Laporan Analisis Komprehensif: Benturan Paradigma Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Studi Kasus Delik Kerugian Negara, Risiko Kriminalisasi Kebijakan, dan Implikasinya pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Bagian I: Pendahuluan - Persimpangan Jalan Pemberantasan Korupsi
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pasca-reformasi merupakan sebuah narasi yang penuh dengan kontradiksi. Di satu sisi, negara telah mendirikan lembaga-lembaga yang kuat dan diakui secara global, serta menjadi salah satu negara peratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption - UNCAC) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.1 Di sisi lain, kerangka hukum pidana korupsi Indonesia secara fundamental masih terikat pada sebuah paradigma warisan masa lalu yang berpusat pada konsep "kerugian keuangan negara".
Benturan antara paradigma internasional yang berfokus pada integritas perbuatan (act-based) dengan paradigma domestik yang dominan berfokus pada akibat finansial (consequence-based) ini menciptakan disharmoni regulasi yang signifikan.3 Kondisi ini bukan sekadar perdebatan akademis, melainkan sebuah persoalan krusial yang berdampak langsung pada efektivitas pemerintahan dan laju pembangunan.
Laporan ini mengajukan argumen utama bahwa ketergantungan berlebihan pada delik kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), tidak hanya menciptakan celah hukum yang menyulitkan penjeratan korupsi tanpa kerugian finansial yang jelas, tetapi juga telah melahirkan "efek mendinginkan" (chilling effect) yang melumpuhkan pengambilan keputusan di sektor publik. Efek ini paling terasa dalam arena pengadaan barang/jasa pemerintah, di mana ketakutan akan kriminalisasi kebijakan telah menghambat inovasi, efisiensi, dan penyerapan anggaran. Ironisnya, sebuah kerangka hukum yang dirancang untuk melindungi keuangan negara justru menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan nasional itu sendiri.4
Untuk membedah persoalan ini secara mendalam, laporan ini akan disusun sebagai berikut: Bagian II akan membandingkan secara diametral dua paradigma yang bertentangan. Bagian III akan menelusuri evolusi penafsiran hukum atas unsur kerugian negara, yang berpuncak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang monumental. Bagian IV akan menganalisis dampak nyata dari chilling effect melalui studi kasus kriminalisasi kebijakan dan keputusan bisnis BUMN. Bagian V akan memaparkan implikasi sistemik dari fenomena ini pada pengadaan barang/jasa pemerintah dan penyerapan anggaran. Terakhir, Bagian VI dan VII akan menawarkan analisis jalan keluar melalui reformasi kelembagaan dan legislatif, serta menyajikan kesimpulan dan rekomendasi strategis.
Bagian II: Dua Paradigma yang Bertolak Belakang: Sebuah Analisis Komparatif
Untuk memahami akar permasalahan, penting untuk membedah perbedaan filosofis antara pendekatan yang dianut oleh UNCAC dan yang dominan dalam UU Tipikor Indonesia. Keduanya berangkat dari tujuan yang sama—memberantas korupsi—namun menempuh jalan yang secara fundamental berbeda.
Sub-bagian 2.1: Paradigma UNCAC - Fokus pada Integritas Proses dan Perbuatan Tercela (The Act Itself)
UNCAC, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2003 dan kini telah diratifikasi oleh 191 negara, merupakan standar emas global dalam pemberantasan korupsi.6 Filosofi dasarnya adalah bahwa korupsi merupakan kejahatan terhadap integritas, transparansi, dan akuntabilitas tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, fokus utamanya adalah mengkriminalisasi serangkaian
perilaku atau perbuatan yang merusak fondasi tersebut, terlepas dari apakah kerugian finansial yang pasti dan terhitung dapat dibuktikan secara langsung. Fokus hukumnya terletak pada pembuktian niat jahat (mens rea) dan perbuatan terlarang (actus reus).
Bab III Konvensi ini mewajibkan negara-negara pihak untuk mengkriminalisasi (atau mempertimbangkan untuk mengkriminalisasi) berbagai jenis delik, di antaranya 6:
Penyuapan pejabat publik nasional dan asing (bribery) (Pasal 15, 16).
Penggelapan, penyelewengan, atau penyalahgunaan lain harta benda oleh pejabat publik (embezzlement) (Pasal 17).
Perdagangan pengaruh (trading in influence) (Pasal 18).
Penyalahgunaan fungsi/jabatan (abuse of functions) (Pasal 19).
Memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment) (Pasal 20).
Penyuapan di sektor swasta (bribery in the private sector) (Pasal 21).
Sebuah analisis kesenjangan (gap analysis) menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi seluruh jenis delik ini ke dalam UU Tipikor. Akibatnya, timbul kekosongan hukum. Praktik seperti perdagangan pengaruh atau suap murni di sektor swasta yang berdampak pada kebijakan publik seringkali sulit dijerat. Penegak hukum terpaksa "memaksakan" kasus-kasus semacam ini ke dalam delik suap umum atau, yang lebih sering, ke dalam delik kerugian negara, yang membuat pembuktian menjadi rumit dan artifisial.1
Untuk memperjelas, dapat digunakan analogi "Aturan Lalu Lintas". UNCAC berfungsi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di bidang lalu lintas. Ia melarang perbuatan-perbuatan spesifik yang membahayakan sistem, seperti menerobos lampu merah, mengemudi dalam keadaan mabuk, atau melampaui batas kecepatan. Pelanggaran itu sendiri sudah merupakan kejahatan, bahkan jika tidak terjadi kecelakaan (kerugian materiil). Tujuannya adalah untuk menjaga ketertiban, keselamatan, dan kepercayaan publik terhadap sistem lalu lintas. Demikian pula, UNCAC melarang suap bukan hanya karena bisa merugikan negara, tetapi karena perbuatan suap itu sendiri merusak prinsip persaingan yang adil dan meritokrasi dalam pemerintahan.
Sub-bagian 2.2: Paradigma UU Tipikor - Fokus pada Akibat Finansial (The Consequence)
Berbeda dengan UNCAC, UU Tipikor Indonesia, khususnya dua pasal yang paling sering digunakan—Pasal 2 dan 3—menempatkan "kerugian keuangan negara" sebagai elemen sentral.
Pasal 2 ayat (1) menyasar "setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Pasal 3 menyasar "setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Frasa kunci di kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa fokus penegakan hukum bukanlah semata-mata pada perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, melainkan pada akibat dari perbuatan tersebut, yaitu timbulnya kerugian bagi negara.12 Definisi "keuangan negara" itu sendiri sangat luas, mencakup semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah (BUMN/BUMD).11 Definisi yang ekspansif inilah yang menjadi pintu masuk bagi penarikan masalah korporasi BUMN dari ranah hukum bisnis ke ranah hukum pidana korupsi.
Pendekatan ini dapat diilustrasikan dengan analogi "Klaim Asuransi Kecelakaan". Jika UNCAC adalah aturan lalu lintas, maka Pasal 2 dan 3 UU Tipikor bekerja seperti polis asuransi. Sebuah pelanggaran (misalnya, kesalahan administrasi, keputusan bisnis yang keliru, atau bahkan kelalaian) belum tentu memicu proses hukum. Proses hukum baru dimulai ketika terjadi "kecelakaan" (misalnya, proyek gagal atau investasi merugi) yang menimbulkan "kerugian" yang dapat dihitung secara pasti oleh "ahli penaksir" (dalam hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan/BPK). Fokusnya adalah pada dampak finansial, yang seringkali mengaburkan atau bahkan menomorduakan pembuktian niat jahat atau perbuatan tercela yang sesungguhnya.
Perbedaan fundamental antara kedua paradigma ini bukanlah sekadar teknis-yuridis, melainkan berakar pada sejarah dan filosofi. Paradigma kerugian negara adalah warisan dari pandangan historis yang mendefinisikan korupsi sebagai "pencurian uang negara". Ini menyebabkan kerangka hukum Indonesia secara inheren berbeda dari pendekatan global yang memandang korupsi sebagai "penyakit sistemik" yang merusak tata kelola, bahkan ketika tidak ada pencurian langsung yang terjadi. Akibatnya, seluruh arsitektur pemberantasan korupsi di Indonesia dibangun di atas fondasi yang berbeda, yang menjelaskan mengapa harmonisasi dengan UNCAC begitu sulit dan mengapa masalah seperti kriminalisasi kebijakan terus-menerus muncul.
Tabel 1: Perbandingan Paradigma Pemberantasan Korupsi
Bagian III: Titik Didih Konflik - Evolusi Penafsiran "Kerugian Negara"
Konflik antara kedua paradigma ini mencapai puncaknya dalam perdebatan hukum mengenai penafsiran frasa "dapat merugikan keuangan negara". Evolusi penafsiran ini, yang berpuncak pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), secara dramatis mengubah lanskap penegakan hukum korupsi di Indonesia.
Sebelum adanya putusan MK, doktrin hukum yang berlaku menafsirkan kata "dapat" dalam Pasal 2 dan 3 sebagai penanda bahwa delik korupsi merupakan delik formil. Artinya, untuk membuktikan tindak pidana korupsi, jaksa tidak perlu menunjukkan bahwa kerugian negara telah benar-benar terjadi. Adanya potensi kerugian (potential loss) yang timbul dari perbuatan terdakwa sudah dianggap cukup untuk memenuhi unsur delik.15 Pendekatan ini memberikan kekuatan yang sangat besar bagi aparat penegak hukum, namun di sisi lain membuka pintu yang sangat lebar bagi kriminalisasi kebijakan, di mana setiap keputusan yang berpotensi merugi dapat dengan mudah ditarik ke ranah pidana.
Titik balik terjadi pada tahun 2016 melalui Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. Para pemohon dalam perkara ini berargumen bahwa frasa "dapat" menciptakan ketidakpastian hukum yang ekstrem, bertentangan dengan prinsip lex certa (hukum harus jelas dan tidak multitafsir). Mereka menyatakan bahwa ketidakpastian ini melanggar hak konstitusional warga negara atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.15
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi setuju dengan argumen tersebut. MK mengakui bahwa dalam praktiknya, rumusan delik formil ini sering disalahgunakan untuk menjerat perbuatan yang masuk dalam ranah diskresi pejabat (freies Ermessen). Hal ini menimbulkan ketakutan yang meluas di kalangan pejabat publik untuk mengambil keputusan atau kebijakan, terutama yang bersifat inovatif dan mendesak, yang pada akhirnya menghambat jalannya roda pemerintahan.15
Amar putusan MK secara tegas menyatakan bahwa kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi dari putusan ini sangat fundamental:
Transformasi menjadi Delik Materiil: Unsur "merugikan keuangan negara" tidak lagi bisa ditafsirkan sebagai potensi kerugian. Kerugian tersebut harus bersifat nyata dan pasti jumlahnya (actual loss). Dengan demikian, delik korupsi dalam kedua pasal tersebut berubah dari delik formil menjadi delik materiil.17
Kewajiban Pembuktian Kuantitatif: Kerugian negara tersebut harus sudah dapat dihitung secara konkret berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.19
Putusan ini memiliki dampak signifikan. Bagi aparat penegak hukum, beban pembuktian menjadi jauh lebih berat. Proses penyidikan tidak bisa lagi berjalan cepat hanya berdasarkan dugaan potensi kerugian; mereka harus menunggu hasil audit investigatif dari lembaga seperti BPK yang secara eksplisit menyatakan adanya actual loss, sebuah proses yang bisa memakan waktu lama.13 Bagi pejabat publik, putusan ini secara teoretis memberikan lapisan perlindungan hukum. Namun, dalam praktiknya, ketakutan tidak serta-merta hilang karena garis batas antara kesalahan kebijakan yang merugikan (ranah administrasi) dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara (ranah pidana) masih seringkali kabur.
Putusan MK ini melahirkan sebuah paradoks. Niatnya adalah untuk melindungi pejabat dari kriminalisasi dengan menaikkan ambang batas pembuktian (dari potential ke actual loss). Namun, karena putusan ini tidak mengubah rumusan delik secara fundamental selain menghilangkan satu kata, ia secara tidak sengaja justru memperkuat sentralitas "kerugian negara" sebagai satu-satunya tolok ukur korupsi. Alih-alih mendorong pergeseran paradigma ke arah UNCAC yang berfokus pada perbuatan, putusan ini justru menggandakan fokus pada akibat. Seluruh diskursus hukum dan praktik penegakan menjadi semakin terobsesi dengan metodologi penghitungan kerugian negara oleh BPK. Upaya melindungi diskresi kebijakan justru menjadikan "angka kerugian" sebagai raja dalam pembuktian korupsi, seringkali mengesampingkan analisis mendalam terhadap niat jahat atau integritas proses.
Lebih jauh, pasca-putusan MK, peran BPK menjadi sangat sentral, hampir berfungsi sebagai "penjaga gerbang" (gatekeeper) dalam penegakan hukum korupsi. Tanpa adanya laporan hasil pemeriksaan (LHP) investigatif dari BPK yang menyatakan actual loss, sebuah kasus korupsi berdasarkan Pasal 2 atau 3 menjadi sangat sulit, bahkan hampir mustahil, untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan.18 Hal ini menciptakan ketergantungan proses pidana pada proses audit administratif, yang berpotensi memperlambat penanganan perkara secara signifikan.
Bagian IV: Efek Mendinginkan (Chilling Effect): Kriminalisasi Kebijakan dan Keputusan Bisnis
Dampak paling merusak dari paradigma kerugian negara adalah terciptanya iklim ketakutan yang meluas di kalangan pengambil keputusan, baik di birokrasi maupun di BUMN. Fenomena ini, yang dikenal sebagai chilling effect, menyebabkan para pejabat menjadi ragu-ragu, enggan berinovasi, dan cenderung memilih jalur aman yang prosedural meskipun tidak efisien.
Sub-bagian 4.1: Ketika Diskresi Menjadi Delik
Diskresi adalah kewenangan yang melekat pada pejabat publik untuk membuat keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri ketika peraturan perundang-undangan tidak memberikan panduan yang pasti. Kewenangan ini esensial untuk pemerintahan yang dinamis dan responsif. Namun, setiap kebijakan mengandung risiko inheren; tidak semua program akan berhasil dan tidak semua investasi akan untung. Di sinilah titik rawan persinggungan dengan UU Tipikor terjadi, di mana kegagalan kebijakan dapat dengan mudah ditafsirkan sebagai tindak pidana korupsi.
Dua kasus menonjol dapat dijadikan ilustrasi:
Kasus Mobil Listrik Dahlan Iskan: Kasus ini berpusat pada program pengadaan 16 unit prototipe mobil listrik untuk mendukung Konferensi APEC 2013, yang didanai melalui sponsorship dari tiga BUMN (BRI, PGN, Pertamina). Proyek ini gagal karena vendor tidak mampu menyelesaikan seluruh unit tepat waktu. Argumen yang mendukung kriminalisasi berfokus pada kegagalan proyek dan kerugian yang ditimbulkan. Namun, argumen yang menentang—dan lebih kuat secara konseptual—menegaskan bahwa kasus ini seharusnya berada di ranah hukum perdata. Tidak ada unsur suap atau penggelapan untuk memperkaya diri yang terbukti. Yang terjadi adalah wanprestasi oleh vendor. Sumber dana bukan berasal dari APBN murni, melainkan dana sponsorship BUMN yang memiliki mekanisme pertanggungjawaban berbeda. Kasus ini menjadi contoh klasik di mana kegagalan sebuah kebijakan inovatif disamakan dengan kejahatan korupsi.21
Kasus Investasi Pertamina Karen Agustiawan: Kasus ini terkait keputusan investasi akuisisi 10% participating interest di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia, yang kemudian tidak menghasilkan keuntungan seperti yang diharapkan. Dakwaan jaksa penuntut umum berfokus pada proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak cermat dan tanpa studi kelayakan yang lengkap, sehingga dituduh merugikan negara sekitar Rp 568 miliar.22 Pembelaan dalam kasus ini berpusat pada tiga pilar utama:
Pertama, hasil audit BPK secara eksplisit menyatakan tidak ada kerugian negara dalam investasi tersebut. Kedua, bisnis di sektor migas adalah industri yang memiliki karakteristik high-risk, high-return; kerugian adalah risiko bisnis yang wajar. Ketiga, keputusan direksi dilindungi oleh doktrin Business Judgment Rule (BJR), karena diambil untuk kepentingan korporasi dalam rangka meningkatkan cadangan minyak nasional, sejalan dengan RKAP perusahaan.22
Analisis terhadap kedua kasus ini menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan: yang dikriminalisasi bukanlah proses yang koruptif (adanya suap, kolusi, atau niat jahat), melainkan hasil yang gagal. Sistem hukum menjadi tidak toleran terhadap kegagalan, sebuah sikap yang secara diametral bertentangan dengan prinsip inovasi dan manajemen risiko yang menjadi tulang punggung kemajuan, baik di sektor publik maupun korporasi.
Sub-bagian 4.2: Perisai yang Rapuh: Business Judgment Rule (BJR) di BUMN
Doktrin Business Judgment Rule (BJR) adalah sebuah prinsip hukum korporasi yang memberikan perlindungan hukum kepada direksi dari pertanggungjawaban pribadi atas kerugian yang diderita perusahaan, selama keputusan bisnis tersebut diambil dengan itikad baik (good faith), berdasarkan informasi yang memadai (informed basis), dan tanpa adanya konflik kepentingan pribadi.23 Tujuannya adalah untuk mendorong direksi berani mengambil risiko bisnis yang wajar dan terukur demi pertumbuhan perusahaan, tanpa dihantui ketakutan akan tuntutan hukum jika keputusan tersebut ternyata keliru.25
Namun, di Indonesia, perisai BJR ini terbukti rapuh dan seringkali tidak efektif melindungi direksi BUMN. Akar masalahnya terletak pada ambiguitas status keuangan BUMN. Di satu sisi, UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas mendorong BUMN untuk beroperasi layaknya entitas bisnis yang mengejar keuntungan. Di sisi lain, UU Keuangan Negara dan UU Tipikor secara tegas mengklasifikasikan kekayaan BUMN (sebagai kekayaan negara yang dipisahkan) sebagai bagian dari "keuangan negara".14
Konsekuensinya fatal. Kerugian bisnis (business loss) yang dalam hukum korporasi murni merupakan risiko yang harus ditanggung perusahaan dalam ranah perdata, dengan mudah ditafsirkan ulang sebagai "kerugian negara" dalam ranah pidana. Penafsiran ini secara efektif meniadakan perlindungan yang seharusnya diberikan oleh doktrin BJR.25
Untuk menggambarkannya, dapat digunakan analogi "Dua Topi Direktur BUMN". Seorang direktur BUMN di Indonesia seolah-olah diwajibkan memakai dua topi secara bersamaan. Topi pertama adalah topi "CEO Korporasi", yang menuntutnya untuk berpikir inovatif, kompetitif, dan berani mengambil risiko untuk memaksimalkan keuntungan, di mana ia dilindungi oleh BJR. Topi kedua adalah topi "Pengelola Keuangan Negara", yang menuntutnya untuk bersikap sangat hati-hati, taat prosedur, dan menghindari kerugian sekecil apa pun, di mana ia diawasi secara ketat oleh UU Tipikor. Dalam praktiknya, kedua peran ini seringkali bertentangan. Ketakutan akan jerat pidana membuat topi kedua hampir selalu mendominasi, menekan keberanian mengambil risiko dan pada akhirnya mengorbankan potensi pertumbuhan BUMN itu sendiri.
Bagian V: Dampak Sistemik pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Arena pengadaan barang/jasa pemerintah adalah episentrum di mana benturan paradigma hukum ini menghasilkan dampak paling nyata dan merusak. Di sinilah teori hukum yang abstrak bertemu dengan praktik administrasi yang konkret, dan para pelaksana di lapangan—Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan—menjadi pihak yang paling merasakan tekanan dan risikonya.
Sub-bagian 5.1: Penyerapan Anggaran Rendah sebagai Gejala Ketakutan
Salah satu masalah kronis dalam administrasi publik di Indonesia adalah pola penyerapan anggaran yang tidak sehat: sangat lambat di awal hingga pertengahan tahun, lalu menumpuk secara drastis di kuartal terakhir.5 Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis atau perencanaan yang buruk, melainkan sebuah gejala perilaku yang berakar pada ketakutan.
Berbagai studi dan laporan telah mengidentifikasi korelasi kuat antara rendahnya penyerapan anggaran dengan kekhawatiran pejabat terhadap risiko hukum. Ketakutan terjerat kasus korupsi, terutama akibat perbedaan interpretasi peraturan oleh aparat penegak hukum (APH), menjadi faktor penghambat utama.4 Para pejabat, khususnya PPK dan Pokja, seringkali lebih memilih untuk menunda atau bahkan tidak mengeksekusi anggaran sama sekali daripada mengambil risiko menghadapi pemeriksaan hukum jika terjadi kesalahan prosedur atau jika proyek yang dihasilkan dianggap tidak optimal. Data realisasi belanja pemerintah, baik di tingkat pusat (APBN) maupun daerah (APBD), menunjukkan pola yang konsisten dari tahun ke tahun, mengindikasikan bahwa ini adalah masalah sistemik, bukan insidental.29
Tabel 2: Tren Realisasi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah (Contoh Ilustratif 5 Tahun Terakhir)
Catatan: Data tahun 2021-2024 adalah data final. Data 2025 adalah data sementara hingga Kuartal III. Pola penyerapan yang rendah di awal hingga pertengahan tahun (tercermin pada data Q3 2025) dan percepatan di akhir tahun (tercermin pada data final 2021-2024) merupakan fenomena yang konsisten.
Sumber Data: Diolah dari data Kementerian Keuangan.29
Paradigma yang bertujuan melindungi keuangan negara ini pada akhirnya justru bersifat merugikan diri sendiri (self-defeating). Anggaran yang tidak terserap atau terserap secara tergesa-gesa di akhir tahun berarti pelayanan publik yang tertunda, stimulus ekonomi yang gagal, target pembangunan yang tidak tercapai, dan kualitas pekerjaan yang rendah. Ini adalah bentuk kerugian negara yang sesungguhnya—kerugian pembangunan dan opportunity cost—yang tidak akan pernah terhitung dalam audit kerugian negara oleh BPK, namun dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat luas.
Sub-bagian 5.2: Paradoks Kepatuhan: Mengorbankan Value for Money (VfM)
Tujuan utama pengadaan pemerintah modern bukanlah sekadar membelanjakan uang sesuai prosedur, melainkan untuk mencapai Value for Money (VfM). Konsep VfM adalah pencapaian hasil terbaik dari setiap rupiah yang dibelanjakan, yang diukur melalui kombinasi tiga elemen utama:
Ekonomi: Memperoleh input (barang/jasa) dengan harga serendah mungkin untuk kualitas tertentu.31
Efisiensi: Menghasilkan output (hasil pekerjaan) yang maksimal dengan menggunakan input yang minimal.31
Efektivitas: Tingkat pencapaian tujuan atau sasaran dari pengadaan tersebut (misalnya, jembatan yang dibangun benar-benar memperlancar transportasi dan ekonomi).31
Namun, chilling effect dari paradigma kerugian negara memaksa para pejabat pengadaan untuk menggeser fokus mereka dari pencapaian VfM ke kepatuhan prosedural yang kaku dan defensif. Pertanyaan utama di benak mereka bukan lagi "Apakah ini solusi terbaik dan paling efisien untuk negara?", melainkan "Apakah semua dokumen sudah lengkap dan semua langkah prosedur sudah diikuti agar saya tidak dipenjara?".
Ketakutan ini diperparah oleh berbagai risiko nyata yang mereka hadapi, mulai dari penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang bisa dianggap di-mark-up, penetapan spesifikasi teknis yang bisa dituduh mengarah ke merek tertentu, hingga proses evaluasi yang rawan sanggahan dan gugatan.33 Akibatnya, mereka cenderung mengambil keputusan yang paling "aman" secara administratif, seperti selalu memilih penawaran dengan harga terendah secara nominal, meskipun produk atau jasa yang ditawarkan berkualitas rendah dan akan menimbulkan biaya perawatan yang lebih tinggi di masa depan (mengorbankan aspek efisiensi dan efektivitas dari VfM).
Fenomena ini dapat dianalogikan sebagai perubahan peran dari "Manajer Proyek Cerdas" menjadi "Robot Administratif". Seharusnya, seorang PPK atau Pokja bertindak sebagai manajer proyek yang dinamis, yang bertugas mencari solusi paling inovatif dan bernilai tinggi dengan anggaran yang tersedia. Namun, tekanan hukum telah mengubah mereka menjadi robot administratif yang tugas utamanya hanyalah memastikan setiap kotak dalam daftar periksa prosedur telah dicentang. Robot ini mungkin tidak akan pernah dihukum karena melanggar prosedur, tetapi ia juga tidak akan pernah menghasilkan proyek yang memberikan nilai optimal bagi publik.
Bagian VI: Mencari Jalan Keluar: Reformasi Kelembagaan dan Legislatif
Mengatasi masalah sistemik ini memerlukan pendekatan dua jalur yang komprehensif: memperkuat institusi yang ada sebagai garda depan pertahanan terhadap kriminalisasi, dan melakukan reformasi fundamental terhadap kerangka legislatif yang menjadi akar masalah.
Sub-bagian 6.1: Memperkuat Garda Depan: Peran APIP dan PTUN
Sebelum sebuah kasus yang berawal dari kebijakan atau tindakan administrasi ditarik ke ranah pidana, seharusnya ada mekanisme filter yang efektif. Di sinilah peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi krusial.
Peran APIP sebagai Filter Awal: APIP, yang mencakup inspektorat di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, idealnya berfungsi sebagai "unit triase" untuk memisahkan antara kesalahan administrasi murni, pelanggaran disiplin, dan dugaan tindak pidana korupsi. Paradigma peran APIP harus bergeser dari sekadar "pencari kesalahan" (watchdog) menjadi mitra konsultatif dan penjamin kualitas (quality assurance) bagi manajemen.36 Peran strategis APIP adalah melakukan deteksi dini, memberikan rekomendasi perbaikan sistem, dan secara proaktif mengawal para pengambil kebijakan agar terhindar dari kesalahan yang dapat berujung pada kriminalisasi.37
Namun, efektivitas APIP saat ini masih menghadapi tantangan serius, terutama terkait independensi. Karena secara struktural berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala lembaga atau kepala daerah yang diawasinya, independensi APIP seringkali terkompromikan.37 Selain itu, keterbatasan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia (auditor) serta anggaran juga menjadi kendala signifikan.37 Oleh karena itu, penguatan APIP harus mencakup reformasi struktural, seperti mempertimbangkan reposisi APIP di bawah lembaga vertikal yang independen (misalnya, BPKP atau Kemendagri) untuk menjamin otonomi, serta peningkatan kapabilitas melalui pelatihan, sertifikasi, dan alokasi sumber daya yang memadai.41
Peran PTUN dalam Sengketa Maladministrasi: PTUN memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang timbul akibat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).44 Dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, kewenangan PTUN diperluas untuk menguji ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam tindakan pejabat pemerintah.44 Ini menjadikan PTUN sebagai forum yang paling tepat untuk menguji aspek legalitas, baik prosedural maupun substansial, dari sebuah kebijakan dari perspektif hukum administrasi. Warga negara atau badan hukum yang merasa dirugikan oleh tindakan maladministrasi dapat mengajukan gugatan, termasuk tuntutan ganti rugi, ke PTUN.46 Dengan demikian, jalur PTUN menawarkan alternatif penyelesaian sengketa yang lebih sesuai untuk masalah-masalah yang berada di ranah administrasi, sebelum tereskalasi menjadi perkara pidana.
Pendekatan ini dapat dirumuskan dalam sebuah prinsip "Utamakan Penyelesaian Administratif" (Administrative First). Sebelum sebuah kasus yang berakar dari kebijakan atau tindakan administrasi dibawa ke ranah pidana, ia harus terlebih dahulu diuji melalui mekanisme pengawasan internal (APIP) dan, jika perlu, peradilan administrasi (PTUN). Jalur pidana harus diposisikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), bukan upaya pertama (primum remedium).
Sub-bagian 6.2: Menuju Harmonisasi: Agenda Reformasi UU Tipikor
Solusi kelembagaan tidak akan pernah cukup tanpa adanya reformasi legislatif yang menyentuh akar permasalahan. UU Tipikor yang berlaku saat ini secara inheren menciptakan disharmoni dengan standar internasional dan ketidakpastian dalam praktik.3 Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCAC, Indonesia memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan domestiknya dengan konvensi tersebut.1
Berdasarkan berbagai kajian dan draf usulan perubahan UU Tipikor yang pernah digagas, agenda reformasi kunci harus mencakup 50:
Adopsi Penuh Delik UNCAC: Mengkriminalisasi secara eksplisit dan dengan rumusan yang jelas delik-delik seperti trading in influence, illicit enrichment, dan private sector bribery. Ini akan menutup kekosongan hukum yang ada dan memungkinkan penegak hukum untuk menjerat perbuatan koruptif sesuai dengan esensinya, tanpa perlu "memaksakannya" ke dalam pasal kerugian negara.50
Reformulasi Pasal Kerugian Negara: Memisahkan secara tegas antara delik penyalahgunaan wewenang murni (seperti yang diatur dalam Pasal 19 UNCAC) dari delik yang mensyaratkan adanya kerugian negara. Delik penyalahgunaan wewenang seharusnya dapat dipidana berdasarkan perbuatannya yang melanggar integritas, sementara delik seperti penggelapan atau perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri dapat tetap mempertahankan unsur kerugian negara sebagai elemen konstitutif.
Menghilangkan Tumpang Tindih: Memperjelas dan menyederhanakan rumusan delik suap dan gratifikasi untuk menghindari kebingungan dan tumpang tindih dalam penerapan.50
Menjaga Kekuatan Undang-Undang: Menolak usulan-usulan yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi, seperti penghapusan ancaman hukuman minimal atau penghentian penuntutan untuk korupsi dengan nilai kerugian di bawah ambang batas tertentu, karena hal tersebut bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.52
Reformasi legislatif ini bukanlah obat mujarab yang akan menyelesaikan semua masalah secara instan. Implementasi yang efektif dan perubahan budaya di kalangan aparat penegak hukum tetap menjadi kunci. Namun, tanpa revisi undang-undang, setiap upaya perbaikan akan selalu terbentur pada "dinding" kerangka hukum yang secara fundamental problematik. Reformasi UU Tipikor adalah prasyarat yang mutlak diperlukan untuk memungkinkan reformasi kelembagaan dan budaya dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan.
Bagian VII: Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
Analisis komprehensif ini membawa pada satu kesimpulan utama: paradigma pemberantasan korupsi di Indonesia yang berpusat pada delik kerugian negara, meskipun lahir dari niat baik untuk menyelamatkan aset negara, telah terbukti kontraproduktif dalam praktiknya. Pendekatan ini tidak hanya gagal selaras dengan standar antikorupsi global yang diamanatkan oleh UNCAC, tetapi juga secara sistemik menciptakan chilling effect yang merusak esensi tata kelola pemerintahan yang baik. Ia melumpuhkan inovasi dalam kebijakan publik, mengebiri keberanian pengambilan risiko bisnis di BUMN, dan secara signifikan menghambat efektivitas serta pencapaian value for money dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Ironisnya, upaya mencegah "kerugian negara" yang tercatat secara akuntansi justru menciptakan "kerugian pembangunan" yang masif dan tidak terukur.
Untuk keluar dari persimpangan jalan yang problematik ini, diperlukan langkah-langkah reformasi yang berani dan terkoordinasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Rekomendasi Strategis:
1. Untuk Legislator (DPR dan Pemerintah):
Prioritaskan Revisi UU Tipikor: Menempatkan revisi UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 sebagai prioritas utama dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Harmonisasi dengan UNCAC: Melakukan adopsi penuh atas delik-delik yang diamanatkan UNCAC, terutama trading in influence, illicit enrichment, dan private sector bribery, dengan rumusan yang jelas dan presisi.
Reformulasi Delik Kerugian Negara: Memisahkan delik penyalahgunaan wewenang dari keharusan adanya kerugian negara, sehingga fokus penegakan hukum dapat beralih dari akibat finansial ke integritas perbuatan.
Perjelas Status Keuangan BUMN: Melakukan revisi terhadap undang-undang terkait (UU Keuangan Negara, UU BUMN) untuk memberikan kepastian hukum yang tegas mengenai status kekayaan BUMN, sehingga doktrin Business Judgment Rule dapat diterapkan secara efektif untuk melindungi keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik.
2. Untuk Aparat Penegak Hukum (KPK, Kejaksaan, Polri):
Adopsi Prinsip Ultimum Remedium: Menerapkan pendekatan di mana proses pidana menjadi upaya terakhir. Untuk kasus-kasus yang berada di wilayah abu-abu antara administrasi dan pidana, prioritaskan penyelesaian melalui mekanisme APIP dan/atau PTUN.
Peningkatan Kapasitas Penyidik: Mengadakan pelatihan khusus bagi penyidik mengenai konteks kebijakan publik, administrasi pemerintahan, dan manajemen risiko bisnis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan membedakan antara kegagalan kebijakan/bisnis yang wajar dengan kejahatan korupsi yang mengandung niat jahat.
3. Untuk Pemerintah (Eksekutif):
Perkuat APIP secara Fundamental: Melakukan reformasi struktural untuk menjamin independensi APIP, didukung dengan peningkatan anggaran dan pengembangan kapasitas SDM secara masif dan berkelanjutan.
Dorong Budaya Manajemen Risiko: Mengembangkan budaya kerja di birokrasi yang tidak anti-risiko, melainkan mampu mengelola risiko (risk-based management). Ini harus diimbangi dengan penerbitan peraturan pelaksana yang memberikan jaminan perlindungan hukum yang lebih jelas terhadap penggunaan diskresi kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Implementasi VfM secara Substansial: Mendorong implementasi prinsip Value for Money tidak hanya sebagai jargon dalam peraturan pengadaan, tetapi sebagai filosofi inti yang tercermin dalam setiap tahapan proses, mulai dari perencanaan, pemilihan, hingga pelaksanaan kontrak.
Karya yang dikutip
(PDF) Private Sector Bribery as a Corruption Crime for Legal Certainty in Indonesia, diakses September 12, 2025, https://www.researchgate.net/publication/377648206_Private_Sector_Bribery_as_a_Corruption_Crime_for_Legal_Certainty_in_Indonesia
IMPLEMENTATION OF UNITED NATION CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) FOR INDONESIA - International Journal of Business, Economics and Law, diakses September 12, 2025, https://ijbel.com/wp-content/uploads/2019/05/KLIBEL-18_14.pdf
LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM MENGENAI PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI, diakses September 12, 2025, https://bphn.go.id/data/documents/laporan_ae_tipikor_november_2023_-_master.pdf
DETERMINAN PENGHAMBAT PENYERAPAN ANGGARAN: STUDI EMPIRIS PADA PROVINSI RIAU, diakses September 12, 2025, https://jmp.kemenkeu.go.id/index.php/mapan/article/download/509/191/5273
ANALISIS RENDAHNYA PENYERAPAN ANGGARAN KEMENTERIAN/LEMBAGA (K/L) DAN PEMERINTAH DAERAH Riska Agi Sawitri1 Program Studi S1 Akunt - Journal Of Aisyah University, diakses September 12, 2025, https://journal.aisyahuniversity.ac.id/index.php/JAA/article/download/RENDAHNYA/572/2677
About the UNCAC, diakses September 12, 2025, https://uncaccoalition.org/the-uncac/about-the-uncac/
Pembaharuan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi Tahun 2003 Abdul Manan Universitas Muhammad, diakses September 12, 2025, https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/MLJ/article/view/774/518
Implementation of UNCAC chapter III: Criminalization and law enforcement by IPEF partners - United Nations Office on Drugs and Crime, diakses September 12, 2025, https://www.unodc.org/roseap/uploads/documents/Publications/2025/IPEF_Paper_Implementation_of_UNCAC_Chapter_III._Criminalization_and_law_enforcement.pdf
Full article: Preventing bribery in the private sector through legal reform based on Pancasila, diakses September 12, 2025, https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/23311886.2022.2138906
the cause of inhibition policy formulation of trading in influence as corruption in indonesia, diakses September 12, 2025, https://journal.untar.ac.id/index.php/ijassh/article/view/27970/16725
Pasca UU BUMN Terbaru, Korupsi di Perusahaan Pelat Merah Akan Semakin Menjamur!, diakses September 12, 2025, https://antikorupsi.org/id/pasca-uu-bumn-terbaru-korupsi-di-perusahaan-pelat-merah-akan-semakin-menjamur
PEMAHAMAN UNSUR MEMPERKAYA, DAN ATAU MENGUNTUNGKAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI - Pengadilan Negeri Kayuagung, diakses September 12, 2025, https://pn-kayuagung.go.id/images/pnkag/Dokumen/PEMAHAMANUNSURMEMPERKAYA.pdf
Studi atas Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik ... - ICW, diakses September 12, 2025, https://www.antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/ICW_Unsur%2520Merugikan%2520Keuangan%2520Negara%2520dalam%2520Tipikor-Emerson.pdf
1 keuangan negara dan kerugian negara dalam perspektif hukum, diakses September 12, 2025, https://kepri.bpk.go.id/wp-content/uploads/2019/08/TLHK-1-Keuangan-Negara-dan-Kerugian-Negara-dalam-Perspektif-Hukum.pdf
AKIBAT HUKUM TERHADAP PUTUSAN MK NOMOR: 25/PUU-XIV/2016 DALAM PEMBUKTIAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TINDAK PIDANA KORUPSI ( - JDIH, diakses September 12, 2025, https://jdih.unnes.ac.id/web/download/9da0256a-05d0-44c1-957d-04bbf78af71e
PUTUSAN Nomor 25/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN ... - KBI, diakses September 12, 2025, https://www.ptkbi.com/cfind/source/files/pulb_mk_25puuxiv2016_2016.pdf
undang tindak pidana korupsi sebagai delik materil - E-Journal UNSRAT, diakses September 12, 2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/download/28557/27906/58834
Mahkamah Agu Mahkamah Agung Republik Indo Mahkamah Agung Republik Indonesia hkamah Agung Republik Indonesia epublik Indonesia - Direktori Putusan, diakses September 12, 2025, https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/6d00ba3f5d38d34f67f4ca783acdc92c/pdf/zaebf7296a89ef0e9f0f303934343431
517 PENERAPAN UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Arif Setiawan , Umar Ma'ruf Mahasiswa Ma - Unissula, diakses September 12, 2025, https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/download/1882/1426
PUTUSAN MK: - BPK RI, diakses September 12, 2025, https://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/_edisi_01___vol__vii_januari_2017_1519096998.pdf
Kasus Mobil Listrik Bentuk Kriminalisasi Kebijakan - Rmol.id, diakses September 12, 2025, https://rmol.id/politik/read/2017/03/02/282251/kasus-mobil-listrik-bentuk-kriminalisasi-kebijakan
Kasus Karen Agustiawan: Kriminalisasi Bisnis BUMN? - Aktual.com, diakses September 12, 2025, https://aktual.com/kasus-karen-agustiawan-kriminalisasi-bisnis-bumn/
konsep penerapan prinsip business judgement rule pada keputusan direksi badan usaha milik negara (bumn) - UI Scholars Hub, diakses September 12, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss1/32/
Analisis Yuridis Penerapan Business Judgement Rules dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Direksi BUMN PT. Asabri Persero (Studi Putusan Nomor 13/Pid.Sus-Tpk/2022/PT.DKI) | Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik - Dinasti Review, diakses September 12, 2025, https://dinastirev.org/JIHHP/article/view/1888
PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE TERHADAP KEPUTUSAN DIREKSI BUMN PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI - Repository | Universitas Hasanuddin, diakses September 12, 2025, http://repository.unhas.ac.id/3660/2/B012182042_tesis%20I%20%26%20II.pdf
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana BUMN Atas Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Di - Brawijaya Knowledge Garden, diakses September 12, 2025, https://repository.ub.ac.id/185000/1/Rizki%20Wijayanti_unlocked%20%281%29.pdf
KORUPSI DI SEKTOR SWASTA DAN TANGGUNG JAWAB PIDANA KORPORASI1 - E-Journal UNDIP, diakses September 12, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/32726/18131
Analisis Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (Studi pada Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Makassar) - ETD UGM, diakses September 12, 2025, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/163508
Portal Data APBN: Home, diakses September 12, 2025, https://data-apbn.kemenkeu.go.id/
Filter data APBD - Portal Data SIKD, diakses September 12, 2025, https://djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/apbd
Value for Money (VfM) - KPBU - Kementerian Keuangan, diakses September 12, 2025, https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/21-18/pjpk/persyaratan-proyek/value-for-money-vfm
lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah - JDIH LKPP, diakses September 12, 2025, https://jdih.lkpp.go.id/admin/uploads/documents/Keputusan%20Deputi%20IV%20Nomor%204%20Tahun%202025_2761_1.pdf
LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH SURAT EDARAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH - JDIH LKPP, diakses September 12, 2025, https://jdih.lkpp.go.id/regulation/download/surat-edaran-kepala-lkpp-nomor-1-tahun-2024/1
Mitigasi Risiko PBJ - e-arsip bontang, diakses September 12, 2025, https://e-arsip.bontangkota.go.id/images/Mitigasi%20Risiko%20PBJ.pdf
Identifikasi Risiko dalam Aktivitas Pengadaan Barang di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, diakses September 12, 2025, https://journal.iapi-indonesia.org/index.php/jpi/article/download/6/7
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peran strategis Aparat Pemeriksa Internal Pemerintah (APIP) dalam mewujudkan sal, diakses September 12, 2025, http://scholar.unand.ac.id/30074/7/2.%20BAB%20I%20-%20Pendahuluan.pdf
Peran APIP dalam Upaya Pencegahan Korupsi di Tingkat Daerah ..., diakses September 12, 2025, https://inspektorat.slemankab.go.id/peran-apip-dalam-upaya-pencegahan-korupsi-di-tingkat-daerah/
weweNANG APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH (APIP) DALAM PENCEGAHAN KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN - BPK Perwakilan Provinsi Jawa Timur, diakses September 12, 2025, https://jatim.bpk.go.id/wp-content/uploads/2023/06/TH-Penguatan-Sistem-Anti-KorupsI_Ika-Done-Fix.pdf
Optimalisasi Peran APIP Daerah sebagai Upaya Preventif dalam Tindak Pidana Korupsi, diakses September 12, 2025, https://news.unair.ac.id/2020/07/28/optimalisasi-peran-apip-daerah-sebagai-upaya-preventif-dalam-tindak-pidana-korupsi/
Cegah Korupsi di Daerah, APIP akan Diperkuat dari Tiga Pilar, diakses September 12, 2025, https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/cegah-korupsi-di-daerah-apip-akan-diperkuat-dari-tiga-pilar
Ombudsman RI Sampaikan Pentingnya Penguatan APIP, diakses September 12, 2025, https://ombudsman.go.id/news/r/ombudsman-ri-sampaikan-pentingnya-penguatan-apip
SALINAN PERATURAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2021 TENTANG PENILAIAN KAPABILITAS, diakses September 12, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Download/298284/Peraturan%20BPKP%20Nomor%208%20Tahun%202021.pdf
(PDF) Penguatan peran APIP dalam pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi BPK untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan pemerintah - ResearchGate, diakses September 12, 2025, https://www.researchgate.net/publication/393534617_Penguatan_peran_APIP_dalam_pelaksanaan_tindak_lanjut_rekomendasi_BPK_untuk_mewujudkan_akuntabilitas_keuangan_pemerintah
Kewenangan Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Terhadap Putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat - eJournal UNIB, diakses September 12, 2025, https://ejournal.unib.ac.id/ubelaj/article/download/10351/6591/33619
MALADMINISTRASI DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PELAYANAN PUBLIK, diakses September 12, 2025, https://ojs.unitas-pdg.ac.id/index.php/normatif/article/download/898/623
PENYELESAIAN SENGKETA DI OMBUDSMAN DAN DI PENGADILAN MENGENAI GANTI KERUGIAN DALAM PELAYANAN PUBLIK DISPUTE SETTLEMENT IN THE OM - Jurnal Hukum Peratun, diakses September 12, 2025, http://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/article/download/142/26/210
TANGGUNG JAWAB GANTI RUGI TERHADAP TINDAKAN MALADMINISTRASI YANG DILAKUKAN OLEH PENYELENGGARA NEGARA Grace Sharon Fakultas Hukum, diakses September 12, 2025, https://ejournal.hukumunkris.id/index.php/binamulia/article/download/353/95/594
urgensi pembentukan undang-undang perampasan aset hasil tindak pidana di indonesia the urgency of assets recovery act in indonesia, diakses September 12, 2025, https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/244/185
E-Book-UNCAC-Gap-Analysis.pdf - KPK, diakses September 12, 2025, https://cms.kpk.go.id/storage/7847/E-Book-UNCAC-Gap-Analysis.pdf
(PDF) Kajian Akademik: Menggagas Perubahan RUU Tipikor - ResearchGate, diakses September 12, 2025, https://www.researchgate.net/publication/365730477_Kajian_Akademik_Menggagas_Perubahan_RUU_Tipikor
RUU TINDAK PIDANA KORUPSI - ICW, diakses September 12, 2025, https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/NA_dan_RUU_Tipikor.pdf
Tolak Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - ICW, diakses September 12, 2025, https://antikorupsi.org/index.php/id/article/tolak-revisi-uu-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar