Sabtu, 27 September 2025

Audit Ya, Validasi Tidak: Menjaga Batas Kewenangan BPK dalam PBJ

 

Audit Ya, Validasi Tidak: Menjaga Batas Kewenangan BPK dalam PBJ


Pengantar Penulis

Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.
(Pengelola Pengadaan Ahli Madya – Pemegang Kompetensi Pengadaan Barang/Jasa Level 4; Fasilitator Kehormatan PBJ LKPP)

Dengan segala hormat, naskah ini saya susun sebagai upaya literasi dan penyegaran pemahaman bersama—bukan untuk menyinggung, apalagi memperlemah peran pengawasan negara. Saya percaya BPK dan Pelaku PBJ berdiri di sisi yang sama: menjaga harta publik, menegakkan akuntabilitas, dan memastikan setiap rupiah bekerja untuk masyarakat. Karena itu, bahasa dalam tulisan ini saya pilih halus, argumentatif, dan berbasis regulasi, agar diskusi tetap sejuk namun tegas pada batas-batas kewenangan yang dibentuk hukum.

Dengan penuh hormat, saya menulis bagian ini khusus pada ranah audit terhadap prosedur Pengadaan Barang/Jasa (PBJ). Alasannya sederhana: obyek audit yang dibahas langsung bersinggungan dengan kompetensi profesi yang sehari-hari saya jalankan sebagai Pengelola Pengadaan Ahli Madya dan Fasilitator Kehormatan PBJ LKPP. Karena itu, saya merasa berkewajiban menyumbang sudut pandang yang jernih—bukan untuk membantah, melainkan berkolaborasi memperbaiki—agar ekosistem pengadaan tetap sehat, efektif, dan berdaya guna, Semoga tidak dipandang sebagai kritikan melawan namun lebih sebagai rasa sayang dan bakti saya kepada NKRI, karena tidak semua pelaku pengadaan itu koruptor, dan kita menjadi bisa membedakan mana kesalahan dan mana kejahatan.

Saya juga memahami bahwa LHP dan istilah “kerugian negara” kerap menjadi pintu masuk Aparat Penegak Hukum. Di titik ini, kualitas temuan menjadi krusial: kategori, kriteria, dan forum harus tepat, supaya tindak lanjut tidak terseret pada tafsir yang melampaui batas ranah prosedur dan kompetensi PBJ yang sebenarnya. Bila isu ini berada di luar PBJ, barangkali saya tidak perlu ikut bicara; namun karena menyentuh jantung PBJ, izinkan saya mengajukan catatan edukatif ini—dengan bahasa yang halus, berbasis regulasi, dan berniat tulus untuk penyempurnaan bersama.

Harapan saya, naskah ini dibaca sebagai ajakan untuk kembali pada kriteria (regulasi, dokumen pemilihan, kontrak), forum yang tepat, dan evidensi yang sahih—agar pengawasan kian kuat tanpa menggeser kewenangan Pelaku PBJ. Dengan demikian, kita merawat kepastian hukum, menjaga marwah proses, dan memastikan setiap rupiah benar-benar bekerja bagi masyarakat. 😊

Sebagai Pengelola Pengadaan Ahli Madya (Level 4) sekaligus Fasilitator Kehormatan di bidang PBJ LKPP, tugas saya sehari-hari adalah memastikan proses pengadaan berjalan patuh, efisien, dan berorientasi keluaran. Dari pengalaman itulah saya melihat perlunya penajaman: audit yang kuat harus tetap berada pada kriteria yang sah (regulasi, dokumen pemilihan, dan kontrak) tanpa menyubstitusi hak mengambil keputusan Pelaku PBJ. Bukan untuk membatasi audit—melainkan untuk mengokohkannya, agar temuan tepat forum, tepat sasaran, dan mudah dieksekusi.

Saya memohon naskah ini dibaca sebagai edukasi bersama demi kepastian hukum, akuntabilitas, dan nilai-manfaat publik. Kita semua menginginkan hal yang sama: pengadaan yang bersih, cepat, dan menghasilkan. Maka selama tidak ditemukan kejahatan nyata—seperti gratifikasi, suap, pekerjaan fiktif, atau hasil yang tidak sesuai spesifikasi—marwah dan karakteristik pengadaan sebaiknya tidak diubah-ubah dengan penafsiran baru yang dapat mengganggu kelancaran program.

Punch line: “Sepanjang tidak ada kejahatan nyata, mengganggu pengadaan sama dengan mengganggu pembangunan.”

 

Ringkasan Eksekutif (27 September 2025, Asia/Jakarta)

Kami menyusun naskah edukatif untuk menegaskan batas kewenangan BPK dalam pemeriksaan PBJ dan kedaulatan kewenangan (right to decide) Pelaku Pengadaan. Intinya:

  1. BPK memeriksa—tidak menggantikan keputusan. Objek BPK adalah kepatuhan (rechtmatigheid) dan kinerja (doelmatigheid) sesuai UU 15/2004 & UU 15/2006, bukan substitusi professional judgement Pokja/PPK. (Peraturan BPK)
  2. Proses PBJ berjalan atas kewenangan, bukan “validasi eksternal”. UU 30/2014 menegaskan keputusan administrasi lahir dari wewenang/kewenangan pejabat (hak mengambil keputusan) dan ruang diskresi—dengan akuntabilitasnya—bukan menunggu pengesahan pihak lain. (Ortax Data Center)
  3. Finalitas pemilihan → kontrak mengikat (pacta sunt servanda). Setelah SPPBJ/kontrak sah, hubungan beralih ke ranah perdata; asas Pasal 1338 KUHPerdata melarang pihak ketiga “menganulir substansi kontrak” di luar putusan pengadilan. (tanyalawyer.com)
  4. Lump Sum = beli keluaran, bukan membedah margin. Pada kontrak Lump Sum, harga pasti & tetap dan berorientasi keluaran; menghitung “kelebihan bayar” dengan mengurang-ngurangkan biaya riil penyedia tidak tepat metodologinya. (Rujukan Perpres PBJ; lihat jenis kontrak & prinsip Lump Sum). (Kementerian Pertahanan)

A. Kerangka Konstitusional & Legal Batas Kewenangan BPK

1) Fondasi Konstitusional (UUD 1945 Pasal 23E)

  1. Mandat & sifat kelembagaan: UUD 1945 menegaskan BPK dibentuk untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta bebas dan mandiri. Ini mandat pemeriksaan, bukan mandat mengambil alih keputusan administrasi dalam PBJ. (JDIH DPR RI)
  2. Arah pertanggungjawaban: Hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD—memastikan akuntabilitas politik-anggaran; norma ini tidak memberi kewenangan BPK untuk membatalkan keputusan eksekutif yang sah dalam proses PBJ. (BPK Jakarta)

Implikasi operasional: Secara konstitusional BPK berposisi sebagai pemeriksa (assurance & evaluasi berbasis kriteria), bukan pengambil keputusan yang menyubstitusi professional judgement Pelaku PBJ.


2) Mandat Undang-Undang: UU 15/2004 & UU 15/2006

a) UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan & Tanggung Jawab Keuangan Negara

  1. Definisi & lingkup pemeriksaan: Pemeriksaan adalah proses independen-objektif berdasarkan standar pemeriksaan; lingkupnya pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (CIFOR)
  2. Jenis pemeriksaan (Pasal 4): Keuangan, Kinerja, dan PDTT; inilah spektrum evaluasi BPK—bukan instrumen untuk mengganti keputusan administratif PBJ. (CIFOR)
  3. Standar sebagai pagar: Pemeriksaan wajib berdasar standar pemeriksaan (Pasal 5), yang menjadi tolok ukur kerja auditor, bukan ad hoc selera penafsir. (CIFOR)
  4. Kemandirian teknis: Penentuan objek, perencanaan, pelaksanaan, waktu, metode, dan pelaporan dilakukan bebas dan mandiri oleh BPK (Pasal 6). Kemandirian ini dalam ranah pemeriksaan, bukan kemandirian untuk mengambil alih kewenangan keputusan PBJ. (CIFOR)
  5. Koridor temuan khusus: PDTT termasuk investigatif untuk indikasi kerugian/unsur pidana (Pasal 13–14). Jalurnya pelaporan ke penegak hukum, bukan menganulir produk keputusan PBJ yang sah. (CIFOR)

b) UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

  1. Ruang lingkup tugas: Pemeriksaan BPK mencakup keuangan, kinerja, dan PDTT; pelaksanaan mengikuti UU 15/2004 (keterikatan pada standar dan prosedur). (bandi.feb.uns.ac.id)
  2. Penyerahan LHP & tindak lanjut: LHP diserahkan kepada DPR/DPD/DPRD untuk ditindaklanjuti sesuai tata tertib lembaga perwakilan; LHP yang diserahkan terbuka untuk umum (Pasal 7). Norma ini menegaskan fungsi akuntabilitas, bukan “hak veto” atas keputusan PBJ. (Ortax Data Center)
  3. Daftar kewenangan (Pasal 9): BPK berwenang menentukan objek, metode, meminta dokumen/keterangan, menetapkan SPKN, dll. Daftar ini tidak memuat kewenangan membatalkan/menyatakan tidak sah keputusan administrasi PBJ atau kontrak yang telah lahir. (bandi.feb.uns.ac.id)

Garis tegas: UU 15/2004 dan UU 15/2006 menempatkan BPK sebagai pemeriksa berbasis standar dengan produk LHP untuk akuntabilitas; keduanya tidak memberikan kewenangan untuk mensubstitusi putusan Pokja/PPK atau menganulir kontrak PBJ yang sah.


3) SPKN 2017 (Peraturan BPK No. 1/2017): Pemeriksaan Harus Berbasis Kriteria & Bukti yang Cukup-Tepat

  1. Kewajiban berpegang pada standar: SPKN adalah patokan wajib untuk melakukan pemeriksaan; standar ini memuat standar umum, pelaksanaan, dan pelaporan. Auditor wajib memedomani SPKN.
  2. Konsep “kriteria pemeriksaan”:
    a. Definisi: Kriteria pemeriksaan adalah tolok ukur untuk menilai hal pokok (informasi pengelolaan/pertanggungjawaban). Setiap pemeriksaan wajib menggunakan kriteria yang sesuai konteks.
    b. Sumber kriteria: peraturan perundang-undangan, standar profesi, kontrak, kebijakan/prosedur entitas, atau kriteria yang dikomunikasikan auditor. Dalam PBJ, Dokumen Pemilihan & Kontrak adalah kriteria primer—itulah “aturan main” yang harus dipakai auditor ketika menilai proses/hasil.
    c. Syarat kriteria yang “sesuai”: relevan, lengkap, andal, dan memungkinkan evaluasi yang konsisten oleh pemeriksa berkualifikasi setara. Ini mencegah auditor memakai tolok ukur baru pasca-kejadian yang tidak ada dalam dokumen resmi proses PBJ.
  3. “Keyakinan memadai” & bukti pemeriksaan:
    a. Prinsip keyakinan memadai melekat pada SPKN dan sistem pengendalian mutu penugasan; mutu temuan bergantung pada kesesuaian dengan standar dan kecukupan prosedur.
    b. Bukti pemeriksaan harus cukup (kuantitas) dan tepat (kualitas: relevan, valid, andal); bukti dari satu sumber tidak boleh dibiarkan bertentangan tanpa resolusi; kuantitas besar tidak mengompensasi kualitas rendah.

Konsekuensi SPKN untuk audit PBJ:

  • Auditor wajib menguji terhadap kriteria yang tersedia bagi pengguna LHP (regulasi PBJ, Dokumen Pemilihan, dan kontrak), bukan menguji ulang berdasarkan preferensi teknis yang tidak termaktub sebagai kriteria.
  • Kesimpulan audit harus ditopang bukti cukup-tepat yang relevan pada kriteria—bukan reverse engineering atau penilaian ex post yang menggantikan putusan Pokja/PPK.

 

Tambahan: PSP 100 (Paragraf 13–17) – Kompetensi, Sertifikasi, dan Kewajiban Menggunakan Ahli

  1. Kompetensi & Sertifikasi Pemeriksa (PSP 100 §13–15)
    a. Wajib kompeten & tersertifikasi: “Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kompetensi profesional yang memadai… dibuktikan dengan sertifikat profesional yang diterbitkan lembaga berwenang atau dokumen lain yang menyatakan keahlian.” (PSP 100 §13).
    b. Penetapan & pemeliharaan kompetensi: BPK menentukan kompetensi yang dibutuhkan agar pemeriksa memiliki keahlian yang sesuai untuk penugasan (PSP 100 §14), dan memelihara kompetensi lewat PPL minimal 80 jam per 2 tahun (PSP 100 §15).
  2. Penggunaan Tenaga Ahli (PSP 100 §16–17)
    a. BPK dapat dan wajib menggunakan ahli yang kompeten bila diperlukan (PSP 100 §16).
    b. Jika memakai ahli, BPK harus meyakini ahli tersebut independen, memenuhi kualifikasi, kompeten di bidangnya, dan mendokumentasikan keyakinan tersebut (PSP 100 §17).
  3. Implikasi langsung untuk audit PBJ (link ke otoritas ahli PBJ)
    a. Standar mewajibkan: ketika auditor tidak (atau belum) memiliki kompetensi spesifik PBJ—misalnya soal metodologi evaluasi penawaran, jenis kontrak (lump sum), atau tata cara sanggah—maka penggunaan ahli PBJ bukan “opsi sopan-santun”, melainkan konsekuensi normatif SPKN agar kesimpulan audit tetap sahih.
    b. Siapa “ahli berwenang” di PBJ? Secara hukum, LKPP adalah lembaga pemerintah yang mengembangkan dan merumuskan kebijakan PBJ (Perpres 106/2007 jo. perubahannya; juga dirujuk di rezim Perpres PBJ). Otoritas kebijakan ini menempatkan LKPP sebagai rujukan ahli kebijakan PBJ yang paling tepat ketika auditor memerlukan pendapat ahli kebijakan/standar proses PBJ. (Peraturan BPK)
    c. Korelasi dengan SPKN: karena kriteria pemeriksaan dalam PBJ adalah regulasi PBJ + Dokumen Pemilihan + Kontrak, maka ketika tafsir teknis PBJ diperselisihkan, pendapat ahli LKPP berfungsi sebagai clarifier of criteria, bukan “validasi proses”—ini menjaga posisi BPK sebagai examiner berbasis kriteria, tanpa mensubstitusi kewenangan Pelaku PBJ.
  4. Narasi edukatif yang perlu ditegaskan ke tim audit
    • Audit = berbasis kompetensi: tim harus menunjukkan sertifikasi/kompetensi relevan atau, bila belum memadai, mendokumentasikan penunjukan ahli (independen, berkualifikasi). (PSP 100 §13–17).
    • Ahli di domain PBJ: untuk tafsir kebijakan/proses PBJ, LKPP adalah otoritas kebijakan nasional; melibatkan LKPP atau pakar yang diakui LKPP memenuhi unsur “lembaga berwenang” sebagaimana PSP 100 §13. (Peraturan BPK)
    • Outcome metodologis: langkah ini mencegah auditor “menciptakan kriteria baru” ex post; sebaliknya, audit tetap on-rails pada kriteria SPKN (regulasi PBJ, dokumen pemilihan, kontrak) dan bukti cukup-tepat.

Inti pesannya: SPKN melalui PSP 100 §13–17 tidak hanya bicara etika; ia mengikat secara operasional. Kompeten–atau gunakan ahli. Dalam PBJ, ahli kebijakan yang berwenang adalah LKPP. Dengan begitu, audit tetap kuat secara metodologi, menghormati kewenangan Pelaku PBJ, dan tidak menyeberang menjadi second tender committee.

 


Inti edukasi untuk auditor 👇

  • Konstitusi menugaskan BPK memeriksa dan menyerahkan LHP ke lembaga perwakilan; tidak memberi kewenangan membatalkan keputusan PBJ. (JDIH DPR RI)
  • UU 15/2004–15/2006 membatasi ruang gerak pada keuangan/kinerja/PDTT berbasis standar; tidak ada norma untuk mensubstitusi professional judgement Pokja/PPK atau menganulir kontrak sah. (CIFOR)
  • SPKN mewajibkan kriteria eksplisit (regulasi, Dokumen Pemilihan, kontrak) dan bukti cukup-tepat; penilaian di luar kriteria = offside metodologis.

B. Kedaulatan Kewenangan dalam PBJ: “Hak Mengambil Keputusan”

1) Siapa pemegang kewenangan PBJ?

  1. Pelaku PBJ & kewenangannya (atribusi jelas dalam Perpres PBJ)
    a) Struktur pelaku: Perpres PBJ menegaskan pelaku PBJ mencakup PA, KPA, PPK, Pejabat Pengadaan, Pokja Pemilihan, Agen Pengadaan (Bab III Pasal 8).
    b) Pokja Pemilihan: bertugas melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pemilihan serta menetapkan pemenang sesuai batas nilai (Bab III Bag. Keenam Pasal 13 ayat (1) huruf a–c). Pokja dapat dibantu tenaga ahli (Pasal 13 ayat (4)).
    c) PPK: bertugas menetapkan spesifikasi/KAK, rancangan kontrak, HPS, dan menetapkan SPPBJ serta mengendalikan kontrak (Bab III Pasal 11 ayat (1) huruf b–d, j–k). PPK juga berwenang mengadakan/menetapkan perjanjian dalam batas anggaran (Pasal 12 ayat (2) huruf b).
  2. Tahapan & check-and-balance internal proses pemilihan
    a) Tahapan pemilihan: Evaluasi penawaran → Penetapan & Pengumuman pemenang → Sanggah; untuk Konstruksi ditambah Sanggah Banding (Bab VII Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)).
    b) Transisi ke kontrak: Pelaksanaan kontrak dimulai dari penetapan SPPBJ → penandatanganan kontrak → pembayaran/serah terima (Bag. Ketiga Pasal 52 ayat (1)); penetapan SPPBJ sendiri merupakan tugas PPK (Pasal 11 ayat (1) huruf j).

Makna praktis: Pokja berdaulat pada keputusan hasil pemilihan sesuai Dokumen Pemilihan; PPK berdaulat pada keputusan kontraktual (SPPBJ/kontrak). Keduanya adalah hak mengambil keputusan yang diberikan langsung oleh Perpres (atribusi), bukan mandat yang menunggu “validasi” pihak lain.


2) Keputusan Administrasi lahir dari kewenangan, bukan “validasi”

  1. Hukum Administrasi: wewenang, kewenangan, dan diskresi
    a) UU 30/2014 mendefinisikan Diskresi sebagai keputusan/tindakan pejabat untuk mengatasi persoalan konkret ketika peraturan memberi pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap/tidak jelas, atau terjadi stagnasi (lihat Pasal 1 angka 9 dan Pasal 22). Diskresi hanya dapat dilakukan pejabat yang berwenang (Pasal 22) dan harus memenuhi syarat (tujuan, AUPB, objektif, tanpa konflik kepentingan, itikad baik). (Peraturan BPK)
    b) Konsekuensi: Dalam PBJ, keputusan Pokja/PPK lahir dari kewenangan atribusi Perpres, sehingga sah berdiri sendiri selama mengikuti prosedur/kriteria. Tidak ada norma yang mewajibkan “validasi eksternal” sebelum keputusan itu berlaku.
  2. Kepastian forum koreksi (bukan validasi)
    a) Koreksi pra-kontrak disediakan di dalam rezim PBJ: sanggah/sanggah banding (Pasal 50), lalu bila disengketakan sebagai keputusan TUN, forum-nya PTUN (definisi KTUN: keputusan pejabat TUN yang konkret, individual, final dan berdampak hukum; UU 5/1986 jo. perubahannya Pasal 1).
    b) Pelibatan ahli bila perlu tetap mengikuti SPKN/PSP 100 (kompetensi/sertifikasi; penggunaan ahli independen dan terdokumentasi), tanpa menggeser kedaulatan keputusan Pokja/PPK. (Bagian ini telah Anda cantumkan di A.3/PSP 100).

Makna praktis: Proses PBJ didesain berbasis kewenangan, bukan skema “validasi”. “Validasi” terjadi eks post melalui audit sesuai kriteria, atau uji TUN di PTUN—bukan prasyarat sahnya keputusan Pokja/PPK.


3) Finalitas administrasi → peralihan ke perdata

  1. Momen finalitas administrasi
    a) Setelah masa sanggah (dan sanggah banding) terlewati, PPK menetapkan SPPBJ lalu menandatangani kontrak (Pasal 52 ayat (1)), maka proses administrasi pemilihan selesai dan beralih ke pelaksanaan kontrak.
  2. Forum sengketa setelah kontrak
    a) Sengketa kontrak berada pada rezim keperdataan (wanprestasi, ganti rugi, denda, pemutusan); Perpres PBJ menegaskan penyelesaian sengketa kontrak melalui layanan penyelesaian sengketa kontrak LKPP, arbitrase, atau pengadilan (Bab XIII Pasal 85 ayat (1)–(2)).
    b) Asas pacta sunt servanda (KUHPerdata Pasal 1338): perjanjian yang dibuat sah mengikat para pihak; pihak ketiga harus menghormati substansi perikatan kecuali ada putusan pengadilan. (Rujukan asas untuk mempertegas kepastian hukum fase kontrak).

Makna praktis: Sesudah kontrak lahir, fokus hukum berpindah ke kinerja kontraktual dan remedi perdata—bukan penilaian ulang substansi pemilihan. Koreksi atas proses administrasi sebelum kontrak berada pada PTUN; sedangkan sesudah kontrak, mekanisme kontraktual & perdata yang berlaku.


Punchline edukatif

  • Pokja/PPK memegang “hak mengambil keputusan” berdasarkan atribusi Perpres (Pasal 8, Pasal 11, Pasal 13).
  • Proses PBJ = kewenangan, bukan validasi; koreksi internal (sanggah/sanggah banding) dan yudisial (PTUN) sudah disediakan hukum publik—ini membedakan ranah administrasi vs. kontrak.
  • Setelah SPPBJ/kontrak, perkara beralih ke perdata (remedi kontrak & Pasal 85 Perpres PBJ) dan asas 1338 KUHPerdata menjamin kepastian perikatan.

C. Pacta Sunt Servanda: Mengapa LHP Tidak “Menganulir” Kontrak

1) Asas mengikatnya kontrak & batas pihak ketiga

  1. Kontrak mengikat para pihak (pacta sunt servanda)
    a) Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata: semua perjanjian yang dibuat sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Auditor adalah pihak ketiga yang wajib menghormati substansi perikatan yang sah, kecuali ada putusan pengadilan yang membatalkannya. (Hukum Online)
    b) Pasal 1338 ayat (3) & Pasal 1339 KUHPerdata: pelaksanaan perjanjian harus beritikad baik dan terikat pula oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang—bukan oleh selera penafsiran pihak luar. Pasal 1340 menegaskan asas personalitas: perjanjian hanya mengikat para pihaknya. (rahmadhendra.staff.unri.ac.id)

Implikasi: LHP BPK bersifat rekomendatif & akuntabel, bukan instrumen “menganulir/mengubah** isi & metodologi pembayaran** yang telah disetujui sah dalam kontrak. UU 15/2004 Pasal 20–21 mengatur tindak lanjut rekomendasi (60 hari), bukan pembatalan kontrak. (Peraturan BPK)


2) Metodologi serah terima & pembayaran: output-based, bukan membedah “bahan baku”

  1. Jenis kontrak & konsekuensinya pada pembayaran
    a) Perpres 16/2018 (jo. 12/2021) Pasal 27: jenis kontrak PBJ mencakup Lumpsum dan Harga Satuan (juga gabungan, turnkey, payung, dst.). Kontrak Lumpsum: ruang lingkup & jumlah harga pasti-tetap dalam batas waktu; Kontrak Harga Satuan: pembayaran berdasarkan hasil pengukuran volume aktual yang diterima. Fokusnya keluaran, bukan biaya internal penyedia. (Kementerian Pertahanan)
    b) Serah terima mengacu pada kesesuaian spesifikasi/lingkup dan (untuk harga satuan) kuantitas terpasang/terlaksana yang terverifikasi; bukan audit “berapa banyak input yang dipakai”. Kaidah ini melekat pada definisi jenis kontrak di Perpres. (Kementerian Pertahanan)
  2. Standar pemeriksaan menuntut patuh pada kriteria, bukan selera
    UU 15/2004 Pasal 5 mewajibkan pemeriksaan berdasar standar; SPKN (PerBPK 1/2017) memaksa auditor berpegang pada kriteria yang sah (regulasi PBJ, dokumen pemilihan, kontrak) dan bukti cukup-tepat—bukan membuat kriteria baru ex post seperti “membedah margin” atau “mengestimasi bahan baku” untuk mengubah metode bayar. (Peraturan BPK)

Analogi yang lurus logika (untuk output-based contracting)

  • Nasi goreng (Lumpsum): Anda memesan “seporsi nasi goreng spesifikasi X” seharga RpY. Pembayaran atas porsi jadi yang sesuai spesifikasi. Tidak logis kasir menghitung ulang “berapa gram beras/bawang” untuk menentukan bayar; itu biaya internal dapur.
  • Katering porsi (Harga Satuan): Kontrak menyepakati “RpZ per porsi”. Tagihan = jumlah porsi yang benar-benar disajikan & diterima x RpZ. Bukan menelusuri “berapa liter gas/gram garam” yang dihabiskan.
  • Langganan internet (Lumpsum layanan): Bayar paket 1 bulan 100 Mbps; bayar paketnya, bukan kabel yang dipasang berapa meter per hari.
  • Jasa kebersihan (Harga Satuan): Bayar per m² area yang benar-benar dibersihkan; bukan menghitung “berapa ml cairan pembersih” yang dipakai.

Inti edukasi: Lumpsum = beli hasil jadi sesuai spesifikasi; Harga Satuan = bayar volume hasil yang diterima x harga satuan. Audit yang menggeser ke “hitung bahan” menabrak kriteria kontrak dan berisiko melahirkan “ketidakpastian” yang bertentangan dengan asas 1338 KUHPerdata dan Perpres Pasal 27. (Kementerian Pertahanan)


3) LHP tidak mengubah forum & kaidah penyelesaian sengketa

  1. Pra-kontrak (administrasi): koreksi internal melalui sanggah/sanggah banding, dan bila disengketakan sebagai KTUNPTUN (UU 5/1986 jo. perubahannya). Audit bukan “validasi” keputusan administrasi. (Peraturan BPK)
  2. Pasca-kontrak (perdata): bila terjadi dispute pelaksanaan (mutu/volume/waktu), gunakan remedi kontraktual & forum sengketa pada Perpres 12/2021 Pasal 85: layanan penyelesaian sengketa LKPP, arbitrase, Dewan Sengketa Konstruksi, atau pengadilan—bukan “anulasi lewat LHP”. (Peraturan BPK)

4) Garis batas operasional untuk auditor (ringkas)

  1. Tetap pada kriteria: uji kesesuaian output & term kontrak (lumpsum/harga satuan). Jangan reverse-engineering biaya internal/“margin” sebagai ukuran kerugian. (UU 15/2004 Pasal 5; SPKN). (Peraturan BPK)
  2. Hormati asas perikatan: kontrak sah mengikat para pihak (1338(1), 1339, 1340). LHP = rekomendasi yang ditindaklanjuti, bukan alat mengubah metodologi bayar yang telah disetujui. (Pasal 20–21 UU 15/2004). (Hukum Online)
  3. Jenis kontrak menentukan cara bayar: Lumpsumharga pasti-tetap untuk keluaran; Harga Satuanfee per unit volume terukur & diterima. (Perpres 16/2018 Pasal 27). (Kementerian Pertahanan)

Kesimpulan praktis: Audit yang mengubah hakikat output-based contracting menjadi “input-based budgeting” (membongkar bahan, margin, atau ongkos internal) keliru secara metodologis. Pegang kriteria yang sah, hormati kontrak & forum sengketa yang benar, dan jaga kepastian hukum—itulah cara audit menguatkan, bukan meretakkan, tata kelola PBJ.


D. Kerugian Negara & Kontrak Lump Sum: Di Mana Garisnya?

1) Definisi “Kerugian Negara”: harus nyata & pasti

  1. Definisi legal: UU 1/2004 mendefinisikan Kerugian Negara/Daerah sebagai kekurangan uang/surat berharga/barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum/kelalaian seseorang. Penekanan “nyata & pasti” menutup tafsir berupa selisih teoretis atau rekayasa cost breakdown internal penyedia. (Kementerian Keuangan Republik Indonesia)
  2. Konsekuensi pembuktian: Literatur BPK menegaskan unsur-unsur kerugian: (i) kekurangan aset/uang, (ii) nyata & pasti, (iii) perbuatan melawan hukum/kelalaian, (iv) kausalitas. Tanpa keempat unsur ini, klaim “kerugian” belum terpenuhi. (BPK Kepri)
  3. Korelasi Tipikor: Unsur “merugikan keuangan negara” pada UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (Pasal 2 dan 3) mengacu pada kerugian yang dapat dihitung; putusan MK menguatkan standar ini. (Peraturan BPK)

2) Jenis Kontrak & Implikasi Audit: bayar output, bukan bongkar biaya

  1. Jenis kontrak dalam Perpres PBJ
    • Lumsum & Harga Satuan (termasuk gabungan) adalah koridor utama; susunan rinci diperbarui dalam Perpres 12/2021 dan Perpres 46/2025. (inspektorat.jakarta.go.id)
    • Lumsum: harga pasti–tetap dan berorientasi keluaran; pembayaran mengikuti tahapan produk/keluaran sesuai kontrak. Harga Satuan: pembayaran = volume terukur yang diterima × harga satuan. (Rujukan teknis Perpres/Perlem & modul resmi). (inspektorat.jakarta.go.id)
  2. Serah terima & pembayaran mengikuti kontrak (kriteria audit)
    • UU 15/2004 Pasal 5 mewajibkan pemeriksaan berdasar standar, dan SPKN menuntut auditor berpegang pada kriteria (regulasi PBJ, Dokumen Pemilihan, kontrak). Metodologi bayar harus diuji terhadap jenis kontrak yang disepakati—bukan diciptakan ulang secara ex post. (Peraturan BPK)
    • Rujukan pelaksanaan: Peraturan LKPP (pelaksanaan & pembayaran: termin/uang muka sesuai kontrak; total pembayaran tidak melampaui nilai kontrak). (Peraturan BPK)
  3. Analogi yang membumi
    • Lumsum = “seporsi nasi goreng jadi”: yang dibayar porsinya sesuai spesifikasi—bukan kilogram beras/siung bawang di dapur.
    • Harga satuan = katering per porsi: yang dibayar = porsi diterima × harga satuan, bukan liter gas atau gram garam yang dipakai.
    • Layanan internet (lumsum layanan): bayar paket 1 bulan, bukan meter kabel per hari.
    • Jasa kebersihan (harga satuan): bayar per m² dibersihkan yang diterima, bukan mililiter cairan pembersih.

Implikasi audit: Menilai “kelebihan bayar” dengan cara membedah margin/biaya internal penyedia pada Lumsum atau menghitung input alih-alih output pada Harga Satuan adalah keliru secara metodologis dan melewati kriteria kontrak. (inspektorat.jakarta.go.id)

3) Kapan benar terjadi kerugian negara?

  1. Ada KKN/mark-up yang terbukti: Tindakan melawan hukum memperkaya diri orang lain/korporasi dengan merugikan keuangan negara (UU Tipikor Pasal 2/Pasal 3). Di sini, kerugian harus nyata & dapat dihitung. (Peraturan BPK)
  2. Pembayaran melampaui nilai/ketentuan kontrak: Misalnya membayar di atas nilai kontrak, membayar pekerjaan tidak diterima, atau pembayaran tidak sesuai termin yang disepakati. (Koridor Perpres PBJ & Perlem LKPP soal pembayaran/termin). (Peraturan BPK)
  3. Barang/jasa tidak sesuai spesifikasi/keluaran sehingga negara kehilangan aset/manfaat nyata & pasti (misal zero/negative delivery). Ini memenuhi unsur kehilangan aset/uang yang nyata (UU 1/2004). (Kementerian Keuangan Republik Indonesia)

Garis batas praktis untuk auditor & PPK

  • Uji dulu kriteria kontrak (jenis kontrak, cara bayar, termin, batas nilai), baru simpulkan. Jangan ganti metodologi output-based menjadi input-based. (Peraturan BPK)
  • Kerugian = event yang nyata (aset/uang berkurang) + kausalitas perbuatan melawan hukum—bukan sekadar selisih hipotetis terhadap cost atau margin penyedia. (Kementerian Keuangan Republik Indonesia)
  • Jika ada indikasi Tipikor, jalur penegakan pidana yang digunakan; audit tetap menghormati jenis kontrak & pola bayar yang diatur Perpres/kontrak. (Peraturan BPK)

Dengan batas-batas ini, nilai-untuk-uang (value for money) dijaga tanpa mengorbankan kepastian hukum kontrak dan kredibilitas audit: negara menilai hasil yang diterima sesuai jenis kontrak, bukan membongkar biaya dapur penyedia.


E. Garis Batas Praktis: “Apa Hak BPK, Apa Hak Pelaku PBJ”

1) Hak BPK (tegas & cukup)

  1. Memeriksa kepatuhan, kinerja, dan/atau PDTT berbasis standar pemeriksaan (SPKN) dan kriteria yang sah (regulasi, dokumen pemilihan, kontrak). Dasar: UU 15/2004 Pasal 5; SPKN PerBPK 1/2017 (kriteria & bukti cukup-tepat). (Peraturan BPK)
  2. Menetapkan/menilai kerugian negara sesuai ruang lingkup pemeriksaan, dengan syarat “nyata & pasti”. Dasar: UU 1/2004 Pasal 1 angka 22; UU 15/2006 Pasal 9 (wewenang BPK). (BPK)
  3. Menyampaikan LHP & rekomendasi kepada DPR/DPD/DPRD dan meminta tindak lanjut (60 hari). Dasar: UUD 1945 Pasal 23E; UU 15/2004 Pasal 20–21; UU 15/2006 Pasal 7. (BPK Yogyakarta)
  4. Melaporkan dugaan tindak pidana korupsi (mis. suap/gratifikasi) kepada penegak hukum bila terdapat indikasi. Dasar: UU 31/1999 jo. 20/2001 (mis. Pasal 2, 3, 5, 11, 12B). (Peraturan BPK)

2) Bukan kewenangan BPK

  1. Mensubstitusi keputusan Pokja/PPK (meluluskan/menggugurkan peserta) setelah proses sah & masa sanggah berakhir. Keputusan pemilihan adalah kewenangan atribusi Pokja/PPK dalam Perpres PBJ (Pelaku PBJ, tugas Pokja/PPK). Jalur koreksi pra-kontrak: sanggah/PTUN, bukan LHP. Dasar: Perpres 16/2018 jo. 12/2021/46/2025 (Pelaku PBJ; tahapan pemilihan; penyelesaian sengketa); UU 5/1986 (KTUN-PTUN). (Kementerian Pertahanan)
  2. Menganulir kontrak yang sah tanpa putusan pengadilan/arbiter (pacta sunt servanda). Dasar: KUHPerdata Pasal 1338; forum sengketa kontrak pada Perpres PBJ Pasal 85. (Hukum Online)
  3. Menghitung “kelebihan bayar” pada kontrak Lumpsum berbasis cost breakdown/margin internal penyedia (alih-alih output yang diterima). Dasar: Perpres PBJ Pasal 27 (jenis kontrak: Lumpsum = harga pasti & output-based; Harga Satuan = volume terukur × harga satuan); UU 15/2004 Pasal 5 & SPKN (taat kriteria). (Kementerian Pertahanan)

3) Contoh “TEMUAN YANG BOLEH” (pada koridor kewenangan BPK)

  1. Pembayaran melebihi nilai kontrak/melampaui yang diperjanjikan (over-pay). → Kerugian nyata & pasti. (UU 1/2004; kriteria kontrak/termin). (BPK)
  2. Pembayaran atas volume tidak terpasang/pekerjaan tidak diterima dalam Harga Satuan (kuantitas tidak sah). (Perpres PBJ Pasal 27; SPKN: taat kriteria kontrak). (Kementerian Pertahanan)
  3. Barang/jasa tidak sesuai spesifikasi yang diserahkan & diterima (zero/negative delivery). (Perpres PBJ: serah terima berbasis keluaran; kontrak). (Kementerian Pertahanan)
  4. Termin dibayar tanpa bukti kemajuan/output sebagaimana syarat kontrak (mis. tak ada BAST/MC). (SPKN—bukti cukup-tepat; kontrak). (BPK)
  5. Pembayaran ganda (double payment) untuk objek yang sama. (UU 1/2004: kekurangan uang nyata & pasti). (BPK)
  6. Pencairan jaminan tidak dilakukan padahal terjadi wanprestasi yang memenuhi syarat pencairan. (Perpres PBJ: instrumen jaminan; kontrak). (Kementerian Pertahanan)
  7. Uang muka tanpa pengamanan jaminan sesuai ketentuan atau penggunaannya tidak dipertanggungjawabkan. (Perlem/kontrak; SPKN—kepatuhan). (BPK)
  8. Rekayasa persaingan (persekongkolan) yang mengakibatkan harga tidak wajar (indikasi KKN). (UU Tipikor Pasal 2/3 + bukti ekonomi). (Peraturan BPK)
  9. Gratifikasi/suap yang memengaruhi keputusan pengadaan. (UU 31/1999 jo. 20/2001 Pasal 5, 11, 12B). (Kejati Bali)
  10. Kelemahan SPI yang berdampak kerugian nyata (mis. SOP pembayaran diabaikan → pembayaran tak sah). (UU 15/2004; SPKN—penilaian kepatuhan & SPI). (Peraturan BPK)
  11. Syarat TKDN/ketentuan kontrak wajib lain tidak dipenuhi sehingga negara kehilangan manfaat terukur yang nyata & pasti (mis. potongan harga/benefit yang diperjanjikan hilang). (Kriteria kontrak; SPKN). (BPK)
  12. Tidak menagih denda keterlambatan padahal syarat terpenuhi → potensi/real loss terukur. (Kontrak; Perpres PBJ—pelaksanaan kontrak). (Kementerian Pertahanan)

4) Contoh “TEMUAN YANG TIDAK BOLEH” (melewati batas kewenangan/keliru metodologi)

  1. Menilai ulang kelulusan teknis pemenang (pasca masa sanggah) dan menyatakan “seharusnya gugur/lulus”. → Substitusi kewenangan Pokja; jalur yang benar adalah sanggah/PTUN, bukan LHP. (Perpres PBJ—tahap pemilihan; UU 5/1986). (Kementerian Pertahanan)
  2. Menganulir kontrak sah hanya melalui LHP (tanpa putusan pengadilan/arbiter). → Melanggar pacta sunt servanda. (KUHPerdata Pasal 1338; Perpres PBJ Pasal 85). (Hukum Online)
  3. Menghitung “kelebihan bayar” Lumpsum dengan membedah biaya/ margin internal penyedia. → Kontrak Lumpsum adalah output-based & harga pasti. (Perpres PBJ Pasal 27; SPKN—taat kriteria). (Kementerian Pertahanan)
  4. Menetapkan kriteria baru ex post yang tidak terdapat dalam Dokumen Pemilihan/kontrak. (SPKN—kriteria harus sah, relevan, andal; UU 15/2004 Pasal 5). (Peraturan BPK)
  5. Mewajibkan “validasi luar” atas keputusan Pokja/PPK agar sah. → Proses PBJ berbasis kewenangan, bukan skema validasi; koreksi ada mekanismenya. (Perpres PBJ—Pelaku & Tahapan; UU 30/2014 soal diskresi/kewenangan). (Kementerian Pertahanan)
  6. Memerintahkan retender ex post tanpa dasar KTUN/putusan. → BPK bukan second tender committee. (UUD 1945 Pasal 23E fungsi pemeriksaan; Perpres PBJ—mekanisme sanggah). (BPK Yogyakarta)
  7. Memaksa perubahan metode bayar (mis. Harga Satuan → biaya aktual; Lumpsum → cost-reimbursed) yang tidak tertulis dalam kontrak. (Perpres PBJ Pasal 27; SPKN—taat kriteria kontrak). (Kementerian Pertahanan)
  8. Mengabaikan BAST/MC sah dan menggantinya dengan perhitungan bahan baku. → Keliru metodologi serah terima. (Kontrak; SPKN—bukti cukup-tepat relevan pada kriteria). (BPK)
  9. Menarik simpulan kerugian hanya dari selisih harga pasar vs harga kontrak tanpa bukti overpay, ketidaksesuaian output, atau KKN. (UU 1/2004: “nyata & pasti”). (BPK)
  10. Memperluas rekomendasi menjadi sanksi administratif di luar kewenangan (mis. mendikte blacklisting/PHK kontrak), padahal Perpres menetapkan prosedur & pejabat berwenang. (Perpres PBJ—pelaksanaan kontrak/sanksi; SPKN—batas rekomendasi). (Kementerian Pertahanan)
  11. Mengabaikan forum sengketa kontrak (Layanan sengketa LKPP/arbitrase/DSK/pengadilan) dan menggantinya dengan “putusan audit”. (Perpres PBJ Pasal 85). (Kementerian Pertahanan)
  12. Menafsir “potensi” sebagai “kerugian nyata” tanpa bukti kehilangan aset/uang. (UU 1/2004 definisi kerugian; praktik SPKN). (BPK)

Pesan penutup yang operasional

  • Auditor: pegang kriteria (regulasi, dokumen pemilihan, kontrak) dan bukti cukup-tepat; fokus pada output yang diterima dan kepatuhan cara bayar sesuai jenis kontrakbukan membongkar “dapur biaya” penyedia. (UU 15/2004 Pasal 5; SPKN). (Peraturan BPK)
  • Pelaku PBJ (Pokja/PPK): jaga dokumentasi kriteria & bukti serah terima, disiplin pada termin/BAST/MC, dan gunakan forum sengketa kontrak bila perlu. (Perpres PBJ Pasal 27 & Pasal 85). (Kementerian Pertahanan)

Dengan mengindahkan garis batas ini, akuntabilitas audit dan kepastian hukum pengadaan bergerak serempak—tidak saling meniadakan.


F. Rambu Pemeriksaan yang Sehat (Edukasi untuk Auditor)

1) Pegang Kriteria, bukan Selera

Rambu: Uji kepatuhan terhadap Perpres PBJ, Peraturan/Perlem LKPP, Dokumen Pemilihan, dan Kontrak—itulah rule of the game.
Dasar hukum:

  • UU 15/2004 Pasal 5: pemeriksaan wajib berdasarkan standar pemeriksaan.
  • SPKN (PerBPK 1/2017): auditor harus berpegang pada kriteria yang sah; kesimpulan ditopang bukti cukup & tepat (relevan, andal).
    Uji-terapan (contoh):
  • Cocokkan temuan dengan klausul spesifikasi, metode evaluasi, syarat pembayaran di Dokumen Pemilihan/Kontrak.
  • Jika temuan memakai tolok ukur yang tidak tercantum (mis. reverse engineering biaya internal), hentikan: itu di luar kriteria.

2) Hargai Finalitas Proses

Rambu: Setelah masa sanggah (dan sanggah banding konstruksi) berakhir dan kontrak sah ditandatangani, fokus audit beralih ke pelaksanaan kontrak: output, mutu, ketepatan waktu—bukan mengulang evaluasi pemilihan.
Dasar hukum:

  • Perpres PBJ: mekanisme sanggah/sanggah banding pada tahap pemilihan (mis. Pasal 50).
  • Perpres PBJ Pasal 85: sengketa kontrak diselesaikan melalui layanan sengketa LKPP/arbitrase/Dewan Sengketa Konstruksi/pengadilan.
  • KUHPerdata Pasal 1338: kontrak sah mengikat (pacta sunt servanda).
    Uji-terapan:
  • Jika temuan bernada “seharusnya peserta X gugur/lulus”, cek: apakah masih fase pra-kontrak? Jika sudah kontrak, temuan harus pindah fokus ke kepatuhan pelaksanaan.

3) Bedakan Ranah (forum & instrumen berbeda)

Rambu (pemetaan cepat):

  • Administrasi (pra-kontrak)check & balance internal (sanggah/sanggah banding) → bila disengketakan sebagai KTUN, forum PTUN (UU 5/1986 jo. perubahannya).
  • Perdata (pasca-kontrak)remedi kontraktual (SP, denda, jaminan, pemutusan, ganti rugi) dan forum Pasal 85 Perpres PBJ.
  • Pidana (gratifikasi, suap, KKN) → penegak hukum (rujuk UU 31/1999 jo. 20/2001).
    Uji-terapan:
  • Setiap temuan, tandai dulu ranah-nya. Jika “campur ranah”, pisahkan: administrasi vs kontrak vs pidana—agar rekomendasi tepat forum.

4) Kerugian = Nyata & Pasti (bukan margin)

Rambu: Kerugian negara harus “nyata & pasti” jumlahnya—bukan selisih hipotesis terhadap cost breakdown atau margin penyedia.
Dasar hukum:

  • UU 1/2004 Pasal 1 angka 22: kerugian negara/daerah = kekurangan uang/surat berharga/barang yang nyata & pasti.
  • UU 15/2004 & SPKN: simpulan harus didukung bukti cukup-tepat dan kriteria yang sah.
    Uji-terapan:
  • Valid loss events: pembayaran melebihi nilai kontrak; pembayaran atas volume/tahap tidak diterima; barang/jasa tidak sesuai spesifikasi; double payment; denda yang seharusnya ditagih tidak ditagih.
  • Bukan loss event: margin tinggi pada kontrak lumpsum; selisih estimasi biaya internal; klaim “potensi” tanpa bukti penurunan aset/uang.

5) Kontrak Lumpsum: audit output & kesesuaian, jangan reverse-engineering biaya

Rambu: Pada lumpsum, negara membayar hasil/keluaran dengan harga pasti & tetap; pada harga satuan, bayar volume terukur yang diterima × harga satuan.
Dasar hukum:

  • Perpres PBJ Pasal 27: jenis kontrak (lumpsum/harga satuan) dan konsekuensi pembayarannya.
  • SPKN: patuh pada kriteria kontrak (dokumen pemilihan & kontrak sebagai tolok ukur).
    Uji-terapan:
  • Lumpsum → verifikasi kesesuaian output terhadap spesifikasi/termin; hindari kalkulasi “berapa beras/bawang” (biaya dapur penyedia) untuk menyimpulkan “kelebihan bayar”.
  • Harga Satuan → verifikasi volume terpasang/diterima (BAST/MC) dan kalikan harga satuan; jangan mengganti menjadi biaya aktual.

6) Kompetensi & Ahli (PSP 100 §13–17)

Rambu: Audit PBJ menuntut kompetensi khusus; bila tim belum memadai, gunakan ahli yang independen & terdokumentasi.
Dasar hukum:

  • SPKN/PSP 100 §13–17: pemeriksa harus kompeten (dibuktikan sertifikat/rekam keahlian); bila perlu melibatkan ahli dan mendokumentasikan independensi/kualifikasi.
  • Konteks PBJ: untuk tafsir kebijakan/standar PBJ, LKPP adalah otoritas kebijakan yang layak diminta pendapatnya.
    Uji-terapan:
  • Lampirkan bukti sertifikasi/kompetensi tim atau TOR & pernyataan independensi ahli; rekam scope pertanyaan ke ahli (mis. jenis kontrak, serah terima, metode bayar).

7) Dokumentasi & Jejak Audit (traceability)

Rambu: Temuan harus dapat ditelusuri ke kriteria dan bukti; kuantitas bukti tidak menggantikan kualitas/ketepatan.
Dasar hukum: SPKN (bukti cukup-tepat; dokumentasi).
Uji-terapan:

  • Untuk tiap temuan, sertakan pointer: pasal Perpres/Perlem, klausul dokumen pemilihan/kontrak, nomor BAST/MC, berita acara, foto uji terima, dll.

8) Rekomendasi yang Proporsional & Tepat Forum

Rambu: Rekomendasi harus sesuai kewenangan dan forum—bukan “putusan” yang mensubstitusi kewenangan Pokja/PPK atau mengubah isi kontrak.
Dasar hukum:

  • UUD 1945 Pasal 23E; UU 15/2004 Pasal 20–21: LHP berisi rekomendasi dan tindak lanjut (60 hari).
  • Perpres PBJ Pasal 85: jalur sengketa kontrak.
    Uji-terapan:
  • Formulasikan rekomendasi: (i) perbaiki SPI/kepatuhan, (ii) tagih denda/jaminan jika syarat terpenuhi, (iii) pulihkan aset/over-pay bila nyata & pasti, (iv) laporkan pidana bila ada indikasi KKN/gratifikasi/suap.

Ringkasan Operasional (cek cepat auditor)

  1. Apakah temuan memakai kriteria resmi (Perpres/Perlem, Dokumen, Kontrak)? Jika tidak → revisi metodologi.
  2. Apakah fase sudah kontrak? Jika ya → audit pelaksanaan, bukan evaluasi ulang pemilihan.
  3. Apakah ranahnya tepat? Administrasi → sanggah/PTUN; kontrak → remedi perdata/Perpres 85; pidana → APH.
  4. Apakah “kerugian” terbukti nyata & pasti? Jika belum → jangan klaim kerugian; gunakan kategori temuan kepatuhan/kelemahan SPI.
  5. Jenis kontraknya apa? Lumpsum → output; Harga Satuan → volume × harga satuan.
  6. Apakah tim kompeten? Jika ragu → PSP 100 §13–17: libatkan ahli (LKPP untuk kebijakan PBJ).
  7. Apakah rekomendasi proporsional & tepat forum? Pastikan bukan substitusi kewenangan Pelaku PBJ atau modifikasi kontrak.

Dengan rambu ini, pemeriksaan menjadi tajam namun adil: menjaga akuntabilitas tanpa merusak kepastian hukum dan kedaulatan kewenangan dalam PBJ.


G. Dampak Sistemik Jika Temuan “Melebihi Batas” Terus Diulang dalam LHP BPK

Ringkasan Eksekutif

  1. Risiko “audit overreach”—menilai ulang keputusan Pokja/PPK, memaksa metodologi bayar di luar kontrak, atau membongkar margin pada lumpsum—mendorong risk aversion, penurunan kompetisi, fragmentasi paket, keterlambatan, dan kenaikan biaya. Bukti empiris lintas negara menunjukkan audit yang instrusif dapat menurunkan penggunaan lelang/auctions dan mengurangi jumlah penawar, merusak value for money. (aeaweb.org)
  2. Standar global (ISSAI/INTOSAI, OECD, UNCITRAL, World Bank) menuntut audit berbasis kriteria dan pengadaan yang fit-for-purpose, kompetitif, dan berorientasi nilai—bukan input-based mikro-manajemen. (issai.org)
  3. Rekomendasi: kembalikan audit pada kriteria sah (regulasi PBJ, dokumen pemilihan, kontrak), keluaran, dan loss event nyata; tingkatkan kompetensi/ahli (PSP 100), dan gunakan manajemen risiko PBJ yang proporsional. (Peraturan BPK)

A. Dampak pada Ekosistem Pengadaan (Jika “Overreach” Menjadi Pola)

1) Pada PPK

  • Paralisis diskresi & dokumentasi berlebih: PPK cenderung menunda keputusan dan “mencari validasi eksternal” yang sebenarnya tidak disyaratkan hukum administrasi; ini memanjang­kan siklus dan biaya transaksi. Riset administrasi publik mengaitkan framing audit dengan risk aversion manajer sektor publik. (journal-bpa.org)
  • Perpindahan fokus dari output ke input: PPK terdorong mengaudit “bahan baku” ketimbang hasil terima (BAST/MC), bertentangan dengan kontrak lumpsum/harga satuan dan menurunkan mutu contract management. Standar ISSAI/SPKN menggariskan audit berbasis kriteria dan bukti cukup-tepat, bukan kriteria baru ex post. (issai.org)
  • Konsekuensi fiskal: Delay pelaksanaan = opportunity cost pembangunan. Literatur menunjukkan delay pengadaan menaikkan biaya dan menghambat investasi. (ScienceDirect)

2) Pada Pejabat Pengadaan (PP) & Pokja Pemilihan

  • “Chilling effect” pada kompetisi: Bukti kausal dari Chile menunjukkan audit yang menimbulkan ketidakpastian mendorong lebih sedikit lelang, lebih sedikit penawar, dan lebih sering pemenang incumbent—kualitas kompetisi turun. (aeaweb.org)
  • Fragmentasi paket & spesifikasi terlalu restriktif: Demi “aman audit”, Pokja cenderung memecah paket atau memperketat syarat non-substantial—mengurangi akses UKM dan menaikkan harga satuan. Prinsip OECD menuntut akses & kompetisi seimbang untuk efisiensi. (OECD)
  • Erosi finalitas proses: Mengulang evaluasi setelah masa sanggah mengaburkan batas administrasi-kontrak dan merusak kepastian hukum yang disarankan UNCITRAL Model Law (objektivitas, fairness, transparansi untuk value for money). (uncitral.un.org)

3) Pada Pelaku Usaha

  • Premi risiko harga: Ketidakpastian “aturan main pasca-fakta” mendorong vendor menaikkan harga sebagai kompensasi risiko audit; sebagian memilih tidak ikut tender. Evaluasi Bank Dunia menekankan fit-for-purpose dan value for money membaik bila risiko diatur proporsional. (Bank Dunia)
  • Inovasi terhambat: Fokus ke input (bukan hasil) mengurangi adopsi OPRC/OPB (output/performance-based) dan solusi inovatif. Kerangka PBJ modern Bank Dunia mendorong PPSD untuk strategi pengadaan yang mencapai hasil. (The World Bank)

4) Pada Sistem Pengawasan (auditor & pasar audit)

  • Beban & keterlambatan audit: Bukti internasional menunjukkan keterlambatan audit publik memicu efek berantai pada akuntabilitas—gejala pasar audit publik yang terbebani. (The Times)
  • Risiko bias akibat risk aversion auditor: Studi teoretik menunjukkan preferensi risiko auditor mempengaruhi kualitas audit; over-deterrence dapat menurunkan efisiensi pasar audit. (SSRN)

B. Mengapa Ini Berseberangan dengan Standar Global

  • ISSAI 100/INTOSAI & SPKN → audit berbasis kriteria; tidak mengganti keputusan manajerial sah; tujuan: akuntabilitas yang dapat dipercaya. (issai.org)
  • OECD Recommendation on Public Procurement → 12 prinsip: transparency, integrity, access, balance, efficiency, risk management, accountability; menolak perilaku yang mengurangi kompetisi atau efisiensi. (OECD)
  • UNCITRAL Model Lawvalue for money, objektivitas, persaingan & finalitas proses yang jelas. (uncitral.un.org)
  • World Bank Procurement Framework (2016)fit-for-purpose, value for money, dan strategi PPSD; bukan one-size-fits-all atau input-counting. (Bank Dunia)
  • OECD Risk Guidance (2023)risk-proportionate control: kendali yang berlebihan menggerus kinerja dan nilai. (OECD)

C. Rekomendasi Praktis (Ringkas)

  1. Tetapkan kembali kriteria audit: Regulasinya apa? Klausul dokumen/kontrak mana? Buktinya apa? (ISSAI/SPKN). (issai.org)
  2. Fokus pada loss event nyata: over-pay, volume tak diterima, under-spec yang tak dipulihkan, fiktif, suap/gratifikasi—bukan margin. (UU 1/2004; UU Tipikor). (uncitral.un.org)
  3. Perkuat kompetensi & libatkan ahli PBJ bila perlu (PSP 100 §13–17)—LKPP untuk tafsir kebijakan/standar PBJ. (Peraturan BPK)
  4. Dorong fit-for-purpose: gunakan PPSD/strategi pasar; ukur hasil (output), bukan cost breakdown. (World Bank/OECD/UNCITRAL). (The World Bank)
  5. Kelola risiko secara proporsional: tata kelola & kontrol yang seimbang, bukan over-control yang mematikan kompetisi dan inovasi. (OECD)

Penutup (pesan kebijakan)

Ekosistem pengadaan yang sehat memerlukan audit yang kuat namun proporsional, kompetisi yang hidup, serta keputusan berbasis kewenangan yang dihormati. Saat kejahatan nyata (suap, gratifikasi, fiktif, under-spec yang tak dipulihkan) muncul—tindak tegas. Di luar itu, menggeser pengadaan ke logika input-counting dan ex post re-tender by audit hanya akan menurunkan kompetisi, mengerek biaya, dan memperlambat pembangunan; seperti pelajaran empiris terbaru: audit yang terlalu mengintervensi bisa mendistorsi mekanisme lelang dan meredupkan partisipasi pasar. (aeaweb.org)

Esensi yang tidak berubah: Audit menjaga—bukan menggantikan—pengadaan; karena ketika pengadaan yang sah terganggu tanpa dasar, pembangunan pun ikut terganggu.

 

H. Penutup yang Tegas dan Jernih

1) Prinsip Utama — Kewenangan, Bukan “Validasi”

  1. PBJ berjalan di atas kewenangan (right to decide): Pokja Pemilihan dan PPK memegang hak mengambil keputusan yang diatribusikan langsung oleh Perpres 16/2018 jo. 12/2021 jo. 46/2025—lihat Pelaku PBJ: Pasal 8, tugas PPK: Pasal 11, tugas Pokja: Pasal 13. Keputusan mereka sah berdiri sendiri sepanjang mengikuti prosedur dan kriteria.
  2. Audit adalah pemeriksaan berbasis standar & kriteria, bukan substitusi putusan: UU 15/2004 Pasal 5 (wajib taat SPKN/PerBPK 1/2017), UU 15/2006 Pasal 7 dan Pasal 9. LHP bersifat rekomendatif dan ditindaklanjuti sesuai Pasal 20–21 UU 15/2004 (tenggat 60 hari), bukan “putusan” yang menggantikan kewenangan Pokja/PPK.
  3. Finalitas & kepastian hukum kontrak: Setelah sanggah (Pasal 50 Perpres PBJ) terlewati dan kontrak ditandatangani (Pasal 52), hubungan beralih ke perdata; kontrak sah mengikat (asas pacta sunt servanda, KUHPerdata Pasal 1338, 1339, 1340). Sengketa kontrak → Pasal 85 Perpres PBJ (layanan sengketa LKPP/arbitrase/Dewan Sengketa Konstruksi/pengadilan).
  4. Jenis kontrak menentukan cara bayar: Pasal 27 Perpres PBJLumpsum (harga pasti & berorientasi keluaran) dibayar atas output; Harga Satuan dibayar volume terukur × harga satuan. Audit menilai kesesuaian output & bukti serah terima, bukan membedah biaya internal/“margin” penyedia.

2) Pengecualian Tegas — Ketika Audit & Aparat Harus Bertindak Keras

Pengecualian ini menyasar niat jahat dan kerugian nyata, bukan sekadar selisih tafsir prosedur.

  1. Gratifikasi, suap, persekongkolan/mark-up: UU 31/1999 jo. 20/2001 (mis. Pasal 2, 3, 5, 11, 12B). Auditor wajib melaporkan ke APH (kewenangan BPK: UU 15/2006 Pasal 9; PDTT pada UU 15/2004).
  2. Fiktif/zero delivery/under-spec yang tidak dipulihkan: Jika barang/jasa tidak diterima atau tidak sesuai spesifikasi dan tidak dikoreksi, timbul kerugian negara nyata & pasti (UU 1/2004 Pasal 1 angka 22).
  3. Pembayaran melebihi kontrak/termin tak sah/double payment: Pelanggaran kriteria kontrakkerugian nyata.
  4. Tidak menagih denda/jaminan saat syarat terpenuhi: Kelalaian PPK memulihkan hak negara (denda keterlambatan, pencairan jaminan Pasal 33, Pasal 35 Perpres PBJ) menimbulkan kehilangan manfaat terukur.
  5. Sanksi administratif untuk penyedia berbuat curang: Perpres PBJ Pasal 78 (sanksi hingga Daftar Hitam). Jalur ini tegas namun tetap menghormati forum sengketa kontrak (Pasal 85).

3) Mode Operasional — Cara Menjaga Kepastian Hukum dan Akuntabilitas

  1. Pisahkan ranah sejak awal:
    • Administrasi (pra-kontrak) → koreksi internal sanggah/sanggah banding (Perpres PBJ Pasal 50), eskalasi PTUN (UU 5/1986 jo. perubahannya).
    • Perdata (pasca-kontrak)remedi kontraktual (SP, denda, jaminan, pemutusan, ganti rugi) & forum Pasal 85.
    • PidanaAPH (UU Tipikor).
  2. Audit pegangan kriteria: Regulasi PBJ, Dokumen Pemilihan, Kontrak, BAST/MC; penuhi bukti cukup-tepat (SPKN), hindari reverse engineering biaya/“margin” untuk menyimpulkan “overpayment” pada Lumpsum.
  3. Kerugian = nyata & pasti, bukan margin: Standar UU 1/2004 Pasal 1 angka 22. Jika hanya temuan kepatuhan tanpa loss event, kategorikan sebagai kelemahan SPI/kepatuhan—berikan rekomendasi perbaikan, bukan “vonis kerugian”.
  4. Kompetensi & ahli (PSP 100 §13–17, SPKN): Audit PBJ menuntut sertifikasi/kompetensi; bila belum memadai, libatkan ahli independen. Untuk kebijakan/standar PBJ, LKPP adalah otoritas ahli yang patut dimintai pendapat—tanpa menggeser kewenangan Pokja/PPK.

4) Pesan Penutup (singkat, tajam, adil) ✍️

  1. Pengadaan Pemerintah dibangun di atas kewenangan—bukan “validasi pihak luar”. Pelaku PBJ memutuskan, audit memeriksa.
  2. Audit menjaga integritas, bukan mengambil alih tender: LHP memberi rekomendasi, bukan menganulir kontrak sah atau melulus-gugurkan peserta pasca-fakta.
  3. Kecuali ada bukti niat jahat & kerugian nyata (gratifikasi, suap, fiktif, under-spec yang tidak dipulihkan, over-pay di luar kontrak): bertindak tegas—pulihkan kerugian, kenakan sanksi (Pasal 78), gunakan forum sengketa (Pasal 85), dan laporkan pidana.
  4. Dengan disiplin pada batas ini, kepastian hukum (pacta sunt servanda), akuntabilitas, dan value for money berjalan serempak—uang publik terlindungi, pasar tetap fair, dan institusi saling menghormati perannya.

Rujukan inti: UUD 1945 Pasal 23E; UU 15/2004 Pasal 5, 20–21; UU 15/2006 Pasal 7, 9; UU 1/2004 Pasal 1 angka 22; UU 5/1986 (PTUN); UU 31/1999 jo. 20/2001 (Tipikor); Perpres PBJ Pasal 8, 11, 13, 27, 50, 52, 78, 85; KUHPerdata Pasal 1338, 1339, 1340; SPKN/PerBPK 1/2017 & PSP 100 §13–17.


Lampiran Singkat: “Checklist Batas Kewenangan”

  • Apakah temuan berpegang pada kriteria (regulasi/dokumen/kontrak), bukan preferensi?
  • Apakah temuan tidak mensubstitusi keputusan Pokja/PPK?
  • Jika menyebut kerugian: sudah nyata & pasti sesuai UU 1/2004? (Luk Staff UGM)
  • Untuk Lump Sum: fokus output-based; hindari penilaian margin sebagai kerugian. (Kementerian Pertahanan)
  • Jika ada dugaan pidana: laporkan—bukan “anulir kontrak”—lalu biarkan forum yang berwenang memutus. (Ortax Data Center)

Rujukan inti yang disarankan auditor dan Pelaku PBJ untuk dibuka saat berdiskusi: UUD 1945 Pasal 23E, UU 15/2004, UU 15/2006, SPKN (PerBPK 1/2017), UU 30/2014, Perpres PBJ (16/2018 jo. 46/2025), Perlem LKPP 12/2021, dan KUHPerdata Pasal 1338. (BPK Yogyakarta)

 

 

I. Obyek Audit Kontrak Pengadaan: “Saat Serah Terima Hasil”, Bukan “Saat Auditor Datang”

Ringkasan

Obyek audit kontrak pengadaan adalah kinerja yang dibuktikan pada momen serah terima (BAST/MC) sesuai kriteria kontrak—bukan kondisi acak ketika auditor datang belakangan. Standar pemeriksaan dan regulasi PBJ mewajibkan penilaian berbasis kriteria + bukti cukup-tepat pada periode yang diaudit, sehingga ukuran yang sah adalah apa yang diserahkan–diterima menurut kontrak, bukan spekulasi ex post atau tafsir kondisi terkini yang tidak merepresentasikan keadaan pada saat serah terima.


1) Dasar Hukum: Audit Harus Berbasis Kriteria & Periode yang Diaudit

  1. UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

    • Pasal 5: Pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan → mewajibkan rujukan pada kriteria yang sah, bukan selera penafsir.

    • Pasal 16 (ruang lingkup temuan): menekankan kecukupan bukti yang relevan dengan obyek & periode pemeriksaan.

    • Pasal 20–21: LHP berisi temuan & rekomendasi untuk tindak lanjut (60 hari), bukan alat membatalkan kontrak.

  2. SPKN – Peraturan BPK No. 1/2017

    • Prinsip kriteria–kondisi–sebab–akibat mengharuskan kondisi yang dinilai dibandingkan dengan kriteria pada periode yang diaudit, bukan kondisi sesudahnya.

    • Bukti harus cukup & tepat (sufficient & appropriate) serta relevan dengan kriteria kontrak/dokumen pemilihan/regulasi pada saat pelaksanaan.

  3. KUHPerdata

    • Pasal 1338 ayat (1): Perjanjian yang sah mengikat para pihak (pacta sunt servanda) → kewajiban/ hak dinilai dari apa yang disepakati dan dilaksanakan pada waktunya, bukan dari kondisi acak kemudian hari.

Implikasi: Objek uji auditor adalah performa saat serah terima sebagaimana disyaratkan kontrak (spesifikasi/SLAs/volume), karena pada saat itulah hak dan kewajiban para pihak beralih dan pembayaran menjadi due.


2) Dasar PBJ: Serah Terima adalah Titik Ukur Pembayaran

  1. Perpres PBJ (Perpres 16/2018 jo. 12/2021/46/2025)

    • Pasal 27: Jenis kontrak menentukan cara bayar
      a) Lumpsum: harga pasti & tetap, berorientasi keluaran;
      b) Harga Satuan: bayar volume terukur yang diterima × harga satuan.

    • Pasal 50–52: Tahapan pemilihan → SPPBJ → kontrak → serah terima/pembayaran. SPPBJ/kontrak menandai akhir domain administrasi pemilihan; sesudahnya ukuran kinerja adalah output yang diserahkan–diterima.

    • Pasal 85: Sengketa pelaksanaan kontrak diselesaikan dengan mekanisme kontraktual (layanan sengketa LKPP, arbitrase/DSK, pengadilan).

  2. Peraturan LKPP (mis. Perlem 12/2021, Lampiran II – Tata Cara Evaluasi & Serah Terima)

    • Menegaskan pembuktian kinerja melalui BAST/MC, pengukuran volume, uji mutu/komisioning, dan dokumen terverifikasi lainnya sebagai syarat pembayaran.

Implikasi: BAST/MC adalah jangkar bukti: apa yang diterima sah pada tanggal itu menjadi dasar nilai yang dibayar. Kondisi barang/jasa bulan berikutnya (mis. aus, rusak karena pemakaian, faktor eksternal) bukan otomatis bukti “overpay” pada masa lalu, kecuali kontrak mensyaratkan masa kinerja/garansi tertentu dan syarat itu gagal dipenuhi.


3) Konsekuensi Praktis untuk Auditor (Operasional)

  1. Titik potret (time-stamp) pemeriksaan:

    • Uji kinerja pada tanggal serah terima sesuai kontrak: spesifikasi/ SLA/ hasil uji/ pengukuran/ cakupan.

    • Gunakan dokumen primer: BAST/MC, as-built drawing, buku ukur, hasil uji lab/komisioning, checklist mutu, foto/geo-tag, serta korespondensi teknis pada periode itu.

  2. Lumpsum vs Harga Satuan:

    • Lumpsum → cocokkan hasil akhir/tingkat layanan pada saat serah terima. Jangan membedah biaya internal untuk menyimpulkan “kelebihan bayar”.

    • Harga Satuan → rekonsiliasi volume terverifikasi × harga satuan; over-measurement/volume fiktif = kerugian nyata (UU 1/2004 definisi kerugian).

  3. After-the-fact condition ≠ bukti overpay:

    • Kondisi barang/jasa saat auditor datang bulan/tahun sesudahnya hanya relevan jika kontrak mensyaratkan masa garansi/ kinerja berkelanjutan dan kewajiban itu gagal dipenuhi. Jika gagal, gunakan remedi kontraktual: perbaikan, denda, pencairan jaminan, klaim pemeliharaan—bukan memundurkan jam ke serah terima tanpa dasar.

  4. Loss event nyata & pasti (UU 1/2004 Pasal 1 angka 22):

    • Ada kehilangan terukur: pembayaran melebihi kontrak, volume dibayar > volume diterima, output tidak sesuai dan tidak dipulihkan, pembayaran tanpa BAST/MC, double payment.

    • Bukan: selisih dugaan biaya internal, penurunan kondisi karena pemakaian wajar pasca serah terima, atau opini “seharusnya lebih murah” tanpa dasar kontraktual.


4) Contoh Konkret (Klarifikasi Waktu & Kriteria)

  1. Harga Satuan – Marka Jalan

    • Benar dinilai: meter marka pada saat MC sesuai pengukuran & uji retrorefleksi → bayar meter diterima × HS.

    • Tidak tepat: satu tahun kemudian warna memudar karena beban lalu lintas → bukan bukti overpay pada MC; rujuk ketentuan pemeliharaan/garansi bila ada.

  2. Lumpsum – Sistem Jaringan

    • Benar dinilai: kinerja throughput/uptime pada tanggal BAST layanan sesuai SLA → due for payment.

    • Tidak tepat: enam bulan kemudian performa turun karena beban pengguna bertambah di luar lingkup; gunakan mekanisme operasi/dukungan pada kontrak, bukan menilai ulang pembayaran lama.

  3. Harga Satuan – Pipa Terpasang

    • Benar dinilai: meter pipa yang terpasang & lulus pressure test pada BAST → bayar sesuai volume sah.

    • Tidak tepat: pipa cadangan tersisa di gudang → bukan dasar mengurangi pembayaran volume yang telah terpasang.


5) Pesan Edukatif (Singkat & Tegas)

  • Audit yang sah menilai “apa yang diserahkan–diterima menurut kontrak pada waktunya”, bukan “apa yang tampak saat auditor datang”.

  • Pegang kriteria (kontrak/dokumen pemilihan/regulasi) dan periode yang diaudit (SPKN; UU 15/2004).

  • Temukan loss event yang nyata & pasti; jika ada kewajiban purna jual/garansi yang gagal, jalankan remedi kontraktual, bukan memutar ulang putusan serah terima.

Inti: Serah terima adalah kompas audit kontrak. Di titik itulah hak dan kewajiban bertukar. Menjaga disiplin pada kriteria & periode serah terima berarti menjaga kepastian hukum, akuntabilitas, dan value for money—tanpa menabrak kewenangan Pelaku PBJ.


10 Quotes of the article

 

  1. “Audit yang kuat menjaga rel, bukan mengambil alih kemudi; ketika kriteria dipatuhi, kepastian hukum dan nilai-manfaat berjalan beriring.”
  2. “Pengadaan berbasis keluaran diuji dari hasilnya; membedah ‘dapur biaya’ hanya mengaburkan mutu, waktu, dan manfaat publik.”
  3. “Finalitas proses itu pagar bersama: pra-kontrak diselesaikan di administrasi, pasca-kontrak ditata di perdata—audit jangan jadi tender komite kedua.”
  4. “Kerugian negara harus nyata dan pasti; margin penyedia bukan bukti salah, melainkan harga atas risiko dan kompetensi.”
  5. “Semakin audit menggeser fokus dari output ke input, semakin mahal harga ketidakpastian: penawar surut, inovasi mengecil, pembangunan melambat.”
  6. “Kompetensi auditor adalah syarat etika; bila belum memadai, libatkan ahli—agar simpulan kuat tanpa melukai kewenangan.”
  7. “Kepatuhan terbaik bukan menambah prosedur, melainkan menepatkan forum; sanggah, PTUN, kontrak, dan APH masing-masing punya perannya.”
  8. “Audit yang proporsional menumbuhkan kepercayaan pasar; intervensi berlebihan menumbuhkan premi risiko di harga penawaran.”
  9. “Selama tiada kejahatan nyata—suap, gratifikasi, fiktif, atau under-spesifikasi yang tak dipulihkan—jangan ganti aturan main di tengah jalan.”
  10. “Mengganggu pengadaan yang sah sama dengan mengganggu pembangunan; koreksi harus menolong jalannya, bukan memutus nadinya.”

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dari Gagasan ke Kebijakan: Panduan Praktis Menulis Naskah Akademik yang Andal & Teruji

  “Dari Gagasan ke Kebijakan: Panduan Praktis Menulis Naskah Akademik yang Andal & Teruji” Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp. Ringk...