Menimbang Negosiasi & Mini-Kompetisi secara Berimbang Pada Katalog Elektronik LKPP
Negosiasi di Pasar Terbuka: Kurasi Mitra, Jaga Integritas—Panduan Membaca E-Purchasing Tanpa Kacamata Tender
Metodologi, Norma, dan Jawaban Per-Butir—dengan Perbandingan Tender vs E-Purchasing
Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.
Ringkasan Eksekutif
Aduan LSM menilai pilihan negosiasi pada e-Catalog sebagai tindakan non-kompetitif. Penilaian ini berangkat dari kacamata tender (pasar tertutup) untuk menilai e-purchasing (pasar terbuka). Dalam rezim katalog, negosiasi maupun mini-kompetisi adalah instrumen sah yang berada dalam diskresi PPK untuk mencapai value for money. Tambahan kunci yang kerap luput: negosiasi bukan sekadar membandingkan listing, melainkan proses seleksi dua arah—PPK mengkurasi mitra dan penyedia mengkurasi pelanggan—melalui serangkaian gate integritas, kapabilitas, kesesuaian teknis, layanan, dan risiko. Dengan disiplin bukti (pembanding memadai, berita acara negosiasi, dan audit trail), tuduhan “tanpa kompetisi” tidak berdasar.
Telaah ini disusun untuk menjernihkan perbedaan konseptual antara tender (pasar tertutup) dan e-purchasing (pasar terbuka). Dalam katalog elektronik, negosiasi bukan sekadar tawar-menawar harga, melainkan strategi seleksi dua arah: pemerintah mengkurasi mitra yang paling sesuai dengan kebutuhan, sementara penyedia mengkurasi pelanggan yang kredibel. Fokusnya pada kecocokan fungsional, kapasitas nyata, rekam layanan, dan integritas, bukan pada sekadar label “termurah”.
Kami mengajak masyarakat sipil menilai e-purchasing melalui disiplin bukti yang dapat diaudit: pembanding yang memadai, Berita Acara Negosiasi (harga tayang → hasil), jejak digital (log tayang/ubah, riwayat keranjang, stempel waktu), serta ukuran manfaat yang lebih jujur seperti Total Cost of Ownership (TCO) dan indeks Price–Quality–Performance (PQPI). Dengan alat ukur ini, keputusan yang tampak “cepat” justru bisa terbukti rasional dan efisien, sementara dugaan yang hanya bertumpu pada persepsi waktu tayang mudah tersisih oleh data.
Perlu juga dipahami bahwa pembaruan etalase oleh pelaku usaha adalah gejala normal pasar terbuka—respons alamiah terhadap permintaan dan dinamika stok. Situasi “produk baru tayang lalu dibeli” tidak otomatis menandakan persekongkolan; yang relevan adalah mutu proses seleksi dan negosiasi: ada gate integritas, ada uji kapabilitas, ada konsistensi spesifikasi, dan seluruhnya terdokumentasi.
Telaah ini membandingkan praktik negosiasi/mini-kompetisi di katalog dengan tender secara setara, agar pengawasan LSM lebih tajam dan adil. Tujuannya bukan membungkam kritik, melainkan menaikkan standar kritik: dari kecurigaan berbasis asumsi, menuju penilaian berbasis bukti. Dengan cara ini, kita bersama-sama menjaga agar uang publik dibelanjakan dengan integritas, efisiensi, dan kinerja layanan yang terukur—bukan sekadar angka murah di faktur yang mahal di operasi.
Pokok Persoalan dalam Lapdu (diringkas)
LSM menggugat legalitas pemilihan penyedia untuk paket Pembangunan Gedung Polrestabes Bandung melalui e-Catalog—Negosiasi (April–Mei 2025), mempertanyakan: (i) dasar pemilihan negosiasi alih-alih mini-kompetisi; (ii) alasan menunjuk penyedia tertentu; (iii) korelasi waktu tayang produk dengan tanggal penunjukan; (iv) potensi kebocoran HPS; (v) dugaan modifikasi etalase;
Doktrin Pasar & Perbandingan Konseptual
A. Prinsip E-Purchasing (Pasar Terbuka)
Arena persaingan: etalase multi-penyedia (kompetisi ex-ante), harga tayang hanyalah batas atas untuk dinegosiasikan.
Peran aktor: PPK sebagai “pembeli profesional” memegang kendali; UKPBJ berperan advisory.
Bukti akuntabilitas: pembanding memadai antar-listing, notula negosiasi, dan jejak digital (log aktivitas, stempel waktu).
Narasi kunci: negosiasi = seleksi dua arah. PPK memastikan “mitra tepat”; penyedia menilai “pelanggan kredibel”.
B. Prinsip Tender (Pasar Tertutup)
Arena persaingan: evaluasi dokumen pada satu panggung (kompetisi ex-post).
Peran aktor: Pokja dominan dalam evaluasi; PPK menyetujui hasil.
Bukti akuntabilitas: kesesuaian administrasi/teknis/biaya terhadap HPS dan dokumen pemilihan.
Analogi kerja: E-catalog ibarat masuk ke toko yang paling relevan; kita menilai kesesuaian, mengecek layanan, lalu menawar. Jika cocok—transaksi; bila tidak—pindah toko. Tender ibarat lelang di satu panggung: semua peserta mengajukan amplop, panitia menilai, pemenang diumumkan.
Kerangka Normatif & Rasional Metode
E-purchasing làzim dan sah ketika komoditas tersedia di katalog.
HPS tidak menjadi prasyarat dalam e-purchasing; kewajaran harga dibuktikan melalui pembanding lintas listing + hasil negosiasi + (bila relevan) TCO.
Negosiasi vs mini-kompetisi: keduanya alat pencapai value for money. Negosiasi unggul saat kebutuhan menuntut integrasi multi-item, penguncian SLA/garansi, konsolidasi PDN/UMK, dan penjadwalan ketat; mini-kompetisi tepat saat substitusi tinggi dan integrasi rendah.
Auditabilitas: e-Catalog v6 mencatat log tayang/ubah, percakapan/offer, riwayat keranjang, SP/SPK—memberi jejak objektif untuk menjawab tuduhan.
Jawaban Terarah atas Pertanyaan LSM (A–E)
A. Mengapa PPK memilih Negosiasi (bukan Mini-Kompetisi)?
Karena negosiasi adalah strategi kurasi mitra dan kurasi pelanggan sekaligus. PPK menyaring penyedia melalui gate integritas (COI & kepatuhan), kapabilitas (sisa kemampuan paket, SDM, peralatan, jaringan purna jual), kecocokan teknis (spesifikasi fungsional & pengalaman sejenis), dan layanan (SLA on-site, garansi, hot-spare). Penyedia pun menilai kredibilitas PPK (kejelasan kebutuhan, kepatuhan prosedur, payment terms).
Bukti yang disajikan: checklist seleksi dua arah, berita acara negosiasi (harga tayang → hasil), dan justifikasi jika pemenang bukan yang termurah (TCO/PQPI).
B. Mengapa menunjuk penyedia X?
Karena kesesuaian terbaik terhadap kebutuhan—bukan karena harga semata. Parameter: kesepadanan spesifikasi dengan Program Mutu/RMPK, rekam jejak pekerjaan sejenis, kapasitas workforce/tooling, SLA dan ketersediaan suku cadang, komitmen PDN/TKDN, serta TCO (biaya seumur hidup). Tampilkan matriks pembobotan (misal: Harga 50%—Kualitas 30%—Kinerja/SLA 20%) untuk menunjukkan rasionalitas pilihan.
C–D. Kapan produk tayang? Kapan penunjukan? Mengapa ada jeda?
Jeda tayang → pembelian bukan indikator kolusi di pasar terbuka. Update listing adalah respons normal terhadap permintaan–penawaran. Ukuran akuntabilitas bukan cepat-lambatnya tayang, melainkan kualitas proses: pembanding memadai, negosiasi terdokumentasi, konsistensi spesifikasi, dan timeline bertanggal (usulan → verifikasi → negosiasi → SP/SPK → BAST).
Siapkan export log: tanggal tayang/ubah, riwayat cart, stempel waktu negosiasi, dan penerbitan SP/SPK.
E. Apakah Perencana/UKPBJ/Beneficiary dilibatkan?
Ya, dengan touchpoints jelas: Perencana menetapkan design intent/spesifikasi fungsional; UKPBJ menjadi penasihat kepatuhan; beneficiary memvalidasi fit for use. Semua sign-off didokumentasikan (Program Mutu untuk konsultansi, RMPK untuk konstruksi).
Klarifikasi Isu Tuduhan (berbasis data)
“Subjektif dan tidak kompetitif.”
Di katalog, kompetisi terjadi ex-ante pada etalase dan diperdalam melalui negosiasi/mini-kompetisi. Subjektivitas dibatasi oleh gate seleksi (integritas, kapabilitas, teknis, layanan) dan audit trail yang dapat diuji.“Kebocoran HPS.”
Dalam e-purchasing, HPS dikecualikan sampai dengan transaksi Rp100 juta dan diatasnya HPS digunakan lebih berfungsi sebagai acuan negosiasi dan/atau klarifikasi untuk menentukan tepat penyedia; harga tayang berfungsi sebagai plafon untuk ditawar. Fokusnya adalah kewajaran hasil (pembanding, negosiasi, TCO), bukan keberadaan HPS.“Modifikasi etalase untuk memenangkan penyedia.”
Uji dengan forensik log: siapa mengubah apa, kapan, dari akun mana, dan apakah perubahan itu material terhadap hasil. Sistem v6 menyediakan jejak digital yang memungkinkan verifikasi objektif.“Baru tayang lalu dibeli—patut dicurigai.”
Normalitas pasar: penyedia memperbarui etalase mengikuti sinyal permintaan; pembeli profesional segera bertransaksi ketika cocok. Yang diuji adalah proses seleksi & negosiasi, bukan jarak waktu tayang.
Doktrin Pasar: Tender Tertutup vs E-Purchasing Pasar Terbuka
Inti perbedaan bukan semata “metode”, melainkan arena dan momen persaingan.
Analogi konkret.
Katalog bak pusat perbelanjaan besar: pembeli profesional membandingkan produk nyata, stok, layanan, dan boleh menawar.
Tender bak lelang satu panggung: peserta mengirim amplop; tirai baru dibuka saat evaluasi.
Meluruskan Peta E-Purchasing ≠ Tender
Berikut penjelasan yang “meluruskan peta”—menegaskan bahwa e-purchasing ≠ tender, dan bahkan mini-kompetisi di dalam ekosistem e-purchasing pun memiliki proses bisnis yang berbeda dari tender.
1) E-purchasing itu bukan tender—beda forum, beda logika
Secara norma, e-purchasing didefinisikan sebagai tata cara pembelian melalui sistem Katalog Elektronik; sedangkan tender adalah metode pemilihan untuk mendapatkan penyedia. Artinya, e-purchasing beroperasi di pasar terbuka/etalase (produk sudah tayang dengan spesifikasi, harga, dan identitas penyedia), sedangkan tender berlangsung di panggung evaluasi dokumen (penawaran disusun dan dinilai oleh Pokja). Dua arena ini tidak identik—dan tidak seharusnya dinilai dengan ukuran yang sama.
2) Prioritas kebijakan: ketika produk sudah ada di katalog, jalurnya e-purchasing
Peraturan Presiden menempatkan e-purchasing sebagai jalan yang harus ditempuh ketika barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya sudah tercantum dalam katalog. Secara eksplisit juga ditegaskan kewajiban e-purchasing untuk kebutuhan nasional/strategis (ketetapan menteri/kepala lembaga/kepala daerah). Implikasinya sederhana: selama tersedia di katalog, rute bakunya e-purchasing; tender digunakan ketika prasyarat metode lain tidak terpenuhi. Ini yang sering disalahpahami sebagai “e-purchasing adalah pilihan pertama, tender adalah opsi terakhir.”
3) Di dalam e-purchasing, PPK/PP memang boleh memilih metode yang sesuai kebutuhannya
Lampiran III Kepka LKPP 177/2024 menyatakan tegas: PPK/PP dapat menggunakan berbagai macam metode e-purchasing katalog sesuai kebutuhan. Norma ini mengakui variasi karakter kebutuhan—ada yang lebih efisien lewat Negosiasi Harga, ada yang lebih tepat lewat Mini-Kompetisi (atau Competitive Catalogue untuk domain spesifik). Ini bukan “diskresi tanpa pagar,” karena seluruh langkah tercatat digital (log, stempel waktu) dan dapat diaudit.
4) Mini-kompetisi vs tender: sama-sama “kompetisi”, tetapi objek dan tata mainnya berbeda
Mini-kompetisi di katalog mengadu produk yang sama/sejenis yang sudah tayang pada etalase (spesifikasi dan atribut teknis telah distandardisasi ex-ante pada listing). Karena aspek teknis telah terkunci di listing, fokus kompetisinya bergeser ke harga (dan syarat/biaya terkait yang memang diatur di sistem). Berbeda dengan tender, di mana peserta menyusun dan mengunggah dokumen teknis-administratif untuk dievaluasi oleh Pokja. Mini-kompetisi itu kompetisi harga atas produk yang sudah setara, bukan ajang “makalah teknis baru”. (bantuan.inaproc.id, Kemenkeu)
Terjemahan praktis untuk LSM: mini-kompetisi adalah “adu harga antar listing yang setara”, sedangkan tender adalah “adu dokumen teknis+harga dalam satu panggung evaluasi.”
5) Negosiasi Harga: memilih “toko” dan menawar—bukan menutup kompetisi
Masih di Lampiran III Kepka 177/2024: Negosiasi Harga dilakukan kepada Penyedia Katalog Elektronik yang dipilih—secara operasional ini berarti PPK/PP berhak memasuki satu “toko” terlebih dahulu (karena paling cocok dengan kebutuhan), menawar komponen yang boleh dinegosiasikan (harga satuan tayang, biaya kirim bila kurir penyedia, biaya-biaya terkait), dan pindah ke toko lain bila tidak tercapai titik temu. Ini persis perilaku pasar terbuka: seleksi dua arah antara pembeli profesional dan penyedia yang kredibel—dengan bukti proses sebagai jangkar akuntabilitas.
6) Mengapa persepsi “e-purchasing itu kurang kompetitif” keliru?
Karena kompetisi di e-purchasing berlangsung ex-ante pada etalase: banyak penyedia, spesifikasi/harga tayang, histori layanan. Pada mini-kompetisi, kompetisinya dipertajam di harga atas produk identik/sejenis; pada negosiasi, nilai diperoleh lewat price discovery plus penguncian layanan (SLA, garansi, cakupan purna jual) dalam berita acara—semuanya terekam. Ini bentuk kompetisi yang beda panggung, bukan nihil kompetisi.
Perbandingan ringkas (biar persepsinya seragam)
Sumber norma: definisi & prioritas metode di Perpres 16/2018 jo. 12/2021; pilihan metode & tata cara di Lampiran III Kepka 177/2024; definisi mini-kompetisi pada dokumentasi LKPP v6. (bantuan.inaproc.id)
Penutup yang tegas namun edukatif
E-purchasing bukan tender. Ia adalah mekanisme berbelanja di pasar terbuka; tender adalah pemilihan di panggung evaluasi.
Selama barang/jasa ada di katalog, jalurnya e-purchasing; tender menjadi opsi belakang ketika opsi katalog tidak relevan. Untuk kebutuhan nasional/strategis, e-purchasing bahkan wajib.
Di e-purchasing, PPK/PP bebas memilih metode yang paling pas (mini-kompetisi atau negosiasi) sesuai kebutuhan—dan semua langkahnya tercatat digital, bisa diaudit.
Mini-kompetisi berarti adu harga atas produk setara; negosiasi berarti memilih “toko” yang paling cocok lalu menawar—bila tidak tercapai kesepakatan, pindah toko adalah prosedur normal, bukan indikasi kolusi. (bantuan.inaproc.id)
Dengan bingkai seperti ini, kritik tetap sah—tetapi ukurannya harus presisi: bukan “apakah cepat/baru tayang,” melainkan apakah prosesnya taat norma, jejak digitalnya bersih, dan hasilnya memberi nilai terbaik sepanjang siklus hidup (TCO).
Pernyataan Publik (versi ringkas, siap dibacakan)
Negosiasi di e-Catalog bukan sekadar tawar-menawar harga, melainkan strategi seleksi dua arah. Kami menilai integritas, kapabilitas, kesesuaian teknis, layanan, dan risiko; penyedia pun menilai kredibilitas kami. Jika deal, transaksi terjadi; jika tidak, kami pindah ke penyedia lain. Seluruh proses tercatat digital, dibuktikan pembanding dan berita acara negosiasi. Dengan disiplin bukti ini, belanja publik mengejar biaya seumur hidup terendah—bukan sekadar label “termurah”.
Berikut penafsiran argumentatif—berbasis norma resmi—yang mudah dicerna namun tetap ketat secara regulatif.
Inti Norma Lampiran III Kepka LKPP 177/2024
E-purchasing Katalog adalah pembelian melalui sistem Katalog Elektronik (bukan tender), dengan peran PPK/PP yang jelas menurut nilai paket. Di sini persaingan terjadi “ex-ante” pada etalase, dan keseluruhan proses terekam digital.
Harga tayang bukan harga final. Ia adalah batas atas (plafon) yang kemudian boleh dinegosiasikan, kecuali kategori tertentu ditetapkan fix price.
Metode E-purchasing Katalog itu jamak, meliputi: Negosiasi Harga, Mini-Kompetisi, dan Competitive Catalogue; PPK/PP dapat menggunakan berbagai macam metode sesuai kebutuhan. Implementasi metoda selain Negosiasi menunggu kesiapan aplikasi/panduan teknis, namun diskresi memilih metode sudah ditegaskan di Lampiran III.
Fokus “Negosiasi Harga”: Makna “penyedia yang dipilih”
Norma eksplisitnya: Negosiasi Harga dilakukan dengan melakukan negosiasi kepada Penyedia Katalog Elektronik yang dipilih atas komponen harga satuan tayang, biaya pengiriman (bila menggunakan kurir penyedia), dan biaya-biaya lain yang ditawarkan; hasilnya menjadi harga final transaksi PPK/PP–Penyedia. Dua hal penting di sini:
Frasa “yang dipilih” berarti PPK/PP memang berwenang “memasuki” toko/penyedia tertentu terlebih dahulu untuk menilai kecocokan lalu bernegosiasi. Jika tak tercapai kesepakatan, PPK/PP boleh beralih menegosiasikan ke penyedia lain. Ini persis perilaku pasar terbuka: masuk satu kios, tawar, bila tidak match pindah kios sebelah—bukan perbuatan curang; justru mekanisme seleksi mitra yang sehat dan terdokumentasi.
Ruang negosiasi jelas: harga satuan tayang (plafon), biaya kirim kurir penyedia, dan biaya lain; untuk jasa pengiriman pihak ketiga yang terintegrasi, biaya kirim tidak dinegosiasikan (sudah fixed di sistem). Negosiasi tidak boleh melampaui harga tayang.
Penafsiran “Sesuai Kebutuhan”: Mengapa metode boleh berbeda?
Lampiran III menyatakan tegas: PPK/PP dapat menggunakan berbagai macam metode E-purchasing Katalog sesuai kebutuhan. Artinya, metode adalah instrumen, bukan tujuan.
Negosiasi Harga masuk akal saat instansi butuh kurasi mitra (cek integritas, kapasitas, SLA, garansi, kesiapan suku cadang) dan penguncian layanan pada paket multi-item, atau saat kecepatan dan integrasi layanan penting.
Mini-Kompetisi relevan ketika ada ≥2 penyedia dengan produk sama/sejenis dan instansi ingin memperdalam price discovery sekaligus menjaga daya saing langsung pada momen pemilihan.
Competitive Catalogue dipakai untuk lingkup konstruksi tertentu yang memang diatur sebagai kompetisi di dalam sistem katalog.
Intinya, kebutuhan proyeklah yang “memilih” metode, sementara PPK/PP menjalankan diskresi ini dalam koridor bukti dan jejak digital.
Edukasi untuk LSM: Mengapa “baru tayang lalu dibeli” itu wajar?
Dalam pasar terbuka, penyedia rutin memperbarui etalase (stok, paket layanan, harga) mengikuti sinyal permintaan. Kecepatan serap terjadi saat barang/layanan yang pas dengan kebutuhan muncul—itu gejala normal pasar, bukan indikator kolusi. Yang diuji adalah mutu prosesnya: ada pembanding memadai, berita acara negosiasi, dan audit trail yang mencatat waktu penayangan, riwayat cart, tawar-menawar, hingga SP/SPK. Jika tiang buktinya lengkap, persepsi negatif soal timing runtuh di hadapan data.
Ringkas Perbandingan: Tender vs E-purchasing (agar tidak tercampur)
Tender = satu panggung, persaingan ex-post lewat dokumen penawaran; Pokja dominan dalam evaluasi.
E-purchasing Katalog = pasar terbuka, persaingan ex-ante di etalase; PPK/PP berbelanja profesional dengan pilihan metode (Negosiasi/Mini-Kompetisi/Competitive), dan harga tayang dapat dinegosiasi dalam koridor yang diatur. Frasa “yang dipilih” mencerminkan hak PPK/PP menentukan mitra negosiasi terlebih dulu—lalu boleh pindah bila tidak tercapai kesepakatan, semua tercatat.
Kutipan norma kunci (diparafrasekan) & rujukan
Harga tayang bukan final; dapat dinegosiasikan (kecuali fix price).
Metode yang tersedia: Negosiasi Harga; Mini-Kompetisi; Competitive Catalogue. PPK/PP dapat menggunakan berbagai macam metode sesuai kebutuhan.
Definisi operasional Negosiasi Harga: negosiasi kepada Penyedia yang dipilih atas harga satuan tayang, biaya kirim (kurir penyedia), dan biaya lain; hasilnya adalah harga final. Tidak boleh melebihi harga tayang. Bila gagal, boleh negosiasi ke penyedia lain.
Kesimpulan praktis: Lampiran III Kepka LKPP 177/2024 memberi mandat jelas kepada PPK/PP untuk memilih metode E-purchasing sesuai kebutuhan dan menegaskan bahwa Negosiasi Harga adalah kurasi mitra di pasar terbuka—datang ke toko yang tepat, tawar dengan aturan main, dan pindah toko bila tidak cocok—dengan seluruh proses terbukti oleh log sistem dan berita acara, bukan oleh prasangka.
Penilaian Profesional (Opini Ahli)
Salah-kaprah pokok LSM adalah memaksakan logika tender ke e-purchasing. Dalam katalog, negosiasi adalah seni memilih mitra profesional—dan sekaligus seni menjadi pelanggan yang kredibel—dengan pagar integritas dan bukti yang dapat diaudit. Di sini kompetisi tidak lenyap; ia berubah bentuk: dari adu dokumen tertutup menjadi kurasi terbuka yang terekam digital. Bila proof pack tersusun rapi, tuduhan “dikondisikan” berhenti pada data.
Mengawal Uang Rakyat dengan Cerdas
Panduan Konstruktif bagi LSM untuk Mengawasi E-Purchasing yang Berorientasi Hasil
Pengantar
Mandat utama pengadaan pemerintah sederhana namun tegas: setiap rupiah harus berwujud barang/jasa yang tepat dilihat dari enam-tepat (6T): tepat kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia. Metode hanyalah alat—entah itu e-purchasing (negosiasi atau mini-kompetisi) maupun tender—sedangkan ukuran keberhasilan ada pada hasil nyata yang dirasakan masyarakat. Agar kontrol sosial LSM semakin berdampak, fokuskan energi pada integritas pelaku usaha dan kinerja layanan alih-alih terjebak pada isu teknis yang menyesatkan arah.
Prinsip Penyamaan Persepsi
Tujuan didahulukan, metode mengikuti. Ukur keberhasilan dengan 6T, bukan dengan preferensi prosedur.
E-purchasing berbeda dari tender. E-purchasing bekerja di etalase pasar terbuka; tender berlangsung di panggung evaluasi dokumen. Keduanya sah, dengan tata main yang berbeda.
Kontrol yang mencerahkan. Kritik yang bergizi adalah kritik yang membantu pemerintah mencapai 6T—bukan sekadar memperbanyak kecurigaan.
Area Pengawasan yang Paling Bermanfaat untuk Publik
A. Integritas Pelaku Usaha
Tanyakan kepemilikan dan pengelolaan usaha yang jelas.
Dorong penerapan etika usaha: anti-suap, anti-perantara, dan kepatuhan perizinan.
Minta komitmen tertulis atas perilaku bisnis yang bersih.
B. Eksistensi Usaha yang Nyata (anti-broker)
Pastikan pelaku usaha benar-benar ada: alamat, sarana kerja, dan kemampuan layanan.
Mintakan bukti dukungan pabrikan/agen resmi untuk kategori yang memerlukan.
C. Kinerja Layanan Pascakontrak
Soroti ketepatan pengiriman/instalasi, kecepatan bantuan di lapangan, dan penyelesaian garansi.
Ajak unit pengguna memberi umpan balik singkat yang terstruktur.
D. Nilai yang Bertahan (Bukan Sekadar Murah)
Tekankan makna “hemat yang benar”: barang berfungsi stabil, perawatan mudah, layanan responsif.
Pilihan yang sedikit lebih mahal bisa lebih efisien jika kualitas dan layanan mengurangi gangguan operasional.
E. Komitmen Keberpihakan Domestik & UMK
Dorong realisasi kandungan dalam negeri dan peran UMK ketika relevan dan mampu memenuhi 6T.
Pastikan keberpihakan ini tidak mengorbankan mutu dan ketepatan layanan.
Permintaan Informasi yang Ramah & Solutif
Gunakan nada kolaboratif, ringkas, dan fokus hasil. Contoh formulasi:
“Mohon ringkasan tujuan paket, spesifikasi utama, jumlah barang/jasa, jadwal penyerahan, lokasi, serta penanggung jawab layanan.”
“Mohon disampaikan komitmen layanan: waktu respons di lokasi, masa garansi, dan saluran kontak dukungan.”
“Tolong perlihatkan bukti eksistensi usaha: alamat layanan, sarana/teknisi, dan dukungan pabrikan jika diperlukan.”
“Jika pemenang bukan yang termurah, mohon jelaskan alasan manfaatnya bagi pengguna (keandalan, layanan, kemudahan perawatan).”
Bahasa seperti ini membantu pemerintah menyajikan informasi yang bermakna tanpa menimbulkan suasana defensif.
Membaca Metode Tanpa Bias
Negosiasi (e-purchasing): pemerintah memilih toko/mitra yang paling sesuai kebutuhan, lalu menyepakati harga dan layanan. Jika tidak cocok, beralih ke penyedia lain—wajar dalam pasar terbuka.
Mini-kompetisi (e-purchasing): adu harga atas produk yang sudah setara di etalase.
Tender: adu dokumen teknis dan harga dalam satu panggung evaluasi.
Intinya, metode berbeda, tujuan sama: memenuhi 6T secara bertanggung jawab.
Nada Komunikasi Publik yang Membangun
“Kami mendukung belanja negara yang menghadirkan barang/jasa tepat kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia. Karena itu, kami memfokuskan pengawasan pada integritas pelaku usaha dan kinerja layanan agar manfaatnya nyata di lapangan. Kritik kami diarahkan untuk memperbaiki, bukan memperkeruh—sehingga ‘uang rakyat’ bekerja sesuai maksudnya.”
Penutup
LSM adalah rekan strategis dalam menjaga kepercayaan publik. Dengan menempatkan hasil untuk warga sebagai kompas, serta menekankan integritas, eksistensi usaha, dan mutu layanan, pengawasan menjadi lebih tajam dan adil. Itulah cara paling efektif mengawal uang rakyat dengan cerdas—mengarahkan perdebatan pada apa yang sampai ke tangan pengguna, bukan pada kebisingan yang mengaburkan tujuan.
Kewenangan Bekerja, Bukan Kultur “Minta Izin”: Ajakan untuk Kontrol Publik yang Dewasa
Inti Pesan
Dalam tata kelola PBJ, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memegang kewenangan melekat—hasil penetapan dan pendelegasian resmi—untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan kontrak. Artinya, selama bertindak di koridor regulasi dan kompetensi jabatan, PPK tidak wajib mencari “approval” tambahan di luar yang memang dipersyaratkan aturan. Otorisasi utamanya bersifat ex-ante (penetapan kewenangan/anggaran) dan akuntabilitasnya ex-post (pelaporan, pemeriksaan), bukan “mohon izin di setiap langkah”.
Posisi pengawasan publik yang paling sehat ialah menghormati mandat itu, sekaligus menajamkan kontrol terhadap hasil: memastikan “uang rakyat” benar-benar berubah menjadi barang/jasa tepat kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia (6T)—bukan mengecilkan kewenangan PPK dengan kecurigaan prosedural yang tidak relevan.
Argumen Kunci (Ringkas dan Tegas)
Kewenangan itu melekat pada jabatan, bukan tergantung “restu” ad-hoc.
PPK bekerja atas atribusi/delegasi/mandat yang jelas. Model ini mendorong tanggung jawab personal dan kecepatan eksekusi, agar layanan publik tidak tersandera budaya “minta izin”.Tolok ukur yang benar adalah hasil dan kepatuhan, bukan frekuensi “approval”.
Yang perlu ditanya: apakah 6T tercapai? Apakah kontrak dijalankan sesuai hak–kewajiban? Apakah pembayaran sepadan dengan barang/jasa yang diterima?Koridor pengawasan publik: fokus pada substansi, bukan prasangka.
Selama tidak ada bukti korupsi yang nyata, kontrol sosial sebaiknya diarahkan pada:Keaslian transaksi (bukan fiktif),
Kesesuaian peruntukan (barang/jasa dipakai sebagaimana tujuan),
Kinerja penyedia (ketepatan pengiriman, layanan purna jual, garansi),
Integritas pelaku usaha (bukan calo/makelar).
Analogi pasar sehari-hari: transaksi yang fair.
Dalam jual beli normal, pembeli berwenang memilih penjual dan menyepakati syarat; yang dinilai publik kemudian adalah apakah barangnya benar, harganya wajar, dan kewajibannya ditepati. Begitu pula PPK: pembeli profesional yang mandatnya jelas—dinilai dari hasil dan kepatuhan, bukan dari seberapa sering ia “minta persetujuan”.
Ajakan Konstruktif untuk LSM
Hormati mandat, tajamkan akuntabilitas. Jadikan kewenangan PPK sebagai titik tolak—bukan sasaran untuk dilemahkan.
Kalibrasi fokus pengawasan ke hal yang menyentuh warga: manfaat nyata, mutu layanan, dan ketepatan penggunaan anggaran.
Bangun bahasa kontrol yang mendorong perbaikan, misalnya:
“Kami ingin memastikan setiap rupiah melahirkan barang/jasa yang tepat (6T), serta transaksi riil, tidak fiktif, dan sesuai peruntukan. Di sinilah kami bermitra dengan pemerintah: menjaga integritas pelaku usaha, memantau kinerja, dan menyalakan alarm hanya ketika ada indikasi kuat penyimpangan.”
Penutup
Kewenangan PPK adalah mesin pelaksanaan—bukan celah penyalahgunaan. Ketika LSM menghormati mesin itu sembari mengawasi output dan integritasnya, maka kontrol publik naik kelas: tajam, adil, dan berorientasi hasil. Tujuan akhirnya sederhana sekaligus luhur: uang rakyat benar-benar kembali kepada rakyat dalam bentuk barang/jasa yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar