A. Ringkasan Pokok Sanggahan LSM Yang Sering Diadukan
1. E-purchasing diperlakukan sama dengan tender; ketiadaan tahapan tender dianggap “kurang kompetitif”.
2. Prinsip “bersaing” dianggap identik dengan tender; tanpa tender, dinilai melanggar asas persaingan.
3. Jeda waktu antara produk “tayang” di katalog dan saat dibeli dicurigai sebagai kolusi.
4. Mempertanyakan legalitas negosiasi harga dan mini-kompetisi di e-purchasing.
5. Menilai e-purchasing “kurang transparan”.
6. Kekhawatiran konflik kepentingan dan pembuktian kewajaran harga bila tanpa proses tender.
7. Menafsir dinamika/naik-turun harga dan “tak segera dibeli” sebagai anomali.
8. Menanyakan garis demarkasi peran Pokja Pemilihan vs PPK di e-purchasing.
B. Jawaban Argumentatif—Hukum & Kebijakan (dilengkapi rujukan, pasal/ayat)
1) E-purchasing ≠ Tender: dua metode sah, karakteristik berbeda
Tender memiliki tahapan kualifikasi, pengumuman/undangan, pengambilan dokumen, pemberian penjelasan, penyampaian dan evaluasi penawaran, penetapan pemenang, serta sanggah (untuk konstruksi ada sanggah banding). Ini eksplisit sebagai “proses seleksi formal”.
E-purchasing adalah tata cara pembelian pada Katalog Elektronik, dan wajib digunakan jika kebutuhan barang/jasa tersedia di katalog, kecuali dikecualikan berdasarkan penilaian PPK dengan alasan objektif (volume/spesifikasi/waktu/lokasi/layanan tidak terpenuhi atau lebih efisien/efektif pakai metode lain).
Analogi: Tender itu “sayembara berhadiah” dengan aturan main ketat. E-purchasing itu “belanja di pasar/marketplace resmi” yang buka 24/7: produk sudah tayang, fitur/layanan dan harga tercantum, dan pembeli (PPK/PP) memilih barang paling pas—bisa tawar (negosiasi) atau bikin mini-kompetisi di dalam marketplace.
2) Prinsip “bersaing” tidak identik “selalu tender”
Asas PBJ mencakup efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Asas “bersaing” tidak mengunci satu metode (tender), tetapi diwujudkan sesuai karakteristik metode—termasuk melalui pasar katalog multi-penyedia pada e-purchasing.
Kebijakan PBJ juga menuntut transparan, terbuka, dan kompetitif secara sistemik, bukan sekadar prosedural tender.
Analogi: “Bersaing” itu tujuan permainan; tender dan e-purchasing adalah dua jenis lapangan. Di tender, persaingan terjadi lewat dokumen penawaran; di e-purchasing, persaingan terjadi lewat etalase publik, substitusi lintas listing, dan penawaran nilai tambah yang bisa dibandingkan real-time.
3) “Jarak tayang-beli” bukan indikator kolusi
Indikator kolusi tender (mis. cover bidding, bid rotation) relevan pada skema dengan pemasukan penawaran dan evaluasi pemenang—yaitu tender. E-purchasing tidak memiliki tahapan tersebut; yang ada adalah keputusan beli pada etalase terbuka.
Jeda tayang-beli lazim dipengaruhi siklus anggaran, kesiapan spesifikasi, ketersediaan stok/logistik, kepatuhan TKDN/PDN, dan sinkronisasi e-Kontrak—semuanya proses administrasi normal.
Analogi: Barang di rak supermarket bisa “dipantau dulu” sebelum dibeli—menunggu gajian, menunggu promo, atau memastikan cocok. Jeda itu wajar, bukan tanda “main mata”.
4) Negosiasi harga & mini-kompetisi di e-purchasing: resmi dan diatur
Keputusan Kepala LKPP 177/2024 menegaskan:
a) Harga tayang adalah batas atas (ceiling)—bukan harga final—kecuali fix price tertentu yang ditetapkan berdasar dokumen kurasi.
b) Metode e-purchasing katalog yang diperbolehkan: Negosiasi Harga, Mini-Kompetisi, dan Competitive Catalogue.
c) Implementasi sistem saat ini memfasilitasi Negosiasi Harga; metode lain berjalan saat fitur dan panduan teknis tersedia.
Analogi: Harga di rak = price tag maksimal. Pembeli institusi boleh “minta diskon” terstruktur (Negosiasi) atau “banding cepat antar beberapa penjual” (Mini-Kompetisi).
5) Transparansi: apa saja yang terlihat publik?
Katalog Elektronik memuat daftar/jenis, spesifikasi, TKDN, PDN, SNI, harga, penyedia, dan informasi lain yang relevan—dikelola LKPP sebagai Pengelola Pusat Katalog. Ini membuka informasi kunci bagi pembanding antarpilihan.
Selain itu, dalam rezim PBJ, pengawasan internal wajib dilakukan sejak perencanaan hingga serah terima, melalui audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan/atau whistleblowing system.
Analogi: Katalog = rak kaca; pengawasan internal = CCTV + loket pengaduan. Kombinasi ini membuat jejak keputusan lebih mudah ditelusur.
6) Kewajaran harga tanpa tender: bagaimana pembuktiannya?
Kerangka pembuktian yang sehat meliputi:
– Perbandingan lintas listing yang setara (spesifikasi/garansi/layanan);
– Analisis biaya sepanjang umur ekonomis jika relevan (BSUE/TCO);
– Negosiasi yang terdokumentasi di aplikasi;
– Justifikasi pilihan (fit-for-purpose, TKDN/PDN, SLA).
Secara normatif, PPK bertugas menginput e-Kontrak dan mengendalikan kontrak serta menilai kinerja penyedia; untuk e-purchasing juga terdapat ambang peran nilai.
Analogi: Membeli laptop kantor: dibandingkan beberapa model setara, dihitung total biaya (termasuk perawatan), tawar harga, lalu dokumentasikan alasan pilihan.
7) Konflik kepentingan: pencegahan & deteksi
Etika PBJ melarang saling mempengaruhi yang berakibat persaingan usaha tidak sehat serta mewajibkan menghindari pertentangan kepentingan—ini asas perilaku semua pihak dalam pengadaan.
Selain etika, ada pengawasan internal sistematis (audit, pemantauan, WBS) untuk memastikan kepatuhan dan nilai manfaat.
Analogi: Panitia lomba masak tidak boleh punya “jagoan diam-diam”; CCTV dapur dan kotak pengaduan memastikan permainan bersih.
8) Peran Pokja Pemilihan vs PPK di e-purchasing
E-purchasing katalog dilaksanakan oleh PPK untuk nilai ≥ Rp200 juta dan oleh Pejabat Pengadaan (PP) untuk ≤ Rp200 juta (ketentuan khusus Papua mengikuti ambang berbeda). Ini menegaskan locus-nya di buyer function (PPK/PP), bukan proses seleksi tender oleh Pokja.
Pokja berperan dominan pada Tender/Seleksi; e-purchasing adalah “pembelian di katalog” yang secara desain berada di tangan PPK/PP. Struktur ini justru memudahkan akuntabilitas karena satuan kerja pembeli memegang kendali kebutuhan dan kontrak.
Analogi: Pokja = panitia sayembara. PPK/PP = pembeli toko resmi. Kalau belanja di toko (katalog), yang pegang keranjang belanja adalah PPK/PP.
9) “Kompetisi” itu cara, bukan prinsip tunggal
Asas “bersaing” (prinsip) dapat diwujudkan baik lewat tender maupun e-purchasing. Pada tender, kompetisi eks-post terhadap HPS lewat penawaran; pada e-purchasing, kompetisi eks-ante terjadi di etalase publik (multi-penyedia, substitusi, fitur/layanan) dan bisa ditegaskan lewat negosiasi/mini-kompetisi.
Analogi: Ada dua cara menemukan harga terbaik: lelang di balai lelang (tender) dan membandingkan toko di pusat perbelanjaan (katalog). Keduanya sah; pilih sesuai konteks.
10) “Transaksi tayang belum dibeli = anomali”? Keliru membaca sinyal pasar
E-purchasing mengikuti dinamika pasar dan siklus anggaran. Harga tayang bukan harga final (negosiasi dimungkinkan), dan pembeli institusional sering memerlukan sinkronisasi administrasi (RUP, SPD/SPM, e-Kontrak). Menafsir jeda sebagai “kolusi tender” salah konteks, karena tidak ada tahapan penawaran-evaluasi yang bisa “diatur” seperti pada tender.
Analogi: Barang di e-commerce bisa masuk “wishlist” dulu; dibeli saat anggaran/izin siap. Ini bukan sinyal curang, melainkan manajemen belanja.
11) Kewajiban PDN/UMK: kerangka kebijakan yang memandu pilihan
PPK wajib mengalokasikan ≥ 40% nilai belanja barang/jasa untuk produk UMK/Koperasi hasil produksi dalam negeri; ini memperjelas tujuan kebijakan di balik mekanisme—bukan sekadar “harga”, tapi dampak ekonomi.
Katalog juga menampilkan atribut TKDN/PDN/SNI sehingga preferensi PDN dapat ditindaklanjuti dalam keputusan pembelian.
Analogi: Pemerintah bukan hanya pembeli hemat; pemerintah juga investor kebijakan—setiap rupiah dibelanjakan diharapkan memutar ekonomi nasional.
---
Tanggapan singkat atas tiap butir LSM (format tanya-jawab)
“Mengapa tanpa tender—apakah tidak melanggar asas bersaing?”
Tidak. E-purchasing adalah metode sah dan wajib bila komoditas tersedia di katalog; asas bersaing diwujudkan melalui pasar katalog dan dapat diperkuat dengan negosiasi/mini-kompetisi.
“Jarak tayang-beli mencurigakan.”
Jeda adalah fenomena normal (anggaran, kesiapan teknis, logistik). Indikator kolusi tender tidak relevan pada e-purchasing karena tidak ada tahapan penawaran-evaluasi seperti tender.
“Di mana transparansinya?”
Katalog menayangkan spesifikasi, TKDN/PDN/SNI, harga, penyedia; pengawasan internal wajib dari hulu ke hilir, termasuk WBS.
“Negosiasi & mini-kompetisi legal?”
Ya, eksplisit diatur dalam Keputusan 177/2024; harga tayang bukan harga final.
“Bagaimana membuktikan kewajaran harga?”
Banding lintas listing, analisis TCO/BSUE, negosiasi terukur, dan dokumentasi e-Kontrak/kinerja penyedia oleh PPK.
“Apakah Pokja harus dilibatkan?”
Tidak pada e-purchasing. E-purchasing katalog dilakukan oleh PPK (≥ Rp200 juta) dan PP (≤ Rp200 juta). Pokja berperan pada tender/seleksi.
---
Rekomendasi praktik baik (untuk memperkuat kepercayaan publik)
1. Lembar Pembenaran ringkas per transaksi: kebutuhan, opsi yang dibandingkan, hasil negosiasi/mini-kompetisi, TCO, serta catatan TKDN/UMK.
2. Tangkapan layar (disensor seperlunya) atas log negosiasi/perubahan harga/e-Kontrak—mudah diaudit.
3. Kepatuhan PDN/UMK ditunjukkan dengan menandai atribut TKDN/PDN dan porsi belanja UMK sesuai ketentuan.
4. Penguatan pengawasan: pastikan kanal WBS dan reviu/audit internal aktif di setiap fase.
---
Penutup—tesis kebijakan
Membaca e-purchasing dengan kacamata tender melahirkan category error. Rezim PBJ Indonesia secara sengaja menyediakan portofolio metode. E-purchasing mewujudkan persaingan melalui pasar elektronik multi-penyedia dan mengamankan value for money lewat negosiasi dan/atau mini-kompetisi yang terdokumentasi. “Jarak tayang-beli” adalah ritme pasar dan siklus anggaran—bukan smoking gun kolusi. Kerangka PDN/UMK memastikan setiap transaksi juga menggerakkan ekonomi nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar