Kinerja Penyedia dalam Pengadaan: Antara Kewajiban Regulasi dan Strategi Mitigasi Risiko
Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.
1. Pendahuluan
Dinamika pengadaan barang dan jasa pemerintah senantiasa beradaptasi dengan tuntutan efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi yang semakin tinggi. Dalam konteks ini, keberhasilan suatu proyek tidak hanya bergantung pada kualitas perencanaan, tetapi juga pada kapabilitas dan rekam jejak penyedia. Regulasi yang terus diperbarui, seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, secara eksplisit menempatkan kinerja penyedia sebagai elemen krusial dalam proses pemilihan. Hal ini menandai pergeseran paradigma dari sekadar memastikan kelengkapan dokumen administratif menjadi analisis yang lebih mendalam terhadap rekam jejak historis.
2. Permasalahan atau Isu Pokok
Meskipun semangat regulasi jelas, implementasi di lapangan seringkali menghadapi tantangan. Penilaian kinerja penyedia, yang kini menjadi persyaratan kualifikasi, dapat menjadi isu yang sensitif dan rawan interpretasi. Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa kriteria yang tidak terukur akan menjadi alat diskriminasi yang membatasi partisipasi pelaku usaha. Di sisi lain, meniadakan penilaian ini dapat membuka pintu bagi penyedia yang memiliki rekam jejak buruk, yang berpotensi menimbulkan risiko kegagalan proyek, keterlambatan, atau bahkan kerugian negara. Isu utamanya terletak pada bagaimana menyeimbangkan antara prinsip kompetisi yang sehat dan kebutuhan untuk memilih penyedia yang benar-benar andal, terbukti dari kinerja masa lalu mereka.
3. Analisis Empiris dan Normatif
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 memberikan landasan hukum yang kuat dengan menyatakan bahwa penilaian kinerja penyedia merupakan bagian integral dari persyaratan kualifikasi. Lebih dari itu, beleid ini mengharuskan seluruh pihak yang terlibat, termasuk Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan, untuk tidak menambah persyaratan yang bersifat diskriminatif dan tidak objektif. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa persaingan tetap terbuka dan adil.
Regulasi ini juga memperkenalkan solusi praktis untuk memvalidasi kinerja melalui Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP). SIKaP berperan sebagai pusat data terpercaya yang mengelola rekam jejak penyedia, menjadikannya acuan utama. Namun, regulasi juga menyadari realitas di lapangan dengan memberikan opsi penilaian manual jika data di SIKaP belum tersedia. Fleksibilitas ini menjamin bahwa proses pengadaan tetap dapat berjalan tanpa terhambat oleh keterbatasan teknis sistem.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip tata kelola pengadaan yang baik (good governance), yang diadvokasi oleh organisasi internasional seperti OECD dan Bank Dunia. Keduanya menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan manajemen risiko terintegrasi dalam setiap tahapan pengadaan. Dengan mengintegrasikan penilaian kinerja, pemerintah dapat secara proaktif memitigasi risiko sejak dini, alih-alih reaktif menanggapi masalah yang sudah terjadi. Ini adalah langkah maju menuju terciptanya value for money yang sesungguhnya.
4. Simulasi Konkret dan Ilustrasi Angka
Mari kita simulasikan sebuah kasus pengadaan untuk menggambarkan dampak penerapan penilaian kinerja ini.
Sebuah kementerian memiliki paket pengadaan barang/jasa lainnya senilai Rp800.000.000. Terdapat tiga penyedia yang mengajukan penawaran, dengan rincian sebagai berikut:
Penyedia A: Menawarkan harga terendah Rp750.000.000. Setelah diperiksa, ditemukan bahwa Penyedia A merupakan usaha kecil yang baru berdiri 1 tahun dan belum memiliki pengalaman relevan.
Penyedia B: Menawarkan harga Rp780.000.000. Data SIKaP menunjukkan rekam jejak yang baik dengan 3 proyek serupa yang diselesaikan tepat waktu.
Penyedia C: Menawarkan harga Rp775.000.000. Data SIKaP menunjukkan rekam jejak yang kurang memuaskan, dengan 2 dari 5 proyek terakhir mengalami keterlambatan.
Skenario Tanpa Penilaian Kinerja (Metode Lama):
Jika proses ini hanya berfokus pada harga terendah, Penyedia A akan ditetapkan sebagai pemenang. Namun, karena tidak memiliki pengalaman, risiko kegagalan atau keterlambatan proyek akan sangat tinggi. Potensi kerugian finansial dari denda keterlambatan atau bahkan pemutusan kontrak bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Skenario dengan Penilaian Kinerja (Metode Baru):
Dengan menerapkan ketentuan Perpres 46/2025, Pokja Pemilihan akan menganalisis kinerja penyedia. Meskipun Penyedia A menawarkan harga terendah, ia dikecualikan dari penilaian kinerja karena merupakan usaha kecil yang baru berdiri, sehingga perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Penyedia B memiliki rekam jejak yang terbukti andal, menjadikannya pilihan yang lebih aman. Sebaliknya, Penyedia C memiliki rekam jejak yang kurang baik. Dalam skema ini, Pokja memiliki dasar yang kuat untuk memilih Penyedia B, meskipun harganya sedikit lebih tinggi dari yang lain. Peningkatan harga sebesar Rp30.000.000 dianggap sebagai investasi untuk memitigasi risiko keterlambatan dan memastikan kualitas pekerjaan.
Ilustrasi Angka Sederhana:
Jika proyek terlambat 20 hari, denda yang dikenakan adalah 1‰ (satu permil) dari nilai kontrak per hari.
Denda jika memilih Penyedia A (terlambat): 20 hari x 0,001 x Rp750.000.000 = Rp15.000.000
Denda jika memilih Penyedia C (terlambat): 20 hari x 0,001 x Rp775.000.000 = Rp15.500.000
Dengan memilih Penyedia B, risiko denda ini dapat dihindari, dan selisih harga Rp30.000.000 menjadi lebih dapat diterima karena menjamin ketepatan waktu dan kualitas.
Mari kita sentuh inti permasalahan praktis yang sering dihadapi Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan di lapangan. secara harfiah, tender harga terendah seolah tidak memberikan pilihan lain selain memenangkan penawar dengan harga paling rendah.
Namun, di sinilah letak perbedaan antara evaluasi penawaran yang hanya berorientasi pada harga dan evaluasi yang terintegrasi dengan kualifikasi kinerja. Jalan untuk mengubah urutan peringkat atau menolak penawar harga terendah tidak terletak pada proses re-ranking pasca-penawaran, melainkan pada tahap evaluasi kualifikasi yang dilakukan secara terstruktur.
Berikut adalah langkah-langkah strategis yang dapat Bapak/Ibu ambil:
1. Fondasi Hukum: Kualifikasi Adalah Gerbang Utama
Dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, Pokja Pemilihan tidak dilarang untuk menetapkan persyaratan kualifikasi yang relevan. Peraturan ini justru mewajibkan Pokja untuk memasukkan persyaratan kinerja penyedia sebagai salah satu kriteria kualifikasi minimal. Ini adalah kunci utama. Penawaran harga terendah dari Penyedia A tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut jika Penyedia A tidak lulus tahap kualifikasi.
Artinya, evaluasi tender bukanlah proses linear di mana harga terendah selalu menang. Sebaliknya, prosesnya adalah:
Evaluasi Kualifikasi: Menilai apakah penyedia memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan.
Evaluasi Teknis: Menilai apakah penawaran teknis memenuhi spesifikasi.
Evaluasi Harga: Memilih harga terendah dari peserta yang telah lulus tahap kualifikasi dan teknis.
2. Jalan Menuju Perubahan Peringkat: Taktik di Dokumen Pemilihan
Jalan yang harus ditempuh Pokja agar dapat memilih Penyedia B (yang lebih mahal tapi andal) adalah dengan secara eksplisit dan objektif menambahkan kriteria penilaian kinerja dalam Dokumen Pemilihan sejak awal.
Ini adalah langkah konkretnya:
a. Menyusun Persyaratan Kualifikasi Kinerja yang Jelas
Di bagian persyaratan kualifikasi, Pokja harus mencantumkan narasi yang mengikat, misalnya:
“Penyedia diwajibkan memiliki rekam jejak kinerja minimal ‘Baik’ berdasarkan catatan di Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP). Apabila data di SIKaP tidak tersedia, penilaian kinerja akan dilakukan secara manual dengan mensyaratkan bukti penyelesaian proyek sejenis tanpa adanya sanksi atau keterlambatan signifikan selama 2 (dua) tahun terakhir.”
b. Memanfaatkan Data SIKaP sebagai Bukti Objektif
Saat evaluasi kualifikasi, Pokja secara legal dapat mengakses data kinerja Penyedia A dan Penyedia B di SIKaP.
Jika data SIKaP menunjukkan bahwa Penyedia A memiliki rekam jejak yang kurang baik atau pernah dikenakan sanksi, maka Penyedia A secara otomatis dinyatakan tidak lulus kualifikasi.
Pokja kemudian membuat Berita Acara Evaluasi Kualifikasi yang secara transparan dan berlandaskan data menjelaskan mengapa Penyedia A digugurkan.
3. Simulasi Kasus: Bagaimana Pengguguran Terjadi
Mari kita kembali ke skenario sebelumnya.
Skema Pengadaan (di Dokumen Pemilihan):
Harga: Tender dengan metode harga terendah.
Kualifikasi: Mensyaratkan kinerja minimal 'baik' dari SIKaP atau melalui penilaian manual.
Hasil Evaluasi:
Penyedia A (Harga Rp750 Juta):
Evaluasi Kualifikasi: Setelah diperiksa di SIKaP, ditemukan bahwa Penyedia A memiliki catatan 'kinerja buruk' karena sering terlambat menyelesaikan proyek.
Keputusan Pokja: Penyedia A dinyatakan gugur pada tahap evaluasi kualifikasi. Meskipun harganya terendah, ia tidak memenuhi syarat administrasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan.
Justifikasi: Pokja mencatat dalam berita acara bahwa Penyedia A tidak memenuhi kriteria kinerja yang dipersyaratkan.
Penyedia B (Harga Rp780 Juta):
Evaluasi Kualifikasi: Terbukti memiliki kinerja 'baik' di SIKaP.
Evaluasi Teknis: Proposal teknisnya memenuhi syarat.
Evaluasi Harga: Berada pada peringkat teratas di antara seluruh peserta yang memenuhi kualifikasi dan teknis.
Dengan demikian, Pokja tidak memilih Penyedia A karena ia gagal di tahap kualifikasi, bukan karena Pokja ingin memilih harga yang lebih mahal. Proses ini sejalan dengan prinsip probity (kehati-hatian) dan manajemen risiko dalam pengadaan.
Kesimpulan
Jalan yang dapat ditempuh Pokja untuk menghindari pemenang harga terendah yang tidak andal adalah dengan menggunakan penilaian kinerja sebagai filter kualifikasi di awal proses. Hal ini tidak melanggar prinsip tender harga terendah, karena prinsip tersebut hanya berlaku untuk penawaran dari para peserta yang telah memenuhi seluruh persyaratan kualifikasi dan teknis. Pokja memiliki wewenang penuh untuk menetapkan kriteria kualifikasi yang relevan dan objektif, yang kini diperkuat oleh Perpres 46/2025.
5. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan
Untuk memastikan implementasi yang efektif dari regulasi ini, diperlukan beberapa langkah strategis:
Penguatan Sistem Informasi: LKPP perlu terus mengembangkan SIKaP agar dapat mengintegrasikan data kinerja dari berbagai instansi secara real-time. Ini termasuk memastikan interoperabilitas dengan sistem perencanaan, penganggaran, dan pembayaran.
Pelatihan dan Sosialisasi Berkelanjutan: Para pelaku pengadaan, khususnya Pokja Pemilihan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), harus dibekali dengan pelatihan mendalam tentang cara melakukan penilaian kinerja secara objektif, baik melalui SIKaP maupun secara manual.
Panduan Teknis yang Jelas: Diperlukan panduan teknis yang lebih detail tentang kriteria dan bobot penilaian kinerja untuk berbagai jenis pengadaan. Hal ini akan mengurangi risiko subyektivitas dan inkonsistensi dalam proses evaluasi.
Kebijakan Berbasis Insentif: Menerapkan kebijakan insentif bagi penyedia yang memiliki rekam jejak kinerja luar biasa, misalnya dengan memberikan preferensi non-harga atau akses khusus ke program pengadaan tertentu. Ini akan mendorong penyedia untuk terus meningkatkan kualitas layanan mereka.
Pengawasan Internal yang Efektif: Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) perlu memperkuat fungsi pengawasan sejak tahap perencanaan untuk memastikan kriteria penilaian kinerja diterapkan dengan benar dan adil.
6. Penutup
Regulasi yang mewajibkan penilaian kinerja penyedia merupakan langkah progresif dalam ekosistem pengadaan pemerintah. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk menyeleksi penyedia, tetapi juga untuk membangun budaya integritas dan keandalan di kalangan pelaku usaha. Dengan mengintegrasikan aspek kinerja dalam setiap keputusan pengadaan, kita tidak hanya memastikan proyek berjalan lancar, tetapi juga mengoptimalkan setiap rupiah anggaran negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Melalui kolaborasi antara regulator, praktisi, dan akademisi, visi ini dapat diwujudkan, menjadikan pengadaan pemerintah sebagai pilar utama dalam pembangunan nasional yang efisien dan akuntabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar