Total Lost dalam Audit: Sebuah Pengantar dan Implikasinya terhadap PPK
Pada era digital saat ini, terminologi audit telah berkembang dan menyerap kata-kata baru yang mendefinisikan konsekuensi dan risiko tertentu. Salah satu istilah yang muncul dan menjadi topik hangat adalah 'total lost'. Istilah ini memiliki konsekuensi signifikan, terutama bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proses kontrak. Total lost, dalam konteks audit, mengacu pada keadaan di mana nilai aset atau investasi telah hilang sepenuhnya, baik secara fisik maupun ekonomi. Ini bisa berarti bahwa aset atau investisi tidak lagi memberikan manfaat atau pengembalian, atau bahwa nilainya telah turun menjadi nol.
Istilah 'total lost' seringkali menjadi poin krusial dalam audit, terutama ketika ada pertanyaan tentang penggunaan dan penyaluran dana. Untuk PPK, ini bisa menjadi masalah yang sangat serius. PPK, sebagai penanggung jawab atas penggunaan dana publik, bisa berhadapan dengan konsekuensi hukum serius jika terdapat indikasi bahwa dana tersebut telah menjadi 'total lost' tanpa adanya justifikasi yang valid atau akuntabilitas yang tepat.
Dalam konteks hukum, terutama hukum pengadaan publik, istilah 'total lost' dapat memicu investigasi dan tindakan hukum. Jika ditemukan bahwa PPK tidak melakukan tugasnya dengan baik, tidak mematuhi aturan, atau bertindak dengan cara yang dapat merugikan keuangan publik, ia bisa berhadapan dengan konsekuensi hukum, termasuk hukuman penjara.
Namun, penting untuk memahami bahwa 'total lost' bukanlah suatu kejadian yang selalu berarti kesalahan atau pelanggaran hukum oleh PPK. Ada situasi di mana 'total lost' bisa terjadi meskipun PPK telah melakukan tugasnya dengan benar. Misalnya, dalam kasus bencana alam atau kejadian luar biasa lainnya yang tidak bisa diperkirakan atau dicegah. Dalam kasus seperti ini, 'total lost' mungkin tidak dapat dihindari, dan PPK tidak harus bertanggung jawab atas hal tersebut.
Secara teoritis, konsep 'total lost' dalam audit memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana aset atau investasi dapat hilang nilainya. Ini membantu auditor, pengguna laporan keuangan, dan regulator memahami risiko dan potensi kerugian yang mungkin terjadi. Dalam praktiknya, hal ini juga menjadi alat yang efektif untuk mendeteksi penyalahgunaan dana atau aset dan untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan keuangan pub
Dalam konteks hukum dan audit Indonesia, istilah 'total lost' sebelumnya digunakan untuk menggambarkan situasi di mana dana atau aset publik telah hilang sepenuhnya. Namun, seiring waktu, perubahan dalam peraturan telah mempengaruhi bagaimana kerugian negara diukur dan ditafsirkan.
Sejak diterbitkannya Pasal 39 PP 38/2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain, konsep 'total lost' tidak lagi diakui. Pasal ini menyebutkan bahwa penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis. Jika baik nilai buku maupun nilai wajar dapat ditentukan, maka nilai barang yang digunakan adalah nilai yang paling tinggi di antara kedua nilai tersebut
Lebih lanjut, ada referensi untuk merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 248/2016 yang mengatur soal pengelolaan jaminan TNI-Polri dalam proses pengidentifikasian kerugian negara. Ada juga UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa perhitungan kerugian keuangan negara harus berdasarkan kerugian nyata dan pasti
Ini berarti bahwa konsep 'total lost' atau 'partial lost' tidak lagi berlaku. Nilai kekurangan atau kerugian harus benar-benar berdasarkan nilai buku atau nilai nyata. Jika, misalnya, ada kehilangan Rp 200 ribu di kas, maka Rp 200 ribu itulah yang disebut kerugian, bukan jumlah lain yang ditambahkan atau jika uang tersebut digunakan dan bertambah menjadi Rp 500 ribu
Dalam konteks kasus hukum, perhitungan kerugian keuangan negara seharusnya dihitung dari tindakan yang dilakukan terdakwa yang berakibat pada jumlah kerugian tertentu. Oleh karena itu, orang tersebut dituntut pertanggungjawaban sesuai dengan kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari tindakan terdakwa
Mengingat perubahan ini, penting bagi PPK dan auditor lainnya untuk memahami bagaimana kerugian negara diukur dan ditafsirkan menurut hukum saat ini. Mereka harus memastikan bahwa mereka mengikuti peraturan dan prosedur yang tepat untuk menghindari konsekuensi hukum. Sebagai profesi yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengawasan dana publik, pemahaman yang tepat tentang konsep dan peraturan ini sangat penting.
Konsep "total lost" biasanya merujuk ke situasi di mana nilai moneter total suatu aset atau investasi hilang, biasanya karena kerusakan fisik atau kegagalan finansial.
Namun, dalam situasi di mana sebuah proyek infrastruktur seperti bandara atau pelabuhan telah selesai sesuai dengan spesifikasi, tetapi tidak mendapatkan respons positif dari stakeholder atau pengguna - misalnya, bandara atau pelabuhan tersebut sepi dan tidak banyak digunakan - ini lebih sering dianggap sebagai kegagalan dalam perencanaan atau eksekusi proyek daripada "total lost".
Sebagai contoh, mungkin ada kegagalan dalam analisis pasar atau penilaian kebutuhan sebelum proyek dimulai, atau mungkin ada masalah dengan pemasaran atau promosi setelah proyek selesai. Ini bisa mengakibatkan "kerugian" dalam arti bahwa investasi tidak memberikan tingkat pengembalian yang diharapkan, tetapi ini bukan "total lost" dalam arti tradisional.
Dalam audit, situasi seperti ini mungkin akan disoroti sebagai area yang memerlukan perbaikan dalam proses perencanaan dan evaluasi proyek. Auditor mungkin akan merekomendasikan perubahan dalam cara organisasi tersebut melakukan analisis kebutuhan atau penilaian pasar, atau mungkin akan merekomendasikan strategi pemasaran atau promosi yang lebih efektif.
Komentar
Posting Komentar