Minggu, 10 Agustus 2025

Mengapa Pengelola Pengadaan Ahli Utama Bukan Sekadar Jabatan Baru, Melainkan Jantung Vital Tata Kelola Pengadaan Indonesia?

Mengapa Pengelola Pengadaan Ahli Utama Bukan Sekadar Jabatan Baru, Melainkan Jantung Vital Tata Kelola Pengadaan Indonesia?

Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.


1. Pendahuluan

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah urat nadi perekonomian negara, bukan sekadar urusan administrasi pembelian. Dengan nilai belanja mencapai lebih dari 40% APBN dan APBD di berbagai level pemerintahan, sektor ini menjadi pengungkit utama pembangunan infrastruktur, layanan publik, hingga stimulus ekonomi. Namun, seiring meningkatnya kompleksitas proyek—mulai dari teknologi informasi bernilai miliaran, pembangunan rumah sakit, hingga mega-proyek strategis nasional—tuntutan terhadap transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan keberlanjutan tidak pernah setinggi ini.

Pendekatan pengadaan yang hanya berfokus pada kepatuhan prosedural sudah tidak memadai. Pemerintah membutuhkan kepemimpinan strategis yang mampu mengorkestrasi visi nasional dengan praktik teknis di lapangan, mengelola risiko multi-dimensi, dan memastikan setiap rupiah belanja publik menghasilkan value for money yang maksimal.

Inilah konteks lahirnya Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (JFPPBJ) Ahli Utama. Bukan sekadar tambahan tingkatan jabatan, melainkan mekanisme reformasi struktural yang mendudukkan pengadaan sebagai fungsi strategis, setara dengan fungsi keuangan, perencanaan, dan pengawasan di birokrasi modern.


2. Permasalahan dan Tantangan Sistem Pengadaan

Meskipun Indonesia telah melakukan reformasi besar melalui e-procurement seperti Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan e-Katalog, masih ada kesenjangan kompetensi dan visi strategis di tubuh pengadaan pemerintah.

Masalah yang mengemuka antara lain:

  1. Dominasi orientasi prosedural – Banyak pejabat pengadaan mengukur kinerja hanya dari kepatuhan pada aturan, bukan dari pencapaian manfaat proyek.

  2. Keterbatasan kapasitas manajemen risiko – Penilaian risiko sering bersifat reaktif, baru dilakukan ketika masalah muncul, bukan saat perencanaan.

  3. Kurangnya integrasi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) – Dimensi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) belum menjadi pertimbangan utama.

  4. Jalur karier yang terhenti di tingkat menengah – Tidak ada posisi puncak yang secara formal menggabungkan keahlian teknis dan kepemimpinan strategis dalam pengadaan.

  5. Vulnerabilitas terhadap inefisiensi dan fraud – Minimnya pengawasan strategis di tingkat makro membuat proyek besar rawan penyimpangan atau deviasi mutu.

Tanpa reformasi kapasitas dan struktur jabatan, sistem pengadaan berisiko terjebak dalam compliance trap—mematuhi prosedur, tetapi gagal menciptakan manfaat maksimal bagi publik.


3. Analisis Normatif dan Empiris

Secara normatif, UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN memberi dasar hukum pembentukan jabatan fungsional hingga jenjang ahli utama. Peraturan LKPP No. 3 Tahun 2023 bahkan telah merinci 12 kompetensi teknis inti yang mencakup:

  • Manajemen siklus hidup pengadaan

  • Analisis pasar dan strategi sourcing

  • Pengelolaan kontrak berbasis kinerja

  • Manajemen risiko dan integritas
    Namun, kompetensi ini belum diikat dalam kerangka karier yang mengarah ke kepemimpinan puncak.

Secara empiris, negara-negara OECD telah lama menempatkan pengadaan publik sebagai fungsi strategis. Inggris memiliki Government Chief Commercial Officer (GCCO) yang memimpin kebijakan pengadaan nasional dan mengelola portofolio bernilai ratusan miliar pound sterling. Di Amerika Serikat, Chief Acquisition Officer (CAO) bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Office of Management and Budget, memastikan integrasi kebijakan pengadaan dengan prioritas nasional.

Pengalaman internasional ini menunjukkan empat kunci keberhasilan:

  1. Penyelarasan kebijakan pengadaan dengan strategi pembangunan nasional.

  2. Pengembangan SDM pengadaan secara berkelanjutan.

  3. Pengawasan terintegrasi terhadap proyek berskala besar.

  4. Transformasi digital yang berorientasi pada data dan transparansi.

JFPPBJ Ahli Utama dapat mengisi peran serupa di Indonesia, berfungsi sebagai “arsitek tata kelola pengadaan” di pusat maupun daerah.


4. Simulasi dan Proyeksi Dampak

Kasus Hipotetis: Proyek Jalan Tol Provinsi A (Nilai: Rp5 triliun)

Tanpa Ahli Utama:

  • Pendekatan: Fokus pada harga terendah, tanpa penilaian komprehensif kapasitas penyedia.

  • Hasil: Kontraktor pemenang tak mampu memenuhi jadwal; terjadi keterlambatan 24 bulan.

  • Kerugian: Pembengkakan biaya 15% (Rp750 miliar) + kerugian ekonomi tidak langsung akibat tertundanya manfaat proyek.

Dengan Ahli Utama:

  • Pendekatan: Strategi pengadaan berbasis kinerja, mempertimbangkan harga, mutu, inovasi, dan manajemen risiko.

  • Inovasi: Pemanfaatan teknologi modular untuk percepatan konstruksi.

  • Hasil: Proyek selesai tepat waktu, efisiensi biaya 5% (Rp250 miliar), manfaat ekonomi langsung terasa.

Skema Nilai Proyek Dampak Biaya Dampak Waktu
Tradisional Rp5 T +15% biaya Terlambat 24 bulan
Strategis (Ahli Utama) Rp5 T Efisiensi 5% Tepat waktu

Implikasinya: Selisih efisiensi Rp1 triliun lebih dari cukup untuk membangun 3 rumah sakit tipe C atau 100 km jalan kabupaten.


5. Rekomendasi Kebijakan

Agar kehadiran JFPPBJ Ahli Utama efektif, perlu langkah kebijakan yang sinkron antara regulasi, kapasitas, dan insentif:

  1. Revisi regulasi nasional (Perpres PBJ, Peraturan LKPP, PermenPAN-RB) untuk menetapkan peran, kualifikasi, dan formasi wajib Ahli Utama di setiap UKPBJ strategis.

  2. Peta jalan pengembangan kompetensi yang memadukan executive leadership, data-driven procurement, dan innovative sourcing, dengan sertifikasi bertaraf internasional.

  3. Integrasi dalam manajemen ASN, termasuk outcome-based appraisal (penilaian berbasis hasil) dan remunerasi yang mampu menarik talenta terbaik dari sektor publik maupun swasta.

  4. Penguatan peran UKPBJ sebagai pusat komando pengadaan, di mana Ahli Utama berfungsi sebagai penghubung strategis antara kebijakan nasional dan eksekusi proyek di lapangan.


6. Penutup

JFPPBJ Ahli Utama adalah titik balik reformasi pengadaan Indonesia. Keberadaannya bukan simbol hierarki, melainkan mekanisme pengaman strategis yang memastikan belanja publik menghasilkan dampak pembangunan yang optimal. Tanpa kepemimpinan ini, pengadaan berisiko tetap menjadi rutinitas administratif, bukan instrumen kebijakan.

Investasi pada pengembangan Ahli Utama adalah investasi pada ketahanan ekonomi, kualitas layanan publik, dan integritas negara. Dalam era persaingan global, hanya sistem pengadaan yang adaptif, profesional, dan berorientasi nilai yang mampu membawa Indonesia menuju visi negara maju.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Pengelola Pengadaan Ahli Utama Bukan Sekadar Jabatan Baru, Melainkan Jantung Vital Tata Kelola Pengadaan Indonesia?

Mengapa Pengelola Pengadaan Ahli Utama Bukan Sekadar Jabatan Baru, Melainkan Jantung Vital Tata Kelola Pengadaan Indonesia? Penulis Agus Ar...