Sabtu, 06 September 2025

Paradigma UNCAC vs. Delik Kerugian Negara - Analisis Risiko Kriminalisasi Kebijakan di Indonesia

Paradigma UNCAC vs. Delik Kerugian Negara - Analisis Risiko Kriminalisasi Kebijakan di Indonesia

AAR

Di tengah gegap gempita pemberantasan korupsi, seringkali kita mendengar berita seorang pejabat publik menjadi tersangka bukan karena menerima suap atau gratifikasi, melainkan karena sebuah kebijakan yang ia ambil dianggap "merugikan keuangan negara". Seorang bupati, direktur BUMN, atau bahkan menteri yang mungkin berniat baik untuk mempercepat pembangunan atau mengatasi krisis, justru berakhir di pengadilan.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial: Apakah hukum korupsi kita sudah tepat sasaran? Mengapa fokusnya seringkali bukan pada perbuatan jahat (korupsi itu sendiri), melainkan pada akibatnya (kerugian negara)?

Artikel ini akan mengupas tuntas perbedaan filosofi hukum korupsi antara standar internasional dan keunikan yang ada di Indonesia, serta bagaimana perbedaan ini menciptakan celah berbahaya yang disebut kriminalisasi kebijakan.


Bagian 1: Standar Internasional (UNCAC) - Fokus pada Perbuatan Jahat (Mens Rea)

Untuk memahami konteks global, kita harus merujuk pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Ini adalah perjanjian multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjadi standar emas dalam pemberantasan korupsi. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, yang berarti kita secara hukum berkomitmen untuk menyelaraskan diri dengan prinsip-prinsip di dalamnya.

Prinsip fundamental UNCAC adalah bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang didasarkan pada perbuatannya (act-based). Fokus utamanya adalah pada niat jahat (mens rea) dan tindakan kriminal (actus reus) itu sendiri. Kerugian negara, jika ada, diposisikan sebagai konsekuensi atau dampak yang memberatkan hukuman, bukan sebagai syarat utama terjadinya tindak pidana korupsi.

Berikut adalah beberapa pasal kunci dalam UNCAC yang menjelaskannya:

  • Pasal 15 UNCAC - Bribery of national public officials (Suap terhadap Pejabat Publik Nasional)

    • Bahasa Hukum: Pasal ini mengkriminalisasi "janji, penawaran, atau pemberian" keuntungan yang tidak semestinya kepada pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, agar pejabat tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya. Hal yang sama berlaku bagi pejabat yang "meminta atau menerima" keuntungan tersebut.

    • Penjelasan Sederhana: Inti kejahatannya adalah adanya transaksi busuk antara pemberi dan penerima. Saat amplop berpindah tangan dengan niat jahat, saat itulah korupsi terjadi, tidak peduli apakah negara pada akhirnya rugi atau tidak.

  • Pasal 17 UNCAC - Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official (Penggelapan, Penyalahgunaan, atau Penyelewengan Harta oleh Pejabat Publik)

    • Bahasa Hukum: Pasal ini menargetkan pejabat publik yang dengan sengaja menyalahgunakan (embezzle), menyelewengkan (misappropriate), atau mengalihkan (divert) untuk keuntungan pribadi atau pihak lain, setiap harta, dana, atau efek baik milik publik maupun swasta yang dipercayakan kepadanya berdasarkan jabatannya.

    • Penjelasan Sederhana: Kejahatannya adalah tindakan pengkhianatan amanah. Saat seorang bendahara memakai uang kas kantor untuk kepentingan pribadi, saat itu juga ia bersalah. Tidak perlu menunggu audit akhir tahun untuk menghitung kerugian.

  • Pasal 19 UNCAC - Abuse of functions (Penyalahgunaan Jabatan)

    • Bahasa Hukum: Pasal ini mengkriminalisasi perbuatan seorang pejabat publik yang menyalahgunakan fungsi atau jabatannya—yaitu, dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum—dalam menjalankan tugasnya, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak semestinya bagi dirinya sendiri, orang lain, atau entitas lain.

    • Penjelasan Sederhana: Kejahatannya adalah menggunakan kekuasaan untuk tujuan yang salah. Contohnya, seorang pejabat yang sengaja memberikan proyek kepada saudaranya yang tidak kompeten, mengabaikan penawar yang lebih baik. Keputusan yang didasari konflik kepentingan itulah kejahatannya.

Sumber Informasi: Anda dapat mengakses naskah lengkap UNCAC yang dirilis oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) melalui tautan berikut: https://www.unodc.org/documents/brussels/UN_Convention_Against_Corruption.pdf


Bagian 2: Keunikan Hukum Indonesia - Fokus pada Akibat (Kerugian Negara)

Di sinilah letak perbedaan mendasar hukum Indonesia. Melalui Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Indonesia mengambil jalur yang berbeda, terutama pada dua pasal andalannya:

  • Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor: Menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana...

  • Pasal 3 UU Tipikor: Menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana...

Bahasa Hukum: Frasa "dapat merugikan keuangan negara" dalam kedua pasal tersebut bukanlah sekadar akibat, melainkan merupakan elemen inti (elemen konstitutif) dari delik itu sendiri. Artinya, untuk membuktikan seseorang bersalah menurut pasal ini, jaksa penuntut umum wajib membuktikan bahwa perbuatan terdakwa telah atau dapat menimbulkan kerugian bagi negara. Tanpa bukti kerugian negara, unsur pasal tidak terpenuhi.

Penjelasan Sederhana: Logika hukum kita bergeser. Dari yang seharusnya memburu "tikus" (pelaku korupsi), kita justru lebih fokus menghitung "beras yang hilang" (kerugian negara). Jika beras yang hilang tidak bisa dihitung atau dibuktikan, maka tikusnya seolah-olah tidak ada.


Bagian 3: Celah Kriminalisasi - 10 Analogi "Mencari-cari Kesalahan Prosedur"

Fokus pada "kerugian negara" ini membuka celah di mana penegak hukum tidak lagi mencari kejahatan korupsi yang sesungguhnya (seperti suap atau penggelapan), melainkan mencari kesalahan administrasi atau prosedur, lalu menghubungkannya dengan kerugian finansial yang terjadi.

Berikut 10 analogi bagaimana seorang pejabat yang mungkin tidak korup bisa terjerat:

  1. Anologi Direktur BUMN Karya & Proyek Strategis Nasional

    • Skenario: Direktur BUMN Karya harus menyelesaikan pembangunan bendungan sebelum musim hujan. Ia menggunakan metode pengecoran yang 5% lebih mahal tapi 20% lebih cepat dari kontrak awal untuk mengejar target. Bendungan selesai tepat waktu dan mencegah banjir.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Melakukan adendum kontrak yang menyimpang dari rencana awal tanpa persetujuan berlapis yang memakan waktu.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Selisih biaya 5% dari metode yang lebih mahal itu dianggap "kerugian negara", sementara manfaat ekonomi dari selesainya bendungan tepat waktu diabaikan dalam perhitungan pidana.

  2. Anologi Walikota & Program Subsidi UMKM Digital

    • Skenario: Walikota meluncurkan program subsidi agar UMKM bisa berjualan online. Sebagian UMKM sukses besar, namun 30% di antaranya gagal beradaptasi dan usahanya tutup.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Tim seleksi UMKM dianggap "tidak cermat" dan "kurang melakukan verifikasi mendalam" terhadap semua peserta.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Dana subsidi yang diberikan kepada 30% UMKM yang gagal itu dicatat sebagai "total loss" atau kerugian negara. Risiko bisnis (business risk) diinterpretasikan sebagai tindak pidana.

  3. Anologi Kepala BPBD & Bantuan Bencana

    • Skenario: Saat terjadi gempa, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) butuh tenda darurat segera. Ia langsung membeli dari toko lokal terdekat dengan harga sedikit lebih tinggi agar bantuan cepat sampai.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Melakukan "Penunjukan Langsung" dalam kondisi darurat yang oleh auditor dianggap masih memungkinkan untuk "lelang cepat".

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Selisih harga tenda dari toko lokal dengan harga hipotetis jika dilakukan lelang dianggap sebagai kerugian negara.

  4. Anologi Menteri Pertanian & Swasembada Pangan

    • Skenario: Untuk meningkatkan hasil panen, Menteri meluncurkan program bantuan bibit unggul varietas baru yang harganya lebih mahal dari bibit biasa. Ternyata, serangan hama membuat panen gagal di beberapa daerah.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Kebijakan dianggap "kurang kajian" risiko hama dan "pemborosan anggaran" karena memilih bibit mahal.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Seluruh biaya pengadaan bibit di daerah yang gagal panen dianggap sebagai kerugian negara.

  5. Anologi Direktur Bank BUMN & Restrukturisasi Kredit

    • Skenario: Direktur bank BUMN merestrukturisasi utang perusahaan tekstil besar yang hampir bangkrut untuk menyelamatkan ribuan pekerjanya. Ia memberi keringanan cicilan dengan harapan perusahaan pulih. Namun, krisis global membuat perusahaan itu tetap bangkrut setahun kemudian.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Keputusan restrukturisasi dinilai "terlalu optimistis" dan "tidak prudent" oleh penyidik.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Sisa kredit macet yang tidak tertagih setelah restrukturisasi gagal dianggap sebagai kerugian negara yang disebabkan oleh kebijakan direktur tersebut.

  6. Anologi Gubernur & Pembebasan Lahan MRT

    • Skenario: Gubernur membebaskan lahan warga untuk proyek MRT sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh tim penilai independen (appraisal) yang sah. Proyek berjalan lancar.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Tiga tahun kemudian, ada pihak yang menggunakan jasa appraisal lain yang menilai harga tanah saat itu seharusnya 10% lebih rendah.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Selisih 10% dari appraisal kedua itu ditarik mundur dan dianggap sebagai kerugian negara akibat "kelalaian" gubernur.

  7. Anologi Kepala Dinas Pendidikan & Pembelian Laptop

    • Skenario: Kadisdik membeli laptop merek A yang lebih mahal 1 juta rupiah per unit dibandingkan merek B, dengan pertimbangan merek A punya garansi 3 tahun dan lebih awet.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Melanggar prinsip "efisiensi anggaran" karena tidak memilih penawaran termurah yang tersedia di e-katalog.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Selisih 1 juta rupiah dikalikan jumlah unit laptop yang dibeli dihitung sebagai kerugian negara, tanpa mempertimbangkan nilai jangka panjang.

  8. Anologi Kepala Dinas Kesehatan & Alat Medis Canggih

    • Skenario: Saat awal pandemi, Kadinkes membeli alat tes genomik dari Jerman untuk mendeteksi varian virus baru. Setahun kemudian, produsen dalam negeri berhasil membuat alat serupa dengan harga 40% lebih murah.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Dianggap "tidak mendukung produk dalam negeri" dan "terburu-buru" dalam mengambil keputusan pembelian.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Selisih harga antara alat dari Jerman dan alat buatan lokal (yang belum ada saat pembelian) dihitung sebagai kerugian negara.

  9. Anologi Rektor Universitas & Kerjasama Riset Internasional

    • Skenario: Rektor menginvestasikan dana universitas untuk proyek riset bersama universitas di luar negeri, dengan harapan menghasilkan paten. Setelah 3 tahun, riset tidak membuahkan hasil komersial.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Proposal riset dinilai "kurang memiliki studi kelayakan bisnis yang matang".

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Seluruh dana investasi riset yang sudah dikeluarkan dianggap kerugian negara karena tidak ada hasil yang menguntungkan.

  10. Anologi Menteri Perdagangan & Kebijakan Impor

    • Skenario: Untuk menekan harga minyak goreng yang melonjak, Menteri membuka keran impor sementara. Harga di pasar stabil, namun kebijakan ini menyebabkan pendapatan BUMN produsen sawit sedikit menurun.

    • Kesalahan Prosedur yang Dicari: Kebijakan dianggap "tidak komprehensif" karena tidak mempertimbangkan dampak terhadap BUMN.

    • Hubungan ke Kerugian Negara: Penurunan laba yang dialami BUMN tersebut dihitung sebagai kerugian negara akibat kebijakan sang menteri.



Diskresi vs. Korupsi—Di Mana Garis Batasnya?

Salah satu argumen yang sering muncul dalam pembelaan kasus korupsi kebijakan adalah: "Ini bukan korupsi, ini adalah diskresi." Seorang pejabat publik memang memiliki kewenangan diskresi, yaitu kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu demi kepentingan umum, terutama ketika peraturan yang ada tidak memberikan panduan yang spesifik.

Lalu, bagaimana kita, sebagai orang awam, bisa membedakan antara diskresi yang sah dengan tindak pidana penggelapan (Pasal 17 UNCAC) dan penyalahgunaan jabatan (Pasal 19 UNCAC) yang mengandung niat jahat?

Garis batasnya terletak pada pembuktian adanya perbuatan (act-based) yang didasari niat jahat (mens rea). Mari kita bedah kedua pasal UNCAC tersebut terlebih dahulu sebelum masuk ke uji pembedanya.

Memahami Karakteristik Kunci Pasal 17 dan 19 UNCAC

Meskipun seringkali tumpang tindih, kedua pasal ini memiliki fokus yang sedikit berbeda:

  • Pasal 17 UNCAC - Penggelapan (Embezzlement)

    • Fokus Utama: Penyelewengan aset yang dipercayakan.

    • Bahasa Hukum: Pasal ini berpusat pada pejabat yang menyalahgunakan harta, dana, atau efek (aset) yang secara sah berada dalam penguasaan atau pengelolaannya karena jabatannya.

    • Analogi Sederhana: Bayangkan seorang bendahara desa. Dana desa secara sah ada di dalam brankas yang ia kelola (dipercayakan). Kejahatan terjadi ketika ia mengambil sebagian dana itu untuk merenovasi rumah pribadinya. Ia tidak menyalahgunakan wewenang untuk membuat keputusan, melainkan menyelewengkan aset yang sudah ada dalam genggamannya.

  • Pasal 19 UNCAC - Penyalahgunaan Jabatan (Abuse of Functions)

    • Fokus Utama: Penyalahgunaan kekuasaan dalam membuat keputusan.

    • Bahasa Hukum: Pasal ini menargetkan pejabat yang menyalahgunakan fungsi atau jabatannya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan (membuat keputusan) yang melanggar hukum, demi mendapatkan keuntungan.

    • Analogi Sederhana: Bayangkan seorang kepala dinas perizinan. Ia tidak menggelapkan uang dari brankas. Kejahatannya terjadi ketika ia menggunakan kekuasaan stempelnya untuk menerbitkan izin mendirikan bangunan di jalur hijau bagi pengusaha yang memberinya gratifikasi. Ia menyalahgunakan kewenangan pengambilan keputusannya.

Uji Pembeda: Tiga Elemen Kunci untuk Mendeteksi Niat Jahat (Mens Rea)

Untuk menarik garis batas yang tegas antara diskresi dan korupsi, penegak hukum yang berpegang pada prinsip UNCAC akan mencari bukti-bukti perbuatan yang menunjukkan adanya niat jahat. Berikut adalah tiga elemen kunci sebagai alat uji.

1. Adanya Keuntungan Pribadi yang Tidak Sah (Illicit Personal Gain)

Ini adalah pembeda paling fundamental. Diskresi selalu bertujuan untuk kepentingan publik, meskipun hasilnya mungkin tidak sempurna. Sebaliknya, penyalahgunaan wewenang selalu berujung pada keuntungan pribadi atau kelompoknya.

  • Pertanyaan Kunci: Apakah ada bukti pejabat, keluarganya, atau kroninya menerima aliran dana, saham, aset, janji jabatan, fasilitas mewah, atau bentuk keuntungan pribadi lainnya dari keputusan yang diambil?

  • Contoh Diskresi Sah: Seorang Gubernur, di tengah kelangkaan, memutuskan untuk membeli alat kesehatan dari perusahaan X dengan harga sedikit lebih mahal karena perusahaan tersebut menjamin pengiriman dalam 24 jam. Tujuannya murni untuk kepentingan publik, yaitu menyelamatkan nyawa.

  • Contoh Penyalahgunaan Jabatan: Seorang Gubernur memutuskan membeli alat kesehatan dari perusahaan X karena diam-diam ia akan menerima cashback 10% atau karena perusahaan itu milik sahabatnya. Di sini, alasan utama di balik keputusan tersebut adalah keuntungan pribadi, bukan kepentingan publik.

2. Adanya Pelanggaran Prosedur yang Disengaja dan Tersembunyi (Deliberate and Concealed Breach)

Kesalahan prosedur bisa terjadi karena kelalaian (maladministrasi). Namun, dalam kasus korupsi, pelanggaran prosedur seringkali dilakukan secara sistematis, disengaja, dan aktif disembunyikan untuk memuluskan niat jahat.

  • Pertanyaan Kunci: Apakah pejabat tersebut secara aktif menekan bawahan untuk melanggar aturan? Apakah ada dokumen yang dipalsukan atau tanggalnya diubah? Apakah rapat-rapat kunci sengaja tidak dibuatkan notulensi untuk menghilangkan jejak? Apakah proses transparan seperti tender sengaja dihindari tanpa justifikasi darurat yang sah?

  • Contoh Diskresi (dengan Maladministrasi): Seorang kepala dinas lupa melampirkan satu dokumen pendukung dalam proyeknya karena terburu-buru. Ini adalah kesalahan administratif.

  • Contoh Penyalahgunaan Jabatan: Seorang kepala dinas memerintahkan stafnya untuk membuat tanggal mundur pada dokumen kontrak (backdating), mengadakan "lelang fiktif" dengan tiga perusahaan miliknya sendiri, dan menolak memberikan akses data saat diaudit. Rangkaian perbuatan ini menunjukkan adanya niat jahat yang disembunyikan.

3. Ketiadaan Dasar Rasionalitas untuk Kepentingan Publik (Absence of Public Interest Rationale)

Setiap kebijakan diskresi, sekalipun berisiko atau akhirnya gagal, harus memiliki landasan argumen yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan mengapa keputusan itu diambil untuk kepentingan publik pada saat itu. Korupsi seringkali menyamar sebagai kebijakan yang tidak masuk akal.

  • Pertanyaan Kunci: Apakah ada kajian, data pendukung, atau masukan dari para ahli yang mendasari keputusan tersebut? Ataukah keputusan itu diambil secara tiba-tiba, bertentangan dengan semua saran ahli, dan secara kasat mata hanya menguntungkan satu pihak tertentu?

  • Contoh Diskresi Sah: Seorang Menteri BUMN memutuskan untuk menyuntikkan dana talangan (bailout) kepada sebuah BUMN Karya yang merugi, dengan dasar argumen bahwa BUMN tersebut memegang proyek strategis nasional dan mempekerjakan puluhan ribu orang. Keputusan ini mungkin kontroversial, tapi memiliki dasar rasionalitas publik.

  • Contoh Penyalahgunaan Jabatan: Seorang Menteri BUMN memutuskan menyuntikkan dana talangan kepada sebuah BUMN kecil yang tidak strategis, yang baru saja diakuisisi oleh kroninya, dan memiliki kinerja buruk. Keputusan ini tidak memiliki dasar rasionalitas publik dan patut dicurigai sebagai upaya menyelamatkan aset kroni menggunakan uang negara.


Tabel Perbandingan: Diskresi vs. Korupsi

KriteriaKebijakan Diskresi SahPenyalahgunaan Wewenang Kriminal (Korupsi)
Tujuan UtamaMelayani kepentingan publik.Memperoleh keuntungan pribadi/kelompok (illicit gain).
Penerima ManfaatMasyarakat luas atau negara.Pejabat, keluarga, kroni, atau pihak terkait.
Proses & ProsedurBerusaha mengikuti aturan, jika ada kesalahan bersifat kelalaian (maladministrasi).Sengaja melanggar/mengakali aturan, seringkali secara tersembunyi untuk menutupi niat.
Dasar KeputusanBerdasarkan data, urgensi, atau argumen rasional untuk kepentingan publik.Tidak memiliki dasar rasionalitas publik yang kuat, seringkali aneh dan tidak logis.
TransparansiCenderung terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.Cenderung tertutup, menghindari pengawasan, dan jejaknya berusaha dihilangkan.

Dengan memahami kerangka kerja ini, kita dapat melihat dengan lebih jernih bahwa pemberantasan korupsi yang efektif seharusnya fokus memburu bukti-bukti perbuatan jahat di atas, bukan sekadar menghitung angka kerugian dari sebuah kebijakan yang mungkin hanya merupakan sebuah kesalahan atau risiko bisnis yang tidak beruntung.


Kesimpulan: Jalan Menuju Pemberantasan Korupsi yang Berkeadilan

Fokus berlebihan pada "kerugian negara" dan "kesalahan prosedur" telah menciptakan iklim ketakutan (chilling effect) di kalangan pejabat publik. Mereka menjadi ragu untuk berinovasi dan mengambil keputusan cepat yang diperlukan untuk melayani masyarakat, karena takut setiap kegagalan atau ketidaksempurnaan administrasi dapat berujung pada tuntutan pidana korupsi.

Pemberantasan korupsi yang efektif seharusnya memisahkan dengan tegas:

  1. Kesalahan Administratif: Kesalahan prosedur tanpa niat jahat, yang ranahnya adalah sanksi administrasi atau gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

  2. Tindak Pidana Korupsi: Perbuatan yang jelas mengandung niat jahat (mens rea) seperti suap, penggelapan, dan penyalahgunaan jabatan, sebagaimana diatur dalam UNCAC.

Sudah saatnya Indonesia mengevaluasi kembali UU Tipikor agar lebih selaras dengan semangat UNCAC, yakni menghukum para koruptor sejati yang berniat jahat, bukan mengkriminalisasi para pengambil kebijakan yang mungkin melakukan kesalahan tanpa niat korup. Dengan begitu, pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih tajam, adil, dan tidak menghambat laju pembangunan.


Tentu saja. Ini adalah isu yang sangat krusial dan layak mendapatkan sorotan khusus. Meneruskan artikel sebelumnya, berikut adalah bagian tambahan yang membahas secara lugas dan mendalam mengenai kriminalisasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.


Fokus Khusus: Kriminalisasi Pengadaan Barang/Jasa—Ketika Value for Money Dikorbankan oleh Ketakutan

Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah adalah urat nadi pembangunan. Inilah mekanisme di mana uang rakyat yang terkumpul dalam APBN/APBD diubah menjadi jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan layanan publik lainnya. PBJ seharusnya menjadi mesin yang menggerakkan perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan. Namun, mesin ini sekarang seringkali berjalan tersendat, bukan karena kekurangan dana, tetapi karena dilumpuhkan oleh ketakutan.

Ketakutan ini lahir dari sebuah zona abu-abu yang semakin melebar, di mana sistem hukum kita kesulitan—atau bahkan tidak mau—membedakan antara dua hal yang fundamentally berbeda: maladministrasi yang menyebabkan kerugian negara dengan korupsi (mens rea) yang menyebabkan kerugian negara.

Akibatnya, para pelaku pengadaan, dari Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan hingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dihadapkan pada sebuah dilema yang membahayakan: membuat keputusan terbaik untuk negara dengan risiko penjara, atau membuat keputusan paling aman secara prosedur meskipun hasilnya tidak optimal.

Anatomi Value for Money: Tujuan PBJ yang Terlupakan

Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus memahami tujuan hakiki dari pengadaan. Praktik terbaik (best practice) di seluruh dunia menyebutnya Value for Money (VfM). Konsep ini bukan sekadar mencari harga termurah. VfM adalah sebuah sintesis optimal dari beberapa elemen:

  1. Ekonomi (Harga): Mendapatkan barang/jasa dengan harga terendah untuk tingkat kualitas yang telah ditetapkan. Bukan sekadar murah, tapi murah berkualitas.

  2. Efisien (Proses): Menggunakan sumber daya (waktu, tenaga, biaya) seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil maksimal. Proses yang cepat dan tepat adalah bagian dari efisiensi.

  3. Efektif (Hasil): Memastikan barang/jasa yang dibeli benar-benar mencapai tujuan yang diinginkan. Membangun jembatan (output) tidak ada artinya jika jembatan itu tidak meningkatkan perekonomian lokal (outcome).

  4. Keadilan & Keberlanjutan: Memastikan prosesnya adil, transparan, dan mempertimbangkan dampak sosial serta lingkungan.

Mencapai VfM sejati adalah sebuah seni yang membutuhkan keahlian, integritas, dan keberanian mengambil keputusan (professional judgment). Namun, justru di sinilah letak episentrum masalahnya.

Dua Jalan Menuju Kerugian Negara: Kesalahan vs. Kejahatan

Dalam konteks PBJ, "kerugian negara" bisa timbul dari dua sumber yang sangat berbeda, dan memperlakukannya secara sama adalah sebuah kekeliruan fatal.

Jalan Pertama: Kerugian Akibat Maladministrasi (Kesalahan Prosedur Tanpa Niat Jahat)

Ini adalah domain dari kesalahan manusia, ketidakefisienan sistem, atau penilaian profesional yang keliru namun dilakukan dengan itikad baik. Niat jahat (mens rea) untuk mencuri uang negara tidak ada.

  • Contoh Skenario:

    • Kesalahan Spesifikasi: Pokja Pemilihan, karena keterbatasan pemahaman teknis, menetapkan spesifikasi laptop yang sedikit keliru. Laptop yang dibeli berfungsi, namun tidak 100% optimal untuk kebutuhan akhir. Ini adalah masalah kompetensi, bukan korupsi.

    • Keterlambatan Proses: Proses lelang yang birokratis berjalan lambat. Saat pemenang ditetapkan, harga baja sudah naik 10% dari saat perencanaan. Negara harus membayar lebih mahal. Ini adalah masalah efisiensi sistem, bukan niat jahat PPK.

    • Penilaian yang Keliru: PPK memilih konsultan A yang sedikit lebih mahal dari konsultan B, karena yakin portofolio A lebih baik. Ternyata, hasil kerja konsultan A tidak memuaskan. Ini adalah risiko dari sebuah keputusan profesional, bukan kejahatan.

Dalam kasus-kasus seperti ini, solusinya seharusnya adalah perbaikan sistem, peningkatan kapasitas SDM, sanksi administratif, atau tuntutan perdata/ganti rugi—bukan hukum pidana.

Jalan Kedua: Kerugian Akibat Korupsi (Kejahatan Terencana dengan Mens Rea)

Di sini, pelanggaran prosedur bukanlah sebuah kesalahan, melainkan alat atau sarana yang sengaja diciptakan untuk memuluskan niat jahat (mens rea) dalam rangka memperkaya diri sendiri atau orang lain.

  • Contoh Skenario:

    • Kolusi (Persekongkolan): Pokja secara diam-diam bertemu dengan beberapa penyedia jasa untuk mengatur lelang. Mereka sengaja membuat spesifikasi yang hanya bisa dipenuhi oleh satu perusahaan (mengunci spek) dan membocorkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) agar penawarannya menang tipis. Pelanggaran prosedur di sini adalah bagian dari skenario kejahatan.

    • Suap (Kickback): PPK menyetujui pekerjaan aspal jalan yang kualitasnya jelas-jelas di bawah standar kontrak. Mengapa? Karena ia telah menerima "uang terima kasih" 5% dari nilai proyek. Persetujuan yang cacat itu adalah perbuatan sadar yang didasari suap.

    • Penipuan (Fraud): Penyedia jasa memalsukan dokumen pengalaman kerja atau sertifikat keahlian untuk bisa lolos kualifikasi. Negara membayar untuk kualifikasi "ahli utama" namun mendapatkan hasil dari "tenaga terampil". Kerugian negara adalah akibat langsung dari penipuan terencana.

Kasus-kasus inilah yang seharusnya menjadi fokus utama aparat penegak hukum, di mana bukti niat jahatnya nyata dan dapat dilacak.

Efek Mengerikan: Chilling Effect dan Kematian Value for Money

Ketika sistem tidak lagi bisa membedakan dua jalan tersebut, dan setiap kerugian negara—apa pun penyebabnya—dianggap sebagai potensi pidana, maka lahirlah sebuah "iklim ketakutan" atau chilling effect yang mematikan. Dampaknya nyata dan merusak:

  1. Mentalitas "Asal Selamat": Pejabat akan selalu memilih opsi "paling aman" secara dokumen, yaitu penawaran termurah, meskipun mereka tahu barangnya berkualitas rendah dan akan lebih mahal biaya perawatannya di masa depan. Prinsip Value for Money seketika mati.

  2. Paralisis Analisis: Takut disalahkan, para pelaku pengadaan akan menunda-nunda keputusan, meminta puluhan pendapat hukum, dan mengadakan rapat tanpa akhir. Hasilnya adalah serapan anggaran yang rendah dan program pembangunan yang terlambat dinikmati rakyat.

  3. Anti-Inovasi: Tidak akan ada pejabat yang berani mencoba metode pengadaan yang lebih modern, efisien, atau strategis jika itu berarti sedikit menyimpang dari prosedur baku yang kaku. Inovasi dianggap sebagai "pintu masuk" menuju penjara.

Pada akhirnya, ironi terbesar pun terjadi. Upaya memberantas korupsi dengan menyamaratakan semua kesalahan prosedur sebagai potensi kejahatan justru menimbulkan kerugian negara dalam skala yang jauh lebih masif: kerugian akibat pembangunan yang lambat, kualitas aset yang buruk, dan hilangnya potensi kesejahteraan rakyat. Ini adalah bentuk kegagalan sistemik yang mengorbankan tujuan utama bernegara.

Jalan ke Depan adalah Perubahan Paradigma: Hukum pidana harus dikembalikan sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) dalam PBJ, yang hanya digunakan ketika bukti mens rea benar-benar ada. Untuk kesalahan prosedur dan maladministrasi, pengawasan internal (APIP) harus diperkuat untuk melakukan tindakan korektif dan pembinaan. Tanpa keberanian untuk memisahkan keduanya, mesin pembangunan kita akan terus beroperasi dalam ketakutan, dan amanah uang rakyat tidak akan pernah mewujud menjadi nilai terbaiknya.


Korupsi di Indonesia: Saat “Kerugian Negara” Jadi Unsur Delik, Apa Dampaknya ke SOP Pengadaan

Indonesia mengambil rute yang tidak lazim. Pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menjadi elemen inti delik. Ini berbeda dari banyak negara lain yang menjerat korupsi berdasarkan jenis perbuatannya. Bukan akibatnya. Peraturan BPK

Standar internasional seperti UNCAC mengkriminalkan perbuatan suap, penggelapan, penyalahgunaan fungsi, dan sejenisnya. UNCAC tidak mensyaratkan pembuktian kerugian negara sebagai elemen. Kerugian biasanya berperan pada penjatuhan pidana dan pemulihan aset. Inggris melalui Bribery Act 2010 juga tidak mensyaratkan unsur kerugian untuk membuktikan suap. Filipina punya delik khusus yang mensyaratkan “undue injury” kepada pemerintah, tetapi itu bukan kerangka definisi umum korupsi. unodc.org+1star.worldbank.orglegislation.gov.ukgov.uklawphil.net+1

Perkembangan kunci di 2025 mempertegas arah pembuktian. Mahkamah Konstitusi menegaskan pembacaan Pasal 2 dan 3 sebagai delik materiil. Kerugian negara harus nyata dan terbukti. Bukan potensi. Ini menggeser praktik lama yang cukup dengan “dapat merugikan.” Putusan dan rilis resmi MK menegaskan bahwa kerugian harus bisa dihitung berdasarkan temuan instansi berwenang atau akuntan publik. mkri.idMahkamah Konstitusi

Di sisi keuangan negara, UU Perbendaharaan Negara mendefinisikan “kerugian negara” sebagai kekurangan yang nyata dan pasti jumlahnya. Definisi ini penting untuk menautkan audit, pemulihan, dan penegakan hukum. Peraturan BPKluk.staff.ugm.ac.id

https://www.unodc.org/corruption/en/uncac/learn-about-uncac.html

https://www.undp.org/sites/g/files/zskgke326/files/migration/pacific/pacific-anticorruption-factsheet-uncac-chapteriii.pdf?utm_source=chatgpt.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paradigma UNCAC vs. Delik Kerugian Negara - Analisis Risiko Kriminalisasi Kebijakan di Indonesia

Paradigma UNCAC vs. Delik Kerugian Negara - Analisis Risiko Kriminalisasi Kebijakan di Indonesia AAR Di tengah gegap gempita pemberantasan k...