Membongkar Mitos "Persekongkolan"
Mengapa Aturan Kompetisi Tidak Sama di Semua Metode Pemilihan?
Sebagai seorang ahli pengadaan, saya sering mendengar perdebatan dan kesalahpahaman seputar konsep "persekongkolan" dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa. Banyak yang berpikir bahwa indikasi persekongkolan, seperti kesamaan dokumen atau penawaran harga yang mencurigakan, berlaku sama di setiap mekanisme pengadaan. Namun, logika hukum dan praktik terbaik dalam pengadaan modern menunjukkan hal yang berbeda, terutama antara mekanisme Tender/Seleksi dan Katalog Elektronik.
Mari kita bongkar mengapa aturan main "persekongkolan" ini tidak seragam dan bagaimana pemahaman yang tepat akan sangat krusial bagi para pelaku pengadaan.
Dasar Hukum dan Logika di Balik Perbedaan
Pemilihan penyedia dalam pengadaan pemerintah diatur secara ketat oleh regulasi, termasuk Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres PBJP). Inti dari perbedaan perlakuan terhadap persekongkolan terletak pada sifat fundamental dari masing-masing metode pemilihan:
1. Tender/Seleksi: Arena Kompetisi Tertutup yang Membutuhkan Kewaspadaan Tinggi
Tender dan Seleksi dirancang sebagai mekanisme kompetisi di mana penawaran dari para peserta bersifat rahasia dan tidak boleh saling diketahui sebelum pembukaan penawaran. Tujuannya adalah untuk menciptakan persaingan yang sehat, sehingga pemerintah bisa mendapatkan penawaran terbaik (value for money).
Ketika ada indikasi bahwa persaingan ini telah "diatur" atau "direkayasa" oleh para peserta, itu disebut persekongkolan. Regulasi pengadaan sangat ketat dalam mengidentifikasi dan menindak praktik ini karena dapat merugikan keuangan negara dan merusak integritas proses. Indikasi persekongkolan yang diatur dalam Perlem LKPP Nomor 12 Tahun 2021 meliputi:
1. Kesamaan Pola Penawaran Teknis (Metode Kerja, Spesifikasi, Alat & Bahan)
Penjelasan Konkret: Indikator ini merujuk pada situasi di mana beberapa penyedia yang bersaing dalam tender menyerahkan dokumen penawaran teknis yang isinya sangat mirip atau bahkan identik. Hal ini mencakup detail seperti urutan tahapan pekerjaan, pendekatan teknis terhadap suatu masalah, daftar alat utama yang akan digunakan (bahkan hingga merek dan tipenya), serta rincian material (jenis, merek, atau karakteristik teknisnya) yang akan disuplai. Bahkan kesamaan dalam layout, diagram alir, atau penggunaan frasa teknis yang tidak umum bisa menjadi indikasi.
Contoh: Dalam tender pembangunan jalan, tiga kontraktor berbeda mengajukan "Metode Pelaksanaan Pekerjaan" yang urutan langkah-langkahnya, teknologi pemadatan aspal yang diusulkan, dan bahkan merek alat berat (misalnya, Vögele Super 1800-3i Paver dan Hamm HD+ 120i VV Compactor) sama persis. Padahal, setiap kontraktor seharusnya memiliki keunikan dan pengalaman sendiri dalam merumuskan metode kerja dan memilih peralatan terbaiknya.
2. Penawaran Harga yang "Terlalu Dekat" dengan Estimasi Pemerintah (HPS) atau Satu Sama Lain
Penjelasan Konkret: Kriteria ini muncul ketika harga penawaran dari beberapa peserta tender menunjukkan pola yang tidak lazim dalam persaingan normal. Pola tersebut bisa berarti harga yang diajukan oleh beberapa peserta sangat sedikit perbedaannya satu sama lain, atau semuanya sangat mendekati nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan pemerintah. Perluasan dari ini juga bisa terjadi di mana ada satu penawaran yang secara signifikan lebih rendah, sementara sisanya berada pada level yang sangat tinggi atau di atas HPS.
Contoh: Dalam tender pengadaan 100 unit laptop dengan HPS Rp 1,5 miliar, empat peserta mengajukan penawaran: Rp 1.498.000.000, Rp 1.499.000.000, Rp 1.497.500.000, dan Rp 1.498.500.000. Perbedaan harga yang sangat tipis dan mendekati HPS ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kesepakatan untuk tidak bersaing secara agresif demi mendapatkan margin keuntungan yang seragam.
3. Adanya Pihak yang Mengendalikan Beberapa Peserta
Penjelasan Konkret: Ini mengacu pada hubungan kepemilikan, manajemen, atau afiliasi yang tersembunyi antara beberapa perusahaan yang berpartisipasi dalam tender yang sama. Meskipun tampak sebagai entitas yang berbeda di permukaan, pada dasarnya mereka berada di bawah kendali satu individu atau kelompok yang sama.
Contoh: Dalam tender jasa konsultan studi kelayakan, dua perusahaan, PT A dan CV B, sama-sama mengajukan penawaran. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut (misalnya melalui akta perusahaan atau data kepemilikan saham), terungkap bahwa Direktur Utama PT A dan pemilik CV B adalah individu yang sama, atau ada satu holding company yang menguasai mayoritas saham di kedua perusahaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kedua entitas tersebut, alih-alih bersaing, sebenarnya "diarahkan" oleh pihak yang sama.
4. Kesalahan Redaksional yang Seragam (Pengetikan, Susunan, Format Penulisan)
Penjelasan Konkret: Indikasi ini terlihat ketika beberapa dokumen penawaran dari peserta yang berbeda memiliki kesalahan yang sama persis. Kesalahan ini bisa berupa typo yang unik, format penomoran halaman yang aneh, penggunaan font atau spasi yang tidak standar, atau struktur kalimat yang ganjil dan identik. Ini menunjukkan bahwa dokumen-dokumen tersebut kemungkinan besar disusun atau disalin dari sumber yang sama, bukan hasil kerja independen.
Contoh: Dalam tender jasa kebersihan, dokumen penawaran dari dua perusahaan, "Bersih Selalu Jaya" dan "Pelayan Prima", sama-sama menggunakan penomoran bab yang salah (misalnya, dari "BAB I Pendahuluan" langsung ke "BAB III Metodologi" tanpa "BAB II") dan memiliki kesalahan ketik yang sama pada kata-kata tertentu (misalnya, "efiseinsi" alih-alih "efisiensi"). Hal ini sangat tidak lazim jika penawaran dibuat secara terpisah.
5. Jaminan Penawaran Berurutan dari Penjamin yang Sama
Penjelasan Konkret: Kriteria ini mengacu pada situasi di mana beberapa peserta tender mengajukan jaminan penawaran (bank garansi atau surety bond) yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan asuransi yang sama, dan yang lebih mencurigakan, nomor seri jaminan-jaminan tersebut berurutan.
Contoh: Dalam tender pekerjaan konstruksi, tiga perusahaan menyertakan jaminan penawaran. Setelah diverifikasi, diketahui bahwa ketiga jaminan tersebut dikeluarkan oleh "Bank Mandiri Cabang X" dengan nomor seri GRS-2025/001, GRS-2025/002, dan GRS-2025/003. Pola nomor seri yang berurutan ini mengindikasikan bahwa ketiga jaminan tersebut kemungkinan besar diurus secara bersamaan atau dalam satu proses oleh pihak yang sama, bukan oleh masing-masing perusahaan secara terpisah.
Pemahaman konkret terhadap indikasi-indikasi ini sangat penting bagi Pokja Pemilihan untuk melakukan evaluasi yang cermat dan bagi aparat penegak hukum untuk membangun kasus yang kuat jika dugaan persekongkolan muncul.
Jika dua atau lebih indikasi ini ditemukan, Pokja Pemilihan wajib melakukan penyelidikan lebih lanjut. Jika terbukti terjadi persekongkolan, konsekuensinya bisa fatal: peserta digugurkan, jaminan penawaran dicairkan, dan penyedia dapat dikenakan sanksi daftar hitam. Justifikasi hukumnya jelas: menjaga integritas proses pengadaan dan melindungi kepentingan publik.
"Dari kacamata aparat penegak hukum, ketika bukti persekongkolan terungkap, pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengenai adanya mens rea. Ini adalah elemen kunci yang membuktikan adanya niat jahat atau kesengajaan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Secara default, peserta tender yang terbukti melakukan persekongkolan jelas memiliki mens rea karena mereka secara aktif berupaya memanipulasi persaingan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Namun, cakupan mens rea tidak terbatas pada peserta tender saja. Pokja Pemilihan juga dapat menjadi subjek investigasi atas dugaan mens rea jika ditemukan bukti keterlibatan mereka dalam praktik persekongkolan tersebut. Keterlibatan Pokja bisa bermanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari pengaturan spesifikasi yang mengarah pada penyedia tertentu, membocorkan informasi penawaran, memanipulasi proses evaluasi, atau bahkan menerima gratifikasi dari peserta. Pasal 78 Perpres PBJP dengan tegas menyatakan sanksi bagi peserta pemilihan yang terindikasi melakukan korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme, yang mencakup sanksi digugurkan, pencairan jaminan, hingga sanksi daftar hitam
"Lalu, bagaimana aparat penegak hukum membedakan Pokja Pemilihan yang memang punya mens rea dengan yang hanya melakukan 'kesalahan administrasi' semata? Perbedaannya terletak pada niat, pola, dan manfaat yang diperoleh.
Pokja dengan Mens Rea (Niat Jahat):
Indikasi Konkret: Niat jahat terlihat dari tindakan aktif yang disengaja untuk memfasilitasi atau menyembunyikan persekongkolan. Contohnya:
Manipulasi Dokumen: Sengaja mengubah dokumen tender (misalnya, spesifikasi teknis) setelah pembukaan penawaran agar sesuai dengan penawaran peserta tertentu yang sudah bersekongkol.
Bocoran Informasi: Terbukti membocorkan informasi rahasia tender kepada peserta tertentu, seperti HPS, penawaran peserta lain, atau jadwal evaluasi yang krusial.
Pengabaian Indikasi Kuat: Secara sengaja mengabaikan atau menutupi indikasi persekongkolan yang sangat jelas dan kuat (misalnya, lima kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya) tanpa melakukan klarifikasi atau pembuktian yang semestinya, bahkan setelah ada masukan atau temuan dari pihak lain.
Keterlibatan Langsung dalam 'Pengaturan': Adanya bukti komunikasi (pesan, rekaman, saksi) yang menunjukkan Pokja terlibat langsung dalam 'pengaturan' pemenang atau harga dengan peserta.
Penerimaan Manfaat: Adanya bukti aliran dana, hadiah, atau janji keuntungan lain kepada anggota Pokja dari peserta yang diuntungkan oleh persekongkolan tersebut.
Logika Hukum: Tindakan-tindakan ini menunjukkan kesengajaan untuk melanggar hukum dan pakta integritas, serta adanya motif (seringkali keuntungan pribadi atau kelompok). Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan perbuatan yang direncanakan dan bertujuan merugikan negara atau peserta lain.
Pokja dengan 'Kesalahan Administrasi':
Indikasi Konkret: Kesalahan administrasi biasanya bersifat prosedural atau teknis yang terjadi karena kelalaian, kurangnya pemahaman, atau beban kerja yang tinggi, tanpa adanya niat untuk berkolusi. Contohnya:
Kekeliruan Prosedural Minor: Melewatkan satu tahapan kecil dalam prosedur evaluasi yang tidak substansial dan tidak mengubah hasil akhir, atau kesalahan penulisan berita acara yang tidak disengaja.
Kurang Teliti dalam Verifikasi: Tidak mendeteksi satu indikasi persekongkolan yang samar karena kurangnya ketelitian atau alat analisis yang memadai, bukan karena sengaja menyembunyikan.
Interpretasi Regulasi yang Keliru: Salah menafsirkan satu pasal regulasi yang menyebabkan keputusan kurang tepat, namun tidak ada bukti bahwa kekeliruan ini sengaja dilakukan untuk menguntungkan pihak tertentu.
Keterlambatan Proses: Terjadi keterlambatan dalam tahapan tender karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan (misalnya, masalah teknis sistem, kurangnya sumber daya), bukan untuk memberi waktu bagi persekongkolan.
Logika Hukum: Kesalahan ini umumnya tidak disertai dengan niat jahat untuk merugikan atau memanipulasi. Konsekuensinya seringkali berupa sanksi administratif atau disipliner, bukan pidana, karena tidak ada unsur mens rea yang kuat.
Bagaimana Aparat Penegak Hukum Membedakan?
Aparat penegak hukum akan melakukan investigasi mendalam dengan mengumpulkan berbagai jenis bukti:
Bukti Dokumen: Analisis mendalam terhadap seluruh dokumen tender, termasuk notulen rapat, korespondensi, dan rekaman sistem e-procurement.
Bukti Digital: Penelusuran jejak digital, komunikasi (email, pesan instan), dan riwayat akses sistem.
Keterangan Saksi: Wawancara dengan pihak-pihak terkait, termasuk peserta lain, internal Pokja, atau pihak ketiga.
Analisis Keuangan: Pelacakan aliran dana atau aset yang mencurigakan.
Pola dan Konsistensi: Mencari pola perilaku yang berulang atau konsisten yang mengarah pada keuntungan pihak tertentu.
Jika bukti-bukti tersebut menunjukkan adanya kesengajaan, perencanaan, dan motif (terutama keuntungan pribadi atau kelompok) di balik tindakan Pokja, maka unsur mens rea dapat terpenuhi, dan kasus dapat ditingkatkan ke ranah pidana. Sebaliknya, jika kesalahan murni karena kelalaian atau ketidakmampuan tanpa adanya niat jahat, maka akan cenderung masuk kategori kesalahan administrasi."
2. Katalog Elektronik (E-purchasing): Transaksi Pasar Terbuka yang Mengubah Logika Persekongkolan
Katalog Elektronik atau E-purchasing beroperasi dengan logika yang berbeda jauh. Ini adalah mekanisme pengadaan di mana harga dan spesifikasi produk sudah terdaftar dan terbuka untuk umum di platform digital. Ini seperti "belanja online" untuk kebutuhan pemerintah, di mana informasi kunci sudah transparan di awal.
Dalam konteks E-purchasing, konsep "persekongkolan" seperti di tender/seleksi menjadi kurang relevan. Mengapa?
Harga Sudah Transparan: Tidak ada lagi "kerahasiaan" harga yang bisa diatur atau ditebak-tebak. Harga tayang produk sudah terlihat jelas. Jika harga tidak wajar, pembeli (PPK/Pejabat Pengadaan) bisa langsung tahu dan bernegosiasi atau mencari produk lain.
Kompetisi Berbasis Visibilitas: Persaingan terjadi secara alami di pasar terbuka. Penyedia didorong untuk menawarkan harga dan layanan terbaik agar produk mereka dilirik oleh pembeli. Jika ada praktik "pengaturan harga", pasar akan secara otomatis mengeliminasi penyedia tersebut karena ada banyak alternatif lain yang lebih kompetitif.
Fleksibilitas Pembeli: Pembeli memiliki fleksibilitas tinggi untuk membandingkan, bernegosiasi, atau bahkan membatalkan pesanan jika tidak mencapai kesepakatan yang menguntungkan. Ini secara inheren mengurangi potensi manipulasi harga melalui persekongkolan karena kekuasaan ada di tangan pembeli.
Meskipun demikian, ini tidak berarti E-purchasing bebas dari potensi pelanggaran etika. Penyalahgunaan fitur, upaya manipulasi data katalog, atau praktik bisnis yang tidak jujur tetap dapat dikenakan sanksi. Namun, mekanisme pengawasannya berbeda, lebih berfokus pada audit kepatuhan terhadap data yang terdaftar dan riwayat transaksi, bukan pada indikasi persekongkolan yang bersifat "mengatur hasil" kompetisi tertutup.
Namun, masih banyak yang terjebak dalam logika menyesatkan, yaitu menganggap bahwa melakukan survei pasar atau Request for Information (RFI) sebagai bagian dari persiapan E-purchasing adalah bentuk persekongkolan, seolah bertemu pelaku usaha atau mencari tahu barang dagangannya itu salah. Logika ini adalah peninggalan cara berpikir "tender" yang kaku, yang kemudian secara keliru dibawa ke ranah "katalog". Dalam mekanisme tender konvensional, memang ada batasan ketat interaksi pra-penawaran untuk mencegah kolusi. Namun, Katalog Elektronik adalah pasar terbuka, sebuah etalase digital. Bagaimana mungkin seorang pembeli dapat membuat keputusan pembelian yang cerdas dan bertanggung jawab tanpa memahami secara mendalam siapa pelaku usaha di balik produk yang terdaftar, atau detail konkret dari barang/jasa yang akan dibeli?
Logikanya, dalam pasar bebas seperti ini, interaksi dan upaya untuk mendapatkan informasi tambahan adalah hal yang lumrah dan bahkan esensial. Anda tidak akan membeli sesuatu dari sebuah toko online tanpa membaca deskripsi produk, ulasan, atau mencari tahu reputasi penjualnya, bukan? Prinsip yang sama berlaku di Katalog Elektronik.
Justru, Keputusan Kepala LKPP Nomor 177 Tahun 2024 secara eksplisit menggarisbawahi pentingnya persiapan E-purchasing yang memastikan kesesuaian spesifikasi produk dengan kebutuhan dan prioritas penggunaan produk dalam negeri dari penyedia yang berkualitas.
Justifikasi Akademik dan Filosofi Kebijakan
Secara akademik, Tender/Seleksi mencerminkan teori lelang (auction theory), di mana informasi asimetris dan strategi penawaran menjadi kunci. Dalam model ini, peserta tender memiliki informasi pribadi (seperti biaya riil atau margin keuntungan yang diinginkan) yang tidak diketahui oleh pihak pembeli. Persekongkolan bertujuan untuk mengubah informasi pribadi ini menjadi informasi yang dimanipulasi secara kolektif oleh para peserta untuk mengeksploitasi pembeli
Sementara itu, Katalog Elektronik lebih mendekati konsep e-marketplace atau pasar transparan
Pemahaman ini penting bagi setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan), dan seluruh pelaku usaha. Menerapkan kekakuan "cara berpikir tender" pada "cara berpikir katalog" adalah bentuk "logika menyesatkan" yang dapat menghambat profesionalisme pengadaan. Procurement professional harus mengembangkan pemahaman yang nuansa terhadap filosofi ekonomi dan hukum di balik setiap metode. Hal ini memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai analis pasar strategis dan manajer risiko yang adaptif, bukan sekadar penjaga gerbang birokratis. Dengan memahami kapan dan bagaimana kriteria persekongkolan diterapkan, procurement specialist dapat berpikir strategis dan adaptif dalam lanskap pengadaan yang terus berevolusi. Jangan salah kaprah, kenali "medan perang" pengadaan Anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar