Minggu, 06 Juli 2025

Rasionalitas Penerapan Jaminan Pelaksanaan dalam E-Katalog Versi 6 Pasca Perpres 46/2025

 

Rasionalitas Penerapan Jaminan Pelaksanaan dalam E-Katalog Versi 6 Pasca Perpres 46/2025

Position Paper

Penulis: Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.

Pendahuluan

Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 membawa perubahan signifikan terhadap tata kelola pengadaan, khususnya dalam mekanisme e-purchasing melalui e-Katalog versi 6. Salah satu perubahan krusial adalah dihapuskannya pengecualian jaminan pelaksanaan untuk kontrak yang dilakukan via e-purchasing. Sebelumnya, pengadaan melalui e-Katalog elektronik (e-purchasing) di atas Rp200 juta tidak diwajibkan menyertakan jaminan pelaksanaan. Namun, Pasal 33 hasil perubahan Perpres 46/2025 kini mensyaratkan bahwa setiap kontrak pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya bernilai lebih dari Rp200.000.000 harus disertai jaminan pelaksanaan, kecuali dalam kondisi tertentuhunaifa.web.id. Pengecualian untuk e-purchasing telah dihapus, sehingga otomatis setiap transaksi e-Katalog di atas Rp200 juta wajib memiliki jaminan pelaksanaanhunaifa.web.idhunaifa.web.id. Perubahan kebijakan ini menuai beragam tanggapan di kalangan praktisi pengadaan. Banyak yang mempertanyakan rasionalitas penerapan jaminan pelaksanaan secara blanket pada e-Katalog, mengingat tujuan e-Katalog adalah kemudahan dan kecepatan pengadaan.

Paper posisi ini akan mengkaji secara mendalam rasionalitas kebijakan tersebut dari berbagai sudut: perspektif hukum pengadaan dan perdata, efisiensi dan nilai manfaat kebijakan publik, pandangan audit dan manajemen risiko, perbandingan praktik internasional, data empiris yang relevan, serta rekomendasi kebijakan yang solutif. Pendekatan yang digunakan bersifat argumentatif-kritis namun berbasis riset dan praktik terbaik, dengan harapan memberikan masukan konstruktif bagi pemangku kepentingan.


Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis multidimensi di atas, berikut rekomendasi yang dapat dipertimbangkan untuk memastikan kebijakan jaminan pelaksanaan di e-Katalog lebih rasional dan efektif:

  1. Klasifikasi Transaksi Low-Risk Bebas Jaminan – Pemerintah (LKPP) sebaiknya mengeluarkan petunjuk teknis yang mengklasifikasikan jenis transaksi atau kategori produk/jasa yang dianggap berisiko rendah, di mana jaminan pelaksanaan boleh dikecualikan. Misalnya: pengadaan barang habis pakai, barang off-the-shelf, atau layanan sederhana dengan durasi <1 bulan dapat digolongkan low-risk no-bond. Landasan hukumnya, Pasal 50 ayat (5b) Perpres 16/2018 (hasil perubahan) memberikan kewenangan LKPP mengatur pengecualian e-purchasing dalam hal tertentumkasman.net. Ini bisa diinterpretasikan untuk menetapkan kondisi transaksi tertentu tidak wajib bond. Kebijakan semacam ini mengembalikan diskresi bagi PPK untuk tidak meminta bond jika memang tidak diperlukan, dengan argumentasi risikonya minimal. Tentu perlu kriteria terukur (misal nominal maks tertentu, jenis barang tertentu, tidak ada uang muka, dll). Langkah ini meniru praktik Chile yang menetapkan threshold 1.000 UTM baru perlu bondchilecompra.cl, atau Australia/Tasmania dengan discretionary bond di bawah nilai tertentupurchasing.tas.gov.au. Dengan adanya klasifikasi, para pelaku usaha terutama UMKM akan lebih tenang bertransaksi untuk kategori biasa tanpa terbebani jaminan, sementara pemerintah tetap terlindungi untuk kategori high-risk.
  2. Sistem Flagging Otomatis Berbasis Risiko – Membangun fitur dalam sistem e-Katalog V6 yang dapat mengidentifikasi risiko proyek dan memberikan notifikasi kepada PPK tentang perlunya jaminan pelaksanaan. Misal, apabila PPK membuat pesanan dengan kriteria tertentu (nilai sangat besar, barang customized, jadwal penyerahan panjang, atau vendor pernah ada history buruk), sistem dapat menandai “Transaksi High Risk: disarankan meminta Jaminan Pelaksanaan”. Ini semacam decision support system yang membantu PPK menaati regulasi sekaligus menerapkan risk management. Sebaliknya, jika transaksi nilai sedang dengan penyedia berpredikat baik, sistem bisa menyarankan “Low risk – Jaminan opsional”. Penerapan teknologi ini selaras dengan semangat digitalisasi pengadaan. LKPP sudah punya modul monitoring seperti fitur pengawasan APIPlkpp.go.id, maka menambahkan modul risk flagging akan melengkapi. Keuntungan sistem ini: penilaian risiko lebih seragam dan objective, mengurangi beban PPK menjustifikasi keputusan sendiri. Selain itu, data flagging bisa diolah untuk audit; jika PPK mengabaikan flag high-risk tanpa bond, bisa jadi bahan review APIP. Sebaliknya, flag low-risk bisa melindungi PPK dari kritik auditor saat ia memutuskan tak ambil bond. Ini menciptakan keseimbangan antara compliance dan fleksibilitas berbasis data.
  3. Regulasi Turunan oleh LKPP yang Lebih Adaptif – LKPP perlu segera menerbitkan peraturan turunan (Peraturan LKPP atau setidaknya Surat Edaran) yang menjabarkan tata cara penerapan jaminan pelaksanaan pada e-purchasing. Peraturan ini dapat memuat:
    • Threshold lebih tinggi atau pengecualian khusus: e.g. “Untuk e-purchasing barang/jasa dengan nilai sampai Rp500 juta yang bersifat pembelian tunggal, jaminan pelaksanaan tidak diwajibkan.” Atau pengecualian untuk katalog tertentu (pembelian buku sekolah, obat, dll yang umumnya urgent dan rutin).
    • Besaran jaminan yang proporsional: Pertimbangkan kemungkinan menurunkan porsi jaminan untuk e-purchasing. Misal tetap 5% untuk kontrak di atas Rp1M, tapi hanya 3% untuk kontrak Rp200-500 juta. Fleksibilitas ini untuk meringankan penyedia kecil. Hal ini masih inline dengan Perpres (yang tidak mengatur persentase secara kaku, biasanya diatur di dokumen standar).
    • Mekanisme alternatif pengamanan: Misal, bila tak ada jaminan pelaksanaan, PPK wajib menahan pembayaran sebesar 5% hingga penyelesaian (sebagai retensi). Ini sudah praktik umum di banyak kontrak, dan bisa menjadi substitusi jaminan bank. Dengan retensi, kas negara tetap aman tanpa membebani vendor dengan prosedur bank.
    • Prosedur pencairan dan klaim: Memperjelas bahwa pencairan jaminan di e-Katalog harus melewati proses statement of default oleh PPK disetujui KPA. Aturan jelas ini penting agar PPK tidak ragu menggunakan bond jika memang terjadi wanprestasi. Juga memastikan penyedia paham konsekuensinya.

Regulasi turunan semacam ini akan memberikan kepastian bagi semua pihak dan mengurangi kebingungan. Apalagi mengingat Perpres 46/2025 keluar relatif mendadak, banyak praktisi PBJ yang “belum ngeh” detail implementasinya. Kejelasan dari LKPP akan mencegah salah tafsir yang bisa merugikan penyedia atau pengguna.

  1. Sosialisasi dan Capacity Building – Kebijakan apapun tak akan efektif tanpa sosialisasi. LKPP perlu masif mensosialisasikan perubahan ini, namun dengan penekanan yang tepat. Pertama, tegaskan tujuan kebijakan (misal melindungi pemerintah dari wanprestasi besar). Kedua, jelaskan skenario kapan jaminan wajib dan kapan tidak perlu. PPK dan pokja perlu diberi pemahaman risk management dasar agar mereka tidak takut mengambil keputusan sesuai konteks. Materi sosialisasi juga harus disampaikan ke para penyedia katalog, terutama UMKM, supaya mereka tahu bagaimana mengurus jaminan pelaksanaan (misal melalui asuransi pemerintah, Jamkrindo/Askrindo, yang mungkin lebih mudah bagi UMKM daripada bank). Edukasi ini penting agar UMKM tidak mundur hanya karena awam soal bond. Pemerintah dapat menyediakan fasilitas bonding bagi UMKM, contohnya program penjaminan UMi/KUR yang bisa mencakup jaminan pelaksanaan dengan syarat lunak. Dengan support semacam itu, dampak negatif kebijakan bisa diredam.
  2. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan – Terakhir, setelah implementasi berjalan (misal 6 bulan-1 tahun), LKPP bersama BPKP/APIP harus mengevaluasi: apakah jaminan pelaksanaan di e-Katalog efektif? Indikatornya: berapa kasus wanprestasi berhasil diselamatkan dengan bond vs berapa banyak transaksi terganggu? Survei kepuasan pengguna dan penyedia bisa dilakukan. Jika ternyata banyak keluhan atau penurunan kinerja pengadaan, jangan ragu mengajukan penyesuaian kebijakan ke level lebih tinggi (misal merevisi Perpres atau minimal menerbitkan Inpres pengecualian). Kebijakan publik yang baik harus feedback-driven. Fleksibilitas ini penting mengingat ekosistem e-Katalog bersifat dinamis.

Melalui kombinasi langkah di atas, diharapkan tujuan perlindungan kepentingan pemerintah tetap tercapai tanpa mengorbankan asas efisiensi dan partisipasi usaha. Smart regulation inilah yang dibutuhkan: aturan yang cerdas mengenali perbedaan tingkat risiko dan tidak menyamaratakan perlakuan untuk kondisi yang tidak sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rasionalitas Penerapan Jaminan Pelaksanaan dalam E-Katalog Versi 6 Pasca Perpres 46/2025

  Rasionalitas Penerapan Jaminan Pelaksanaan dalam E-Katalog Versi 6 Pasca Perpres 46/2025 Position Paper Penulis: Agus Arif Rakhman, M....