Paradoks Digital dalam Birokrasi: Ketika Modernitas Menjadi Kedok Feodalistik
Paradoks Digital dalam Birokrasi: Ketika Modernitas Menjadi Kedok Feodalistik
Oleh: Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.
Izinkan saya membuka diskursus ini dengan sebuah pertanyaan epistemologis: Apakah digitalisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah telah benar-benar mentransformasi paradigma birokrasi kita, atau justru hanya menjadi topeng digital dari praktik feodalistik yang sudah mengakar?
Kita sedang berhadapan dengan apa yang saya sebut sebagai "paradoks modernitas birokratik" dalam konteks e-purchasing katalog elektronik LKPP. Mengapa saya katakan paradoks? Karena modernisasi digital yang seharusnya menciptakan transparansi dan efisiensi, justru melahirkan oligarki digital yang lebih canggih dan lebih tersembunyi.
Mari kita bedah anatomi persoalannya. E-purchasing LKPP dengan tiga kategorinya – katalog nasional, sektoral, dan lokal – pada dasarnya adalah upaya negara menghadirkan efisiensi dalam pengadaan. Namun yang terjadi adalah fenomena yang saya sebut sebagai "pseudo-modernisasi". Dalam katalog nasional, kita masih melihat ada jejak-jejak pelaku usaha riil yang autentik. Tetapi begitu kita masuk ke ranah sektoral dan lokal, yang kita temukan adalah apa yang saya sebut sebagai "teknofeodalisme" – dimana para calo dan broker digital menjadi penguasa baru dalam lanskap ekonomi digital.
Yang menarik, sebagian kalangan mulai mengusulkan untuk kembali ke sistem tender konvensional. Ini adalah manifestasi dari apa yang saya sebut "nostalgia birokratik" – sebuah kerinduan yang keliru pada sistem masa lalu yang sebenarnya tidak lebih baik. Mereka lupa bahwa tender konvensional adalah tempat dimana "oligarki klasik" bermain dengan lebih leluasa. Kembali ke tender sama dengan mengambil langkah mundur dalam evolusi transparansi.
Saya tegaskan: masalahnya bukan pada platform digitalnya, tapi pada apa yang saya sebut "ontologi pelaku ekonomi" – yaitu siapa yang sebenarnya memegang kendali dalam sistem ini. Ketika kita bicara tentang transparansi, yang kita butuhkan bukanlah kembali ke sistem lama, melainkan transformasi radikal dalam tata kelola pelaku usaha.
Perhatikan bagaimana fenomena broker dan calo ini menciptakan apa yang saya sebut "kapitalisme bayangan" dalam e-purchasing. Mereka adalah manifestasi dari apa yang saya sebut "paradoks transparansi digital" – dimana semakin transparan sistemnya, semakin canggih pula cara mereka bersembunyi di balik kompleksitas digital.
Mengapa tender bukan solusi? Karena tender hanya akan menciptakan apa yang saya sebut "ilusi kompetisi". Di dalam tender, yang terjadi bukanlah kompetisi murni, melainkan "teatrikalisasi persaingan" – dimana pemenang sudah ditentukan sebelum permainan dimulai. Setidaknya dalam e-purchasing, jejak digital masih bisa dilacak.
Lalu bagaimana solusinya? Yang kita butuhkan adalah apa yang saya sebut "reformasi struktural pelaku usaha". Ini mencakup beberapa langkah strategis:
Pertama, "purifikasi database pelaku usaha" – memastikan bahwa setiap entitas dalam sistem adalah pelaku ekonomi riil, bukan sekadar proxy dari kartel ekonomi. Kedua, implementasi "sistem verifikasi berlapis" yang tidak hanya memeriksa dokumen, tapi juga kapasitas riil pelaku usaha. Ketiga, pembentukan "mekanisme surveillance digital" yang mampu mendeteksi pola-pola transaksi mencurigakan.
Lebih jauh lagi, kita perlu membangun apa yang saya sebut "ekosistem transparansi produktif" – dimana keterbukaan informasi tidak hanya menjadi alat kontrol, tapi juga pendorong produktivitas ekonomi riil. Ini termasuk:
1. "Demokratisasi akses pasar" – membuka peluang lebih luas bagi pelaku usaha riil untuk masuk ke sistem
2. "Desentralisasi verifikasi" – melibatkan lebih banyak stakeholder dalam proses validasi pelaku usaha
3. "Optimalisasi teknologi blockchain" – untuk menciptakan jejak audit yang tidak bisa dimanipulasi
4. "Reformulasi insentif ekonomi" – menciptakan sistem reward yang menguntungkan pelaku usaha riil, bukan perantara
Yang sering terlupakan adalah apa yang saya sebut "dimensi sosiologis transparansi". Transparansi bukan sekadar soal sistem yang terbuka, tapi juga tentang mengubah perilaku dan budaya. Kita perlu menciptakan apa yang saya sebut "kultur anti-perantara" dalam ekosistem pengadaan publik.
Inilah mengapa saya selalu menekankan: jangan biarkan nostalgia sistem lama menghalangi kita dari menciptakan transformasi sistem yang lebih fundamental. Kembali ke tender adalah manifestasi dari apa yang saya sebut "kemunduran progresif" – sebuah paradoks dimana kita bergerak mundur dengan dalih kemajuan.
"Ketika transparansi digital dihadapkan pada kartel ekonomi, yang kita butuhkan bukanlah kembali ke sistem lama, melainkan radikalisasi sistem baru. Sebab dalam dialektika kemajuan, masa lalu bukanlah tempat berlindung, melainkan cermin untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama."
Pertanyaan kritisnya sekarang: Sudahkah kita siap untuk transformasi radikal ini? Ataukah kita akan terus terjebak dalam apa yang saya sebut "siklus modernisasi semu" – dimana setiap pembaruan sistem hanya menjadi panggung baru bagi aktor-aktor lama?
Komentar
Posting Komentar