Pasal 1338 KUH Perdata: Landasan Hukum Kontrak Pengadaan Barang/Jasa dan Batasan Audit
Pasal 1338 KUH Perdata: Pilar Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa dan Batasan dalam Audit
Bandung, 22 Mei 2024
Penulis: Agus Arif Rakhman, M.M.
Pengelola Pengadaan Ahli Madya, BMKG RI, Fasilitator Kehormatan Bidang Pengadaan Barang/Jasa LKPP RI, Probity Advisor LKPP RI, Anggota Tim Perumus Peraturan LKPP RI, Ahli Penyusun SOP Pengadaan Barang/Jasa, dan Penulis Buku Pengadaan Barang/Jasa
Pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berfungsi sebagai pilar
utama dalam hukum kontrak di Indonesia, termasuk dalam pengadaan barang/jasa.
Pasal ini menegaskan tiga prinsip mendasar: kebebasan berkontrak, pacta sunt
servanda, dan itikad baik. Ketiga prinsip ini, meskipun tampak sederhana,
memiliki implikasi yang sangat luas dan mendalam dalam pelaksanaan kontrak
pengadaan barang/jasa serta batasan yang harus diperhatikan dalam audit. Mari
kita bedah prinsip-prinsip ini secara lebih rinci dan aplikatif.
1. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Prinsip
kebebasan berkontrak, sebagaimana tercermin dalam frasa "Semua persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya," menegaskan bahwa para pihak dalam kontrak
memiliki kebebasan penuh untuk menentukan isi dan bentuk kontrak. Prinsip ini
mengakui otonomi para pihak untuk mengatur hubungan hukum mereka sendiri
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan (Simamora, 2013).
Dalam
konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, kebebasan ini dipagari oleh berbagai
peraturan yang ketat. Misalnya, Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengharuskan penerapan prosedur pengadaan yang
transparan dan akuntabel. Pembatasan lainnya termasuk larangan praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme, serta kewajiban menggunakan kontrak standar yang telah
ditetapkan (Amiruddin, 2010). Hal ini untuk memastikan bahwa prinsip kebebasan
berkontrak tidak disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan kepentingan publik.
2. Prinsip Pacta Sunt Servanda
Prinsip
pacta sunt servanda, yang berarti "perjanjian harus ditaati,"
ditegaskan melalui frasa "Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan yang ditentukan
oleh undang-undang." Prinsip ini menggarisbawahi bahwa kontrak yang sah
harus dipatuhi oleh para pihak sebagaimana undang-undang (Badrulzaman, 2001).
Dalam praktiknya, ini berarti bahwa setiap klausul dalam kontrak pengadaan
barang/jasa memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam
konteks audit, prinsip ini memiliki implikasi yang signifikan. Temuan audit
oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) atau Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) tidak boleh secara sepihak mengubah atau membatalkan klausul kontrak yang
telah disepakati. Temuan audit seharusnya berfungsi sebagai dasar untuk
rekomendasi perbaikan dalam sistem dan tata kelola, bukan sebagai alat untuk
mengintervensi isi kontrak. Misalnya, jika ada indikasi pelanggaran hukum atau
kerugian negara, maka langkah yang harus ditempuh adalah melalui mekanisme
hukum yang telah ditentukan, seperti penyelidikan oleh aparat penegak hukum,
sambil tetap menghormati prinsip pacta sunt servanda (Amiruddin, 2010).
3. Prinsip Itikad Baik
Prinsip
itikad baik, yang diartikulasikan dalam frasa "Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik," menuntut agar para pihak dalam kontrak
pengadaan barang/jasa bertindak dengan jujur, transparan, dan adil (Hernoko,
2010). Itikad baik harus dipertahankan dari tahap awal perundingan kontrak,
pembentukan kontrak, hingga pelaksanaan kontrak. Ini mengimplikasikan bahwa
para pihak harus menghindari segala bentuk tindakan yang dapat merugikan satu
sama lain.
Dalam
kaitannya dengan audit, prinsip ini mengharuskan auditor, baik APIP maupun BPK,
untuk menjalankan tugas mereka dengan integritas, objektivitas, dan
profesionalisme. Temuan audit harus didasarkan pada bukti yang valid dan
relevan serta diperoleh melalui prosedur audit yang sesuai standar (Bastian,
2011). Auditor harus menghindari konflik kepentingan dan tetap independen dalam
melakukan pemeriksaan. Jika ditemukan itikad buruk, seperti adanya korupsi,
kolusi, atau nepotisme dalam pembentukan atau pelaksanaan kontrak, maka hal
tersebut harus diungkap secara jelas dalam laporan audit dan ditindaklanjuti
sesuai hukum yang berlaku.
Implikasi Hukum dan Praktis
Kepastian
Hukum: Ketiga prinsip ini menjamin kepastian hukum bagi para pihak dalam
kontrak pengadaan barang/jasa. Dengan memahami dan mematuhi prinsip-prinsip
ini, para pihak dapat memastikan bahwa hak dan kewajiban mereka dilindungi
secara hukum.
Keseimbangan
dan Keadilan: Implementasi yang tepat dari prinsip-prinsip ini dapat
menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam hubungan kontraktual. Ini penting
untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diperlakukan
tidak adil dalam pelaksanaan kontrak.
Perbaikan
Sistem dan Tata Kelola: Audit yang dilakukan berdasarkan prinsip itikad baik
dan pacta sunt servanda dapat memberikan rekomendasi yang konstruktif untuk
perbaikan sistem dan tata kelola pengadaan barang/jasa. Ini membantu dalam
meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan
keuangan negara.
Kesimpulan
Pasal
1338 KUH Perdata memberikan landasan hukum yang kuat dan komprehensif untuk
kontrak pengadaan barang/jasa melalui prinsip kebebasan berkontrak, pacta sunt
servanda, dan itikad baik. Namun, penerapan prinsip-prinsip ini harus tetap
berada dalam koridor hukum yang berlaku. Temuan audit harus menjadi dasar
rekomendasi perbaikan, bukan untuk mengintervensi substansi kontrak. Auditor
harus menjunjung tinggi prinsip itikad baik, independensi, dan objektivitas
dalam pelaksanaan tugas mereka.
Pemahaman
yang mendalam tentang Pasal 1338 KUH Perdata dan aplikasinya dalam kontrak
pengadaan barang/jasa serta batasan audit akan menghasilkan kepastian hukum,
keadilan, dan keseimbangan bagi semua pihak yang terlibat. Kolaborasi yang baik
antara hukum kontrak dan audit sangat penting untuk menciptakan tata kelola
yang baik dan mencegah penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara.
Referensi:
1.
Amiruddin. (2010). Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jurnal Hukum
Bisnis, 29(2), 1-15. Retrieved from [Jurnal Hukum
Bisnis](https://jhb.co.id/index.php/jurnal/article/view/123)
2.
Badrulzaman, M. D. (2001). Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti.
3.
Bastian, I. (2011). Audit Sektor Publik: Pemeriksaan Pertanggungjawaban
Pemerintahan (3rd ed.). Salemba Empat.
4.
Hernoko, A. Y. (2010). Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Kencana.
5.
Simamora, Y. S. (2013). Hukum Kontrak: Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia. Kantor Hukum YSMR & Partners.
Retrieved from [Kantor Hukum YSMR &
Partners](https://ysmrlawfirm.id/buku-hukum-kontrak-prinsip-prinsip-hukum-kontrak-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah)
Komentar
Posting Komentar