Benteng Terakhir Pengadaan Berintegritas: Mengapa Demosi JF PPBJ Meruntuhkan Sistem Merit dan Membuka Pintu Intervensi
Di jantung setiap rupiah anggaran belanja negara dan daerah, berdiri seorang profesional yang perannya krusial namun penuh risiko: Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (JF PPBJ). Mereka adalah benteng terakhir yang memastikan proses pengadaan berjalan sesuai aturan, transparan, dan akuntabel. Namun, benteng ini kini menghadapi ancaman serius dari dalam, melalui sebuah praktik yang tampak administratif namun berdaya rusak sistemik: demosi terselubung melalui mekanisme mutasi jabatan.
Ketika seorang JF PPBJ pada jenjang keahlian madya tiba-tiba dipindahkan ke jabatan struktural yang levelnya lebih rendah, ini bukan sekadar rotasi biasa. Ini adalah sinyal bahaya yang menandakan rapuhnya perlindungan terhadap para penjaga integritas pengadaan, dan berpotensi membuka "Kotak Pandora" intervensi negatif yang selama ini coba kita perangi. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa praktik ini secara fundamental merusak ekosistem pengadaan nasional.
1. Anatomi "Demosi": Ketika Jabatan Ahli Ditukar dengan Jabatan Administratif
Untuk memahami inti masalah, kita harus membedah perbedaan antara mutasi yang wajar dan demosi yang terselubung. Kuncinya terletak pada kesetaraan jenjang jabatan.
Analisis Kesetaraan Jabatan: Peraturan perundang-undangan telah memetakan hierarki jabatan ASN. Pasal 24 ayat (2) Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023 secara gamblang menempatkan JF Ahli Madya setara dengan Jabatan Administrator (Eselon III). Di sisi lain, Jabatan Pengawas (misalnya, Kepala Sub Bagian) berada satu tingkat di bawahnya (setara Eselon IV). Dengan demikian, memindahkan seorang JF PPBJ Ahli Madya—seorang profesional di level strategis yang menangani paket-paket kompleks, riset pasar, dan strategi pengadaan—ke Jabatan Pengawas adalah sebuah penurunan jenjang jabatan (job level) yang tidak bisa diperdebatkan.
Makna di Balik Penurunan: Ini bukan sekadar perubahan nomenklatur. Ini adalah penyempitan ruang lingkup, pengurangan bobot tanggung jawab, dan pemotongan jalur karier keahlian yang telah dibangun bertahun-tahun. Ini adalah pesan bahwa keahlian spesialis dalam pengadaan dapat dikesampingkan untuk tugas-tugas administratif yang lebih umum.
2. Sistem Merit sebagai Tameng Pengadaan yang Tidak Boleh Rapuh
Sistem Merit adalah jiwa dari reformasi birokrasi. Dalam ekosistem pengadaan, prinsip ini bukan sekadar konsep, melainkan sebuah tameng vital.
Justifikasi Hukum: Pasal 162 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 mengamanatkan bahwa "mutasi" harus menerapkan prinsip Sistem Merit. Artinya, setiap keputusan harus didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar.
Argumentasi dalam Konteks Pengadaan: Di dunia pengadaan, Sistem Merit adalah jaminan bahwa keputusan untuk menolak penyedia yang tidak memenuhi syarat, menghentikan kontrak yang wanprestasi, atau menolak usulan yang tidak sesuai aturan, didasarkan pada analisis profesional. Jika karier para profesional ini (melalui mutasi, promosi, atau demosi) diputuskan secara non-meritokratis, maka mustahil kita mengharapkan proses pengadaan itu sendiri berjalan meritokratis. Integritas proses pengadaan dimulai dari integritas manajemen SDM-nya.
3. Senjata Senyap Intervensi: Melumpuhkan Integritas Pengadaan dari Dalam
Inilah titik paling krusial. JF PPBJ, dalam perannya sebagai Ketua atau Anggota Pokja Pemilihan atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), setiap hari berhadapan dengan tekanan dan potensi intervensi. Kemampuan mereka untuk berkata "tidak" pada hal yang salah adalah kunci pengadaan yang berintegritas.
Ancaman sebagai Alat Intervensi: Demosi melalui mutasi adalah "senjata senyap" yang paling efektif untuk melumpuhkan pejabat yang berintegritas. Mengapa? Karena ia tidak memerlukan proses pembuktian pelanggaran disiplin yang rumit. Ia bisa dibungkus sebagai "penyegaran organisasi" atau "kebutuhan dinas", padahal substansinya adalah hukuman bagi mereka yang tidak bisa "diatur".
Contoh Realistis: Bayangkan seorang Ketua Pokja Pemilihan berstatus JF PPBJ Ahli Madya bersikeras menggugurkan penawaran dari penyedia "titipan" karena secara teknis tidak memenuhi syarat sesuai dokumen pemilihan. Beberapa bulan kemudian, ia "diparkir" ke jabatan Kepala Sub Bagian Kearsipan yang tidak memiliki relevansi dengan keahliannya. Pesan yang diterima oleh seluruh komunitas pengadaan di instansi itu sangat jelas dan mengerikan: "Integritas profesional akan dibayar dengan keterasingan karier." Akibatnya, JF PPBJ lain di masa depan akan memilih "bermain aman", yang dalam konteks pengadaan berarti membiarkan potensi kerugian negara, inefisiensi, dan praktik koruptif terjadi. Ini secara langsung mencederai amanat untuk mewujudkan ASN yang "bebas dari intervensi politik" seperti yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 2014 dan PP No. 11 Tahun 2017.
4. Efek Domino: Meruntuhkan UKPBJ sebagai Pusat Keunggulan
Praktik demosi terselubung terhadap Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (JF PPBJ) bukanlah sekadar isu personalia. Ini adalah sebuah tindakan yang secara langsung menyabotase visi besar reformasi pengadaan, yaitu transformasi Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) menjadi sebuah Pusat Keunggulan Pengadaan Barang/Jasa (Center of Excellence). Dampaknya bersifat institusional dan merusak fondasi yang sedang dibangun dengan susah payah.
1. Kontradiksi Langsung dengan Definisi dan Karakter Pusat Keunggulan
Peraturan LKPP No. 10 Tahun 2021 secara spesifik mendefinisikan apa itu Pusat Keunggulan. Praktik demosi ini bertentangan secara diametral dengan setiap karakter yang ingin dibangun.
Definisi Pusat Keunggulan: Pasal 1 angka 25 Peraturan LKPP No. 10 Tahun 2021 mendefinisikan UKPBJ sebagai Pusat Keunggulan Pengadaan (PKP-BJ) sebagai unit kerja yang memiliki karakter strategis, kolaboratif, berorientasi pada kinerja, proaktif, dan mampu melakukan perbaikan berkelanjutan
. Analisis Dampak Konkret:
Bagaimana UKPBJ bisa menjadi Strategis? Fungsi strategis menuntut para ahlinya—khususnya JF PPBJ Ahli Madya—untuk mampu memberikan masukan kritis, melakukan analisis pasar yang mendalam, dan merumuskan strategi pengadaan yang inovatif
. Jika para ahli ini bekerja di bawah ancaman demosi karena pendapat profesionalnya dianggap "tidak sejalan", maka mereka akan cenderung diam. Inisiatif strategis akan mati, dan UKPBJ akan kehilangan perannya sebagai mitra strategis pimpinan daerah. Bagaimana UKPBJ bisa menjadi Proaktif? Karakter proaktif, sebagaimana didefinisikan pada tingkat kematangan "Proaktif"
, menuntut UKPBJ untuk "menjalankan fungsi Pengadaan Barang/Jasa dengan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pemangku kepentingan melalui kolaborasi, [dan] penguatan fungsi perencanaan bersama" . Sikap proaktif membutuhkan keberanian dan rasa aman secara profesional. Praktik demosi sewenang-wenang justru menciptakan budaya reaktif dan pasif, di mana staf hanya akan menunggu perintah dan menghindari inisiatif yang berisiko. Bagaimana UKPBJ bisa Berorientasi pada Kinerja? Seluruh kerangka Sistem Merit dan manajemen JF PPBJ didasarkan pada kinerja. Ketika seorang pejabat fungsional yang notabene telah mencapai jenjang Ahli Madya (sebuah pencapaian berbasis kinerja dan kompetensi) dapat diturunkan jabatannya tanpa justifikasi kinerja yang jelas, ini mengirimkan pesan ke seluruh organisasi bahwa kinerja tidak lagi relevan. Orientasi akan bergeser dari kinerja objektif menjadi kepatuhan subjektif.
2. Mengunci UKPBJ pada Level Kematangan Terendah
Peraturan LKPP No. 10 Tahun 2021 menyediakan sebuah alat ukur yang jelas untuk melihat kemajuan UKPBJ, yaitu Model Kematangan (MK-UKPBJ) yang terdiri dari lima tingkatan. Praktik demosi ini secara efektif mengunci UKPBJ pada level-level terendah.
Terjebak di Level "Inisiasi" dan "Esensi":
Level Inisiasi didefinisikan sebagai UKPBJ yang pasif dalam merespon setiap permintaan dan bentuknya masih ad-hoc
. Level Esensi adalah UKPBJ yang hanya memfokuskan pada fungsi dasar dalam proses pemilihan dan memiliki pola kerja tersegmentasi
. Argumentasi: Dalam iklim ketakutan yang diciptakan oleh demosi, para JF PPBJ akan cenderung hanya menjalankan "fungsi dasar" yaitu melaksanakan tender sesuai permintaan. Mereka tidak akan berani melakukan fungsi yang lebih maju seperti riset dan analisis pasar barang/jasa atau penyusunan strategi pengadaan
, karena kegiatan tersebut membutuhkan inisiatif dan analisis kritis yang bisa jadi tidak populer. Akibatnya, UKPBJ akan selamanya terjebak sebagai "panitia lelang" administratif, persis seperti deskripsi level Inisiasi dan Esensi.
Mustahil Mencapai Level "Proaktif" dan "Strategis":
Level Proaktif dicirikan oleh adanya kolaborasi dan penguatan fungsi perencanaan bersama pemangku kepentingan
. Level Strategis dicirikan oleh pengelolaan pengadaan yang inovatif, terintegrasi, dan strategis untuk mendukung pencapaian kinerja organisasi
. Argumentasi: Kedua level ini membutuhkan SDM yang stabil, percaya diri, dan dihargai keahliannya. Mustahil bagi seorang JF PPBJ untuk secara proaktif berkolaborasi dengan Perangkat Daerah lain untuk menyusun perencanaan pengadaan yang lebih baik, jika ia tahu bahwa posisinya di UKPBJ tidak aman dan dapat dicabut kapan saja. Inovasi lahir dari keamanan psikologis, bukan dari ketakutan. Dengan demikian, praktik demosi secara langsung menutup pintu bagi UKPBJ untuk naik kelas dan memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi pemerintah daerah.
Kesimpulan Argumentatif:
Demosi terhadap seorang JF PPBJ Ahli Madya bukanlah sekadar tindakan administratif terhadap satu individu. Ini adalah sebuah tindakan yang meruntuhkan pilar-pilar yang menopang misi UKPBJ sebagai Pusat Keunggulan. Ia mematikan karakter strategis dan proaktif, mengikis budaya berorientasi kinerja, dan secara konkret mengunci institusi UKPBJ pada level kematangan terendah. Jika praktik ini dibiarkan, maka amanat Peraturan LKPP No. 10 Tahun 2021 untuk menciptakan UKPBJ sebagai mitra strategis pembangunan hanya akan menjadi dokumen tanpa makna, karena motor penggeraknya—yaitu para ahli pengadaan yang profesional dan independen—telah dilumpuhkan.
5. Menihilkan Peran Sentral LKPP sebagai Instansi Pembina
Arsitektur pembinaan Jabatan Fungsional (JF) di Indonesia dirancang sebagai sebuah sistem kemitraan yang terstruktur antara Instansi Pengguna (tempat JF bekerja) dan Instansi Pembina (lembaga yang bertanggung jawab atas standardisasi dan pengembangan keahlian JF tersebut). Keputusan demosi sepihak oleh instansi pengguna merupakan bentuk pengabaian terhadap kemitraan vital ini, yang secara efektif memutus rantai komando profesionalisme dan merusak tatanan yang telah dibangun.
A. Landasan Hukum Kewenangan LKPP sebagai Instansi Pembina
Kewenangan LKPP bukan sekadar himbauan, melainkan mandat yang tertuang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Mengabaikannya berarti mengabaikan hukum.
Mandat Peraturan Pemerintah: Pasal 99 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 menjadi dasar utama, yang menyatakan bahwa setiap JF memiliki instansi pembina. Secara spesifik, Pasal 99 ayat (3) merinci tugas-tugas Instansi Pembina yang sangat luas, di antaranya:
Menyusun standar kompetensi JF
. Mengembangkan sistem informasi JF
. Memfasilitasi pelaksanaan tugas pokok JF
. Dan yang paling relevan dengan kasus ini, melakukan koordinasi dengan instansi pengguna dalam rangka pembinaan karier pejabat fungsional
Penegasan dalam Peraturan LKPP: Mandat umum tersebut ditegaskan secara khusus untuk JF PPBJ dalam Pasal 4 Peraturan LKPP Nomor 7 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa "LKPP merupakan instansi pembina JF PPBJ" dan mengadopsi kembali seluruh tugas pembinaan yang tercantum dalam PP No. 11 Tahun 2017, termasuk pembinaan karier
.
B. Analisis Argumentatif: Mengapa Koordinasi dengan Instansi Pembina Wajib Hukumnya?
Tugas koordinasi dalam pembinaan karier bukanlah sekadar formalitas, melainkan sebuah mekanisme fundamental dengan tujuan yang sangat jelas:
Menjaga Standar Profesional Nasional: Tujuan adanya Instansi Pembina adalah untuk menjamin bahwa seorang JF PPBJ Ahli Madya di satu provinsi memiliki standar kompetensi, profesionalisme, dan jalur karier yang sama dengan rekannya di provinsi lain. Tanpa koordinasi, setiap instansi pengguna dapat menetapkan "standar lokal" versinya sendiri, yang akan menciptakan fragmentasi dan devaluasi terhadap profesi JF PPBJ secara nasional.
Menjamin Objektivitas dalam Keputusan Karier: LKPP, sebagai lembaga yang fokus pada keahlian pengadaan, berfungsi sebagai penyeimbang objektif terhadap potensi kepentingan subjektif di instansi pengguna. Dalam kasus mutasi yang berpotensi demosi, LKPP seharusnya memberikan pertimbangan teknis: Apakah pemindahan ini sejalan dengan peta jalan kompetensi nasional? Apakah ada alternatif pengembangan karier lain yang lebih sesuai? Apakah ada indikasi bahwa keputusan ini bukan didasari oleh pertimbangan profesional? Mengabaikan LKPP berarti menghilangkan mekanisme check and balance yang krusial ini.
Melindungi Aset Investasi Negara: Seorang JF PPBJ Ahli Madya adalah aset negara yang telah melalui proses panjang pendidikan, pelatihan, sertifikasi, dan pengalaman. Mereka adalah investasi SDM yang mahal. Keputusan untuk mendemosikan atau menempatkan mereka pada posisi yang tidak sesuai dengan keahliannya adalah bentuk penyia-nyiaan aset intelektual. Peran LKPP adalah memastikan bahwa aset ini dikelola dan dikembangkan secara optimal, bukan disia-siakan.
C. Konsekuensi dari Pengabaian Peran Instansi Pembina
Mengambil keputusan karier yang drastis seperti demosi tanpa berkoordinasi dengan LKPP menciptakan anomali berbahaya dalam sistem:
Terputusnya Rantai Komando Profesionalisme: Terjadi pemisahan antara
pembina administrasi
(BKN dan Pemda) denganpembina keahlian
(LKPP). Akibatnya, keputusan karier bisa jadi benar secara administratif (prosedur surat-menyurat diikuti), tetapi salah besar secara profesional dan substantif. Ini menciptakan "negara dalam negara" dalam manajemen JF PPBJ, di mana aturan main profesional dari Instansi Pembina tidak berlaku.Pelemahan Posisi Tawar JF PPBJ: Pejabat Fungsional menjadi terisolasi dan rentan. Mereka kehilangan perlindungan dari "induk" profesionalnya. Ketika berhadapan dengan intervensi, mereka tidak memiliki lembaga yang dapat dijadikan rujukan atau pembela. Hal ini secara langsung berkontribusi pada terciptanya iklim ketakutan yang telah dibahas sebelumnya.
Kesimpulan Argumentatif:
Keputusan mutasi yang mengabaikan peran LKPP sebagai Instansi Pembina adalah cacat hukum secara tata kelola. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi sebuah tindakan yang memutus sistem pembinaan nasional yang terintegrasi. Hal ini menunjukkan ketidakpahaman atau pengabaian yang disengaja terhadap arsitektur Jabatan Fungsional yang dirancang untuk menjaga standar dan melindungi profesionalisme. Oleh karena itu, setiap keputusan terkait pembinaan karier JF PPBJ, apalagi yang bersifat demosi, yang diambil tanpa koordinasi dengan LKPP, harus dianggap tidak sah secara substantif karena telah melanggar mandat yang jelas dalam PP No. 11 Tahun 2017 dan Peraturan LKPP No. 7 Tahun 2021.
Kesimpulan dan Arah Perbaikan Bersama
Demosi terselubung bagi JF PPBJ bukanlah isu sepele. Ini adalah praktik maladministrasi yang merusak karier individu, menabur ketakutan, membunuh profesionalisme, melumpuhkan institusi UKPBJ, dan merusak tatanan pembinaan JF nasional.
Untuk melindungi benteng terakhir pengadaan berintegritas ini, diperlukan langkah-langkah perbaikan yang fundamental dan terkoordinasi:
Penguatan Regulasi: Mendesak adanya Surat Edaran Bersama (SEB) antara Menteri PANRB, Kepala BKN, dan Kepala LKPP yang secara spesifik mengatur bahwa setiap mutasi JF PPBJ yang berpotensi menurunkan jenjang jabatan wajib disertai justifikasi kinerja yang jelas dan harus mendapatkan pertimbangan teknis dari LKPP sebagai Instansi Pembina.
Peningkatan Peran Pengawasan: Mendorong KASN dan BKN untuk tidak hanya memeriksa kepatuhan prosedural, tetapi juga menginvestigasi substansi dan kewajaran setiap mutasi JF PPBJ sebagai red flag potensi pelanggaran Sistem Merit dan intervensi dalam proses pengadaan.
Advokasi Bersama: LKPP sebagai Instansi Pembina dan IFPI sebagai Organisasi Profesi harus secara sinergis dan berkelanjutan melakukan advokasi dan sosialisasi kepada para Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala Daerah) mengenai peran strategis JF PPBJ dan konsekuensi hukum serta administratif dari pelanggaran Sistem Merit.
Jika praktik ini dibiarkan, maka kita bukan hanya akan kehilangan para ahli pengadaan terbaik, tetapi juga kehilangan harapan untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan pelayanan publik yang berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar