Rasionalitas Penerapan Jaminan Pelaksanaan dalam
E-Katalog Versi 6 Pasca Perpres 46/2025
Position Paper
Penulis:
Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.
Pendahuluan
Penerbitan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 membawa perubahan signifikan terhadap tata kelola
pengadaan, khususnya dalam mekanisme e-purchasing melalui e-Katalog versi 6.
Salah satu perubahan krusial adalah dihapuskannya pengecualian jaminan
pelaksanaan untuk kontrak yang dilakukan via e-purchasing. Sebelumnya,
pengadaan melalui e-Katalog elektronik (e-purchasing) di atas Rp200 juta
tidak diwajibkan menyertakan jaminan pelaksanaan. Namun, Pasal 33 hasil
perubahan Perpres 46/2025 kini mensyaratkan bahwa setiap kontrak pengadaan
barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya bernilai lebih dari Rp200.000.000 harus
disertai jaminan pelaksanaan, kecuali dalam kondisi tertentuhunaifa.web.id.
Pengecualian untuk e-purchasing telah dihapus, sehingga otomatis setiap
transaksi e-Katalog di atas Rp200 juta wajib memiliki jaminan pelaksanaanhunaifa.web.idhunaifa.web.id.
Perubahan kebijakan ini menuai beragam tanggapan di kalangan praktisi
pengadaan. Banyak yang mempertanyakan rasionalitas penerapan jaminan
pelaksanaan secara blanket pada e-Katalog, mengingat tujuan e-Katalog
adalah kemudahan dan kecepatan pengadaan.
Paper posisi ini akan mengkaji
secara mendalam rasionalitas kebijakan tersebut dari berbagai sudut: perspektif
hukum pengadaan dan perdata, efisiensi dan nilai manfaat kebijakan publik,
pandangan audit dan manajemen risiko, perbandingan praktik internasional, data
empiris yang relevan, serta rekomendasi kebijakan yang solutif. Pendekatan yang
digunakan bersifat argumentatif-kritis namun berbasis riset dan praktik
terbaik, dengan harapan memberikan masukan konstruktif bagi pemangku
kepentingan.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis
multidimensi di atas, berikut rekomendasi yang dapat dipertimbangkan untuk
memastikan kebijakan jaminan pelaksanaan di e-Katalog lebih rasional dan
efektif:
- Klasifikasi Transaksi Low-Risk Bebas Jaminan – Pemerintah (LKPP) sebaiknya mengeluarkan petunjuk teknis yang
mengklasifikasikan jenis transaksi atau kategori produk/jasa yang dianggap
berisiko rendah, di mana jaminan pelaksanaan boleh dikecualikan.
Misalnya: pengadaan barang habis pakai, barang off-the-shelf, atau layanan
sederhana dengan durasi <1 bulan dapat digolongkan low-risk no-bond.
Landasan hukumnya, Pasal 50 ayat (5b) Perpres 16/2018 (hasil perubahan)
memberikan kewenangan LKPP mengatur pengecualian e-purchasing dalam hal
tertentumkasman.net. Ini bisa diinterpretasikan untuk menetapkan kondisi transaksi
tertentu tidak wajib bond. Kebijakan semacam ini mengembalikan diskresi
bagi PPK untuk tidak meminta bond jika memang tidak diperlukan, dengan
argumentasi risikonya minimal. Tentu perlu kriteria terukur (misal nominal
maks tertentu, jenis barang tertentu, tidak ada uang muka, dll). Langkah
ini meniru praktik Chile yang menetapkan threshold 1.000 UTM baru perlu
bondchilecompra.cl, atau Australia/Tasmania dengan discretionary bond di bawah nilai
tertentupurchasing.tas.gov.au. Dengan adanya klasifikasi, para pelaku usaha terutama UMKM akan
lebih tenang bertransaksi untuk kategori biasa tanpa terbebani jaminan,
sementara pemerintah tetap terlindungi untuk kategori high-risk.
- Sistem Flagging Otomatis Berbasis Risiko – Membangun fitur dalam sistem e-Katalog V6 yang dapat
mengidentifikasi risiko proyek dan memberikan notifikasi kepada PPK
tentang perlunya jaminan pelaksanaan. Misal, apabila PPK membuat pesanan
dengan kriteria tertentu (nilai sangat besar, barang customized, jadwal
penyerahan panjang, atau vendor pernah ada history buruk), sistem dapat
menandai “Transaksi High Risk: disarankan meminta Jaminan Pelaksanaan”.
Ini semacam decision support system yang membantu PPK menaati
regulasi sekaligus menerapkan risk management. Sebaliknya, jika transaksi
nilai sedang dengan penyedia berpredikat baik, sistem bisa menyarankan
“Low risk – Jaminan opsional”. Penerapan teknologi ini selaras dengan
semangat digitalisasi pengadaan. LKPP sudah punya modul monitoring seperti
fitur pengawasan APIPlkpp.go.id, maka menambahkan modul risk flagging akan melengkapi.
Keuntungan sistem ini: penilaian risiko lebih seragam dan objective,
mengurangi beban PPK menjustifikasi keputusan sendiri. Selain itu, data
flagging bisa diolah untuk audit; jika PPK mengabaikan flag high-risk
tanpa bond, bisa jadi bahan review APIP. Sebaliknya, flag low-risk bisa
melindungi PPK dari kritik auditor saat ia memutuskan tak ambil bond. Ini
menciptakan keseimbangan antara compliance dan fleksibilitas berbasis
data.
- Regulasi Turunan oleh LKPP yang Lebih Adaptif –
LKPP perlu segera menerbitkan peraturan turunan (Peraturan LKPP atau
setidaknya Surat Edaran) yang menjabarkan tata cara penerapan jaminan
pelaksanaan pada e-purchasing. Peraturan ini dapat memuat:
- Threshold lebih tinggi atau pengecualian khusus:
e.g. “Untuk e-purchasing barang/jasa dengan nilai sampai Rp500 juta yang
bersifat pembelian tunggal, jaminan pelaksanaan tidak diwajibkan.” Atau pengecualian untuk katalog tertentu (pembelian buku sekolah,
obat, dll yang umumnya urgent dan rutin).
- Besaran jaminan yang proporsional: Pertimbangkan kemungkinan menurunkan porsi jaminan untuk
e-purchasing. Misal tetap 5% untuk kontrak di atas Rp1M, tapi hanya 3%
untuk kontrak Rp200-500 juta. Fleksibilitas ini untuk meringankan
penyedia kecil. Hal ini masih inline dengan Perpres (yang tidak mengatur
persentase secara kaku, biasanya diatur di dokumen standar).
- Mekanisme alternatif pengamanan: Misal, bila tak ada jaminan pelaksanaan, PPK wajib menahan
pembayaran sebesar 5% hingga penyelesaian (sebagai retensi). Ini sudah
praktik umum di banyak kontrak, dan bisa menjadi substitusi jaminan bank.
Dengan retensi, kas negara tetap aman tanpa membebani vendor dengan
prosedur bank.
- Prosedur pencairan dan klaim: Memperjelas bahwa pencairan jaminan di e-Katalog harus melewati
proses statement of default oleh PPK disetujui KPA. Aturan jelas
ini penting agar PPK tidak ragu menggunakan bond jika memang terjadi
wanprestasi. Juga memastikan penyedia paham konsekuensinya.
Regulasi turunan semacam ini
akan memberikan kepastian bagi semua pihak dan mengurangi kebingungan.
Apalagi mengingat Perpres 46/2025 keluar relatif mendadak, banyak praktisi PBJ
yang “belum ngeh” detail implementasinya. Kejelasan dari LKPP akan mencegah
salah tafsir yang bisa merugikan penyedia atau pengguna.
- Sosialisasi dan Capacity Building – Kebijakan apapun tak akan efektif tanpa sosialisasi. LKPP perlu
masif mensosialisasikan perubahan ini, namun dengan penekanan yang tepat.
Pertama, tegaskan tujuan kebijakan (misal melindungi pemerintah
dari wanprestasi besar). Kedua, jelaskan skenario kapan jaminan wajib
dan kapan tidak perlu. PPK dan pokja perlu diberi pemahaman risk
management dasar agar mereka tidak takut mengambil keputusan sesuai
konteks. Materi sosialisasi juga harus disampaikan ke para penyedia
katalog, terutama UMKM, supaya mereka tahu bagaimana mengurus jaminan pelaksanaan
(misal melalui asuransi pemerintah, Jamkrindo/Askrindo, yang mungkin lebih
mudah bagi UMKM daripada bank). Edukasi ini penting agar UMKM tidak mundur
hanya karena awam soal bond. Pemerintah dapat menyediakan fasilitas
bonding bagi UMKM, contohnya program penjaminan UMi/KUR yang bisa
mencakup jaminan pelaksanaan dengan syarat lunak. Dengan
support semacam itu, dampak negatif kebijakan bisa diredam.
- Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan –
Terakhir, setelah implementasi berjalan (misal 6 bulan-1 tahun), LKPP
bersama BPKP/APIP harus mengevaluasi: apakah jaminan pelaksanaan di
e-Katalog efektif? Indikatornya: berapa kasus wanprestasi berhasil
diselamatkan dengan bond vs berapa banyak transaksi terganggu? Survei
kepuasan pengguna dan penyedia bisa dilakukan. Jika ternyata banyak
keluhan atau penurunan kinerja pengadaan, jangan ragu mengajukan penyesuaian
kebijakan ke level lebih tinggi (misal merevisi Perpres atau minimal
menerbitkan Inpres pengecualian). Kebijakan publik yang baik harus feedback-driven.
Fleksibilitas ini penting mengingat ekosistem e-Katalog bersifat dinamis.
Melalui kombinasi langkah di
atas, diharapkan tujuan perlindungan kepentingan pemerintah tetap tercapai tanpa
mengorbankan asas efisiensi dan partisipasi usaha. Smart regulation
inilah yang dibutuhkan: aturan yang cerdas mengenali perbedaan tingkat risiko
dan tidak menyamaratakan perlakuan untuk kondisi yang tidak sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar