Dilema Fiskal 2025 Dari Surplus ke Defisit, Ancaman Stagnasi, dan Jalan Keluar bagi Ekonomi Indonesia
Dilema Fiskal 2025 Dari Surplus ke Defisit, Ancaman Stagnasi, dan Jalan Keluar bagi Ekonomi Indonesia
Penulis Agus Arif Rakhman
Pendahuluan: Surplus yang Hilang, Defisit yang Membengkak
Perekonomian Indonesia memasuki tahun 2025 dengan tantangan besar. APBN yang sebelumnya surplus Rp 26 triliun pada Februari 2024 kini berbalik menjadi defisit Rp 31,2 triliun pada Februari 2025. Bahkan, realisasi penerimaan pajak per Januari 2025 hanya mencapai Rp 115,18 triliun, anjlok 34,5% dibandingkan Januari 2024 (Rp 175,8 triliun). Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga turun meskipun tidak sedalam pajak.
Di sisi lain, belanja negara tetap meningkat, terutama untuk transfer ke daerah dan belanja non-K/L. Hal ini membuat defisit anggaran semakin dalam, dari surplus Rp 35,12 triliun pada Januari 2024 menjadi defisit Rp 23,45 triliun pada Januari 2025.
Bagaimana kita memahami perubahan drastis ini? Apakah ini sekadar siklus ekonomi atau ada permasalahan struktural yang lebih dalam? Dengan menggunakan persamaan pendapatan nasional (Y = C + I + G + (X - M)), artikel ini akan menguraikan dampak ekonomi dari kondisi fiskal ini serta mencari strategi kebijakan yang tepat untuk mengatasi tantangan ke depan.
---
1. Mengurai Penyebab Defisit APBN 2025
A. Penurunan Penerimaan Negara: Konsumsi dan Investasi Lesu
Penerimaan negara mengalami kontraksi signifikan, terutama dari sektor perpajakan:
Penerimaan pajak turun drastis dari Rp 269,02 triliun pada Februari 2024 menjadi Rp 187,8 triliun pada Februari 2025.
Pada Januari 2025, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 115,18 triliun, turun 34,5% dibanding Januari 2024 (Rp 175,8 triliun).
PNBP juga melemah dari Rp 43,45 triliun pada Januari 2024 menjadi Rp 42,13 triliun pada Januari 2025 (-3%).
Turunnya penerimaan pajak menunjukkan melemahnya konsumsi masyarakat (C) dan melambatnya investasi (I), dua komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi. Jika masyarakat mengurangi konsumsi dan dunia usaha menahan ekspansi, maka penerimaan pajak pun otomatis turun.
Selain itu, bisa jadi ada insentif pajak atau regulasi tertentu yang menyebabkan penerimaan pajak tidak tumbuh sesuai ekspektasi.
B. Belanja Negara Tetap Tinggi, Tapi Tidak Efektif?
Meskipun pendapatan negara turun, belanja pemerintah tetap meningkat, terutama untuk transfer ke daerah dan belanja kementerian/lembaga. Perbandingan Januari 2024 vs. Januari 2025 menunjukkan:
Belanja negara naik dari Rp 184,19 triliun (Januari 2024) menjadi Rp 180,77 triliun (Januari 2025).
Belanja pemerintah pusat meningkat dari Rp 96,41 triliun menjadi Rp 86,04 triliun.
Transfer ke daerah meningkat dari Rp 87,78 triliun menjadi Rp 94,73 triliun.
Peningkatan belanja ini seharusnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi jika tidak dialokasikan secara efektif ke sektor produktif, maka dampaknya terhadap pemulihan ekonomi bisa minimal.
C. Keseimbangan Primer dan Defisit yang Memburuk
Pada Januari 2024, keseimbangan primer surplus Rp 65,25 triliun, tetapi di Januari 2025 sudah berubah menjadi defisit Rp 10,61 triliun.
Defisit APBN juga meningkat signifikan dari surplus Rp 35,12 triliun (Januari 2024) menjadi defisit Rp 23,45 triliun (Januari 2025).
Defisit ini menunjukkan bahwa tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang pun, pemerintah sudah mengalami kekurangan dana untuk membiayai belanjanya.
---
2. Dampak Terhadap Ekonomi: Analisis Makroekonomi
Dari perspektif persamaan pendapatan nasional (Y = C + I + G + (X - M)), perubahan fiskal ini memiliki dampak berikut:
1. Daya beli masyarakat melemah (C ↓)
Pajak konsumsi (PPN) menurun → tanda daya beli masyarakat menurun.
Inflasi dan ketidakpastian ekonomi bisa memperburuk situasi.
2. Investasi swasta stagnan atau menurun (I ↓)
Turunnya pajak dari sektor usaha menunjukkan perlambatan investasi.
Ketidakpastian fiskal membuat dunia usaha enggan berekspansi.
3. Belanja pemerintah masih meningkat (G ↑), tetapi tidak cukup menopang ekonomi
Belanja yang tidak efisien bisa membuat multiplier effect rendah.
Jika belanja modal berkurang, efek jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi bisa negatif.
4. Ekspor dan impor tidak cukup untuk menyeimbangkan defisit (X - M stagnan atau negatif)
Tidak ada indikasi peningkatan ekspor yang signifikan.
Jika ekspor tidak naik, maka ekonomi tidak bisa mengandalkan sektor luar untuk menutupi pelemahan domestik.
Akibatnya, jika tidak ada intervensi kebijakan yang tepat, ekonomi Indonesia berisiko mengalami perlambatan atau stagnasi dalam beberapa bulan ke depan.
---
3. Strategi Kebijakan untuk Mengatasi Krisis Fiskal
Untuk menghindari skenario lebih buruk, pemerintah harus melakukan langkah-langkah strategis berikut:
A. Reformasi Pajak: Meningkatkan Penerimaan Tanpa Menghambat Pertumbuhan
1. Meningkatkan kepatuhan pajak melalui digitalisasi dan simplifikasi administrasi.
2. Menyusun kebijakan insentif yang lebih selektif, agar penerimaan pajak tetap optimal.
3. Memastikan bahwa pengampunan pajak (tax amnesty) atau kebijakan serupa tidak merugikan penerimaan jangka panjang.
B. Menjaga Efisiensi dan Produktivitas Belanja Pemerintah
1. Belanja harus difokuskan pada sektor yang memiliki multiplier effect tinggi, seperti infrastruktur dan pendidikan.
2. Mengurangi pengeluaran yang tidak produktif, seperti subsidi yang tidak tepat sasaran.
3. Meningkatkan efisiensi dalam pengadaan barang/jasa, agar belanja pemerintah lebih efektif.
C. Mendorong Investasi dan Ekspor
1. Meningkatkan kepastian regulasi bagi investor, untuk meningkatkan investasi jangka panjang.
2. Mendorong industri ekspor dan hilirisasi sumber daya alam agar bisa menyeimbangkan neraca perdagangan.
3. Mendukung UMKM dan startup agar bisa tumbuh dan berkontribusi pada penerimaan negara.
---
Kesimpulan: Menyelamatkan APBN, Menjaga Stabilitas Ekonomi
APBN 2025 menghadapi tantangan besar dengan penurunan penerimaan, peningkatan belanja, dan membesarnya defisit. Jika tidak ditangani dengan baik, risiko stagnasi atau bahkan resesi bisa menjadi kenyataan.
Untuk menghindari skenario terburuk, pemerintah perlu memperbaiki kebijakan pajak, meningkatkan efisiensi belanja, dan mendorong investasi serta ekspor. Tanpa strategi yang tepat, 2025 bisa menjadi tahun yang lebih sulit bagi perekonomian Indonesia.
Pemerintah harus memilih: Apakah akan lebih agresif dalam mendorong pertumbuhan, atau justru lebih berhati-hati dalam mengelola anggaran? Keputusan ini akan menentukan arah ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang.
Komentar
Posting Komentar