunakan:

  • Produk Dalam Negeri.

  • Produk bersertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).

  • Produk usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri.

  • Produk Ramah Lingkungan Hidup.

Kewajiban ini diperkuat oleh Keputusan Kepala LKPP Nomor 177 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Katalog Elektronik, yang secara implisit mengamanatkan prioritas produk dalam negeri dalam platform E-katalog.

Namun, esensi value for money – sebuah prinsip fundamental dalam pengadaan publik (sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 Perpres 46/2025) – tidak boleh tereduksi oleh simplifikasi interpretasi. Value for money mengukur kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia secara holistik. Hal ini sejalan dengan pandangan organisasi internasional seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang menekankan bahwa pengadaan publik harus berorientasi pada hasil dan nilai jangka panjang, bukan hanya harga terendah atau aspek tunggal lainnya. Dokumen UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) Model Law on Public Procurement juga mendorong fleksibilitas dalam metode pemilihan yang memungkinkan pertimbangan nilai terbaik (most advantageous tender).

Dalam konteks ini, penentuan prioritas PDN/TKDN/Impor bukanlah keputusan yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari sebuah perencanaan strategis yang matang. Buku "Smart Procurement Planning" (Agus Arif Rakhman) memperkenalkan konsep "9 Langkah Taktis Identifikasi Kebutuhan", yang berfungsi sebagai kerangka analitis yang komprehensif sebelum keputusan pembelian akhir diambil. Langkah-langkah ini secara sistematis mengarahkan praktisi pengadaan untuk:

  1. Identifikasi Alternatif Jenis/Tipe Barang/Jasa di Pasaran: Mengeksplorasi ragam produk yang tersedia.

  2. Identifikasi Klasifikasi Spesifikasi Teknis: Menyusun spek berdasarkan kualitas (terendah hingga tertinggi).

  3. Identifikasi Rentang Perkiraan Harga: Mengestimasi biaya berdasarkan jenis, tipe, dan kualitas.

  4. Rekomendasi Keputusan Kebutuhan dan Spesifikasi: Memberikan saran final berdasarkan analisis tiga langkah sebelumnya.

  5. Identifikasi Ketersediaan Barang/Jasa di Pasaran Indonesia: Meneliti ketersediaan di pasar domestik.

  6. Identifikasi Ketersediaan Pelaku Usaha di E-Katalog LKPP: Mengevaluasi penyedia di platform resmi.

  7. Penentuan Prioritas sebagai Barang/Jasa ber-TKDN atau PDN atau Impor: Baru pada tahap ini, prioritas TKDN/PDN/Impor ditentukan, namun didasarkan pada 7 variabel pertimbangan yang tidak hanya soal label TKDN/PDN (seperti pengalaman sejenis, garansi, waktu pengiriman, ketersediaan stok, lokasi, dan harga).

  8. Identifikasi Kondisi Existing Barang/Jasa di Organisasi: Memahami aset yang sudah ada untuk menghindari redundansi.

  9. Identifikasi Pengadaan Berkelanjutan: Mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan (sejalan dengan kerangka Sustainable Procurement yang diusung World Bank Procurement Framework dan IFAC - International Federation of Accountants pada panduan Public Sector Accounting).


Setelah melalui analisis 9 langkah tersebut, keputusan prioritas TKDN/PDN/Impor ditetapkan berdasarkan hasil pertimbangan 7 variabel kunci:

  • Pemenuhan spesifikasi teknis minimal dan status TKDN/PDN/Impor: Ini adalah filter awal yang krusial.

  • Pengalaman sejenis tertinggi/terjual terbanyak: Indikator kapabilitas dan rekam jejak.

  • Jenis garansi dan layanan purna jual: Aspek penting untuk keberlanjutan operasional.

  • Kesanggupan waktu tercepat dalam pengiriman/penyelesaian: Kritis untuk efisiensi proyek.

  • Ketersediaan stok barang/kemampuan sumber daya penyedia: Menjamin kepastian pasokan.

  • Lokasi terdekat dengan lokasi pengiriman/pekerjaan: Meminimalkan biaya logistik dan waktu.

  • Harga terendah di antara para penyedia yang memenuhi spesifikasi teknis minimal: Pertimbangan efisiensi biaya.

Penyisipan substansi pencapaian TKDN dalam Surat Pesanan adalah langkah normatif yang penting untuk memperkuat akuntabilitas. E-katalog versi 6 (Keputusan Kepala LKPP Nomor 177 Tahun 2024) memang tidak membakukan klausul Surat Pesanan seperti pada kontrak fisik konvensional. Namun, ia menyediakan fleksibilitas bagi PPK untuk menambahkan ketentuan/klausul baru. Ini adalah ruang bagi PPK untuk mendigitalisasi praktik probity dan transparansi dalam setiap transaksi.

Sebagai contoh, Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 Lampiran I dan II menjelaskan berbagai bentuk kontrak, termasuk Surat Pesanan untuk E-purchasing. Meskipun tidak merinci klausul TKDN secara spesifik, semangat untuk memastikan value for money dan kepatuhan terhadap kebijakan nasional tetap berlaku. Oleh karena itu, modifikasi Surat Pesanan dengan menambahkan klausul SSUK/SSKK yang relevan, terutama terkait komitmen TKDN, bukan hanya diperbolehkan tetapi juga sangat direkomendasikan. Ini adalah bentuk risk management proaktif.


4. Simulasi Konkret dan Ilustrasi Angka

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, mari kita rekonstruksi sebuah kasus hipotetis pengadaan 100 unit laptop untuk kebutuhan operasional kantor pemerintah, dengan anggaran pagu Rp1.500.000.000 (Rp15 juta per unit).

Skenario Awal: Pendekatan Tradisional (Tanpa Analisis Mendalam)

Misalkan pada skenario ini, PPK hanya berpegang pada ketersediaan produk di E-katalog dan label TKDN. Ditemukan 3 penyedia yang menawarkan laptop dengan spesifikasi minimal yang sama:

  • Penyedia X (Produk A): TKDN 45%, Harga Rp14.500.000/unit.

  • Penyedia Y (Produk B): TKDN 30%, Harga Rp13.800.000/unit.

  • Penyedia Z (Produk C): Produk Impor, Harga Rp12.000.000/unit.

Jika PPK semata-mata mengacu pada kewajiban TKDN > 40%, maka secara "otomatis" akan memilih Produk A dari Penyedia X, dengan total harga Rp1.450.000.000.

Skenario Perencanaan Strategis (Menggunakan 9 Langkah Identifikasi Kebutuhan & 7 Variabel Pertimbangan):

PPK melakukan analisis lebih dalam dengan 7 variabel pertimbangan sebelum menentukan prioritas.

Variabel Pertimbangan

Penyedia X (Produk A)

Penyedia Y (Produk B)

Penyedia Z (Produk C)

1. Spesifikasi Teknis & TKDN

Sesuai minimal, TKDN 45% (Prioritas 1)

Sesuai minimal, TKDN 30% (Prioritas 2)

Sesuai minimal, Impor (Prioritas 4)

2. Pengalaman Sejenis

10 proyek skala serupa (Rating 5/5)

7 proyek skala serupa (Rating 4/5)

15 proyek skala serupa, rekam jejak global (Rating 5/5)

3. Garansi & Purna Jual

1 tahun garansi, service center kota (Rating 3/5)

2 tahun garansi, on-site support (Rating 4/5)

3 tahun garansi, global premium support (Rating 5/5)

4. Waktu Pengiriman

14 hari kerja (Rating 3/5)

7 hari kerja (Rating 4/5)

3 hari kerja (Rating 5/5)

5. Ketersediaan Stok

Stok terbatas (50 unit ready), perlu pre-order (Rating 2/5)

Stok memadai (100 unit ready) (Rating 4/5)

Stok melimpah (500 unit ready) (Rating 5/5)

6. Lokasi

Kota lain (Rating 3/5)

Kota asal (Rating 4/5)

Global (Rating 2/5)

7. Harga

Rp14.500.000/unit (Rating 3/5)

Rp13.800.000/unit (Rating 4/5)

Rp12.000.000/unit (Rating 5/5)

Analisis Hasil dan Keputusan:

Meskipun Produk A memiliki TKDN > 40%, analisis 7 variabel menunjukkan kelemahan signifikan pada aspek vital seperti garansi, waktu pengiriman, dan ketersediaan stok. Produk B (TKDN 30%) menawarkan keseimbangan yang lebih baik, sementara Produk C (Impor) unggul pada hampir semua aspek operasional dan komersial meskipun tidak memiliki TKDN.

Dalam skenario ini, jika PPK mengedepankan efisiensi operasional dan total cost of ownership (TCO) jangka panjang, maka:

  • Produk A (TKDN 45%) berisiko menimbulkan biaya tersembunyi (misalnya karena keterlambatan pengiriman, kurangnya garansi, atau stok terbatas). Estimasi risiko kerugian akibat downtime, biaya perbaikan tak terduga, dan keterlambatan pengadaan bisa mencapai Rp2.000.000/unit.

  • Produk B (TKDN 30%) menawarkan balance yang cukup baik. Jika dihitung preferensi harga berdasarkan Pasal 67 Perpres 46/2025 (misalnya preferensi 10% untuk TKDN > 25%), maka harga evaluasi akhir Produk B adalah: Rp13.800.000 * (1 - 0.30 * 0.10) = Rp13.386.000.

  • Produk C (Impor) menawarkan harga terendah dengan performa terbaik.

Ilustrasi Perbandingan Nilai dan Efisiensi:

Skema Pengadaan

Jumlah Unit

Harga Satuan (Rp)

Total Kontrak (Rp)

Potensi Risiko/Efisiensi

A. PDN (TKDN >40%)

100

14.500.000

1.450.000.000

Risiko operasional tinggi. Total TCO mungkin lebih tinggi.

B. PDN (TKDN <40%)

100

13.800.000

1.380.000.000

Keseimbangan baik. Harga Evaluasi Akhir lebih rendah dari A.

C. Impor

100

12.000.000

1.200.000.000

Risiko operasional rendah. Harga terendah.

Keputusan PPK yang Holistik:

PPK, setelah melakukan analisis mendalam, mungkin memutuskan untuk tetap memprioritaskan Produk B (PDN TKDN < 40%) karena pertimbangan keseluruhan. Atau, jika efisiensi anggaran dan ketersediaan adalah prioritas utama dan tidak ada alternatif PDN yang memenuhi kriteria kritis lainnya, PPK dapat memutuskan untuk membeli Produk C (Impor) dengan justifikasi yang kuat, sebagaimana diatur dalam Perpres 46/2025 Pasal 66 ayat (4) bahwa produk impor dapat digunakan "dalam hal Produk Dalam Negeri tidak tersedia atau volume tidak mencukupi kebutuhan".

Penuangan dalam Surat Pesanan (Contoh):

Dalam Surat Pesanan, PPK akan mencantumkan:

  • Judul: Surat Pesanan Pengadaan Laptop Operasional Kantor

  • Rincian Produk:

  • Nama Produk: [Nama Produk B/C yang dipilih]

  • Jumlah: 100 unit

  • Harga Satuan: Rp[Harga Satuan Produk B/C]

  • Total Harga: Rp[Total Harga Produk B/C]

  • Klausul Komitmen TKDN/PDN (Jika Produk B dipilih):
    "Pihak Penyedia menjamin bahwa produk Laptop [Nama Produk B] yang disediakan merupakan Produk Dalam Negeri dengan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30% dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) yang memenuhi ambang batas minimal 40% (empat puluh persen) sesuai peraturan yang berlaku. Lampiran sertifikat TKDN/klaim PDN terlampir. Pihak Penyedia memahami bahwa ketidaksesuaian data TKDN dapat dikenakan sanksi sesuai Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 Pasal 78."

  • Klausul Justifikasi Impor (Jika Produk C dipilih):
    "Pengadaan produk Laptop [Nama Produk C] ini dilakukan dengan mekanisme impor dikarenakan hasil analisis pasar menunjukkan bahwa Produk Dalam Negeri tidak tersedia yang memenuhi kebutuhan mendesak dari aspek [sebutkan aspek kritis: waktu pengiriman 3 hari kerja dan ketersediaan stok 100 unit] atau tidak dapat memenuhi kinerja operasional dan biaya perawatan jangka panjang yang optimal bagi organisasi, sebagaimana didokumentasikan dalam Berita Acara Analisis Kebutuhan Nomor [Nomor BA] tanggal [Tanggal BA]."


5. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan


Untuk mengoptimalkan pemanfaatan E-katalog dan memastikan harmonisasi antara kewajiban PDN/TKDN dengan prinsip value for money serta good governance, beberapa rekomendasi strategis dan implikasi kebijakan perlu dipertimbangkan:

  1. Peningkatan Kapasitas SDM Pengadaan:

  • Edukasi Holistik: LKPP dan kementerian/lembaga terkait perlu menyelenggarakan pelatihan yang lebih mendalam bagi PPK dan Pejabat Pengadaan. Pelatihan ini tidak hanya fokus pada fungsionalitas E-katalog, tetapi juga pada metodologi analisis kebutuhan yang komprehensif (seperti 9 Langkah Taktis Identifikasi Kebutuhan), analisis pasar (7 variabel pertimbangan), manajemen risiko, dan perhitungan
    Total Cost of Ownership (TCO). Tujuannya adalah membentuk
    Procurement Specialist yang mampu membuat keputusan strategis dan berbasis data, bukan sekadar administrator.

  • Sertifikasi Berbasis Kompetensi Lanjutan: Memperkuat persyaratan kompetensi PPK dan Pejabat Pengadaan, khususnya dalam analisis dan negosiasi. Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2025 sudah mengamanatkan KPA untuk memiliki pengetahuan PBJ dan tugas PPK, dibuktikan dengan sertifikat kompetensi PPK atau pelatihan dasar. Ini perlu diperluas ke semua pelaku pengadaan dan disokong dengan kurikulum yang mencakup analisis pasar mendalam dan decision-making berbasis nilai.

  1. Pengembangan Fitur E-katalog yang Lebih Cerdas:

  • Integrasi Analisis Terstruktur: E-katalog dapat dikembangkan untuk mengintegrasikan fitur analisis kebutuhan dan pasar yang lebih canggih. Misalnya, fitur yang memungkinkan PPK secara langsung memasukkan 7 variabel pertimbangan saat mencari produk, dan sistem akan memberikan rekomendasi berdasarkan bobot prioritas yang dapat disesuaikan.

  • Visualisasi Data Kinerja Penyedia: Fitur "penilaian kinerja Penyedia" yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) Perpres 46/2025 dan Pasal 44 ayat (8a) Perpres 46/2025 (melalui SIKAP) perlu dioptimalkan dan divisualisasikan secara lebih intuitif di E-katalog. Ini akan membantu PPK dalam menilai rekam jejak penyedia secara obyektif, termasuk aspek on-time delivery, kualitas, dan responsivitas purna jual.

  • Template Klausul Adaptif: Menyediakan template klausul kontraktual (termasuk komitmen TKDN, garansi, SLA) yang dapat disisipkan secara mudah ke dalam Surat Pesanan, dengan panduan yang jelas mengenai justifikasi dan implikasinya. Ini akan mengurangi risiko interpretasi yang keliru dan memperkuat aspek hukum Surat Pesanan.

  1. Penguatan Kerangka Akuntabilitas dan Pengawasan:

  • Audit Berbasis Substansi: Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu mengembangkan metodologi audit yang tidak hanya memeriksa kepatuhan formal terhadap aturan PDN/TKDN, tetapi juga substansi keputusan pengadaan dalam mencapai value for money. Ini akan mendorong PPK untuk melakukan analisis mendalam, bukan sekadar memburu label TKDN.

  • Sistem Pelaporan yang Transparan: Memastikan sistem pelaporan pengadaan secara elektronik (SPSE) mampu merekam dan menampilkan justifikasi pembelian impor secara transparan dan detail, sehingga dapat diakses oleh publik dan diaudit dengan mudah. Hal ini sejalan dengan prinsip open government dan upaya pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

  • Harmonisasi Regulasi Lintas Sektor: Menggalakkan koordinasi antar kementerian/lembaga (misalnya antara LKPP, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Dalam Negeri) untuk menciptakan regulasi yang lebih harmonis dan tidak tumpang tindih, terutama dalam mendorong PDN/TKDN tanpa mengorbankan kualitas dan efisiensi pengadaan secara keseluruhan.


6. Penutup


Revolusi pengadaan melalui E-katalog adalah keniscayaan dalam upaya mencapai tata kelola pemerintahan yang baik. Namun, keberhasilan revolusi ini bergantung pada kemauan kita untuk melampaui formalitas dan memahami substansi dari setiap kebijakan. Kewajiban TKDN/PDN adalah instrumen penting untuk memajukan industri nasional, tetapi ia harus ditempatkan dalam kerangka perencanaan strategis yang mengedepankan value for money dan manajemen risiko.

Praktisi pengadaan tidak boleh terjebak dalam dilema antara mematuhi kewajiban TKDN dan mencapai hasil pengadaan yang optimal. Dengan analisis yang mendalam, pemanfaatan teknologi secara cerdas, dan dukungan kebijakan yang adaptif, kita dapat memastikan bahwa setiap rupiah anggaran belanja pemerintah dibelanjakan secara efisien, efektif, adil, dan akuntabel, demi terwujudnya pelayanan publik yang prima dan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Mari bersama-sama menjadi agen perubahan, mendorong inovasi, dan memastikan bahwa setiap keputusan pengadaan adalah cerminan dari integritas dan komitmen untuk melayani bangsa dengan kualitas terbaik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku PBJ Desa Mudah & Aman: Panduan Lengkap 10 SOP Kunci Pengadaan Akuntabel Sesuai Perpres 46/2025

 **Judul Produk:** PBJ Desa Mudah & Aman: Panduan Lengkap 10 SOP Kunci Pengadaan Akuntabel Sesuai Perpres 46/2025 Info pemesanan dengan ...