Senin, 02 Juni 2025

Menavigasi Era Baru Pengadaan: Telaah Kritis Surat Edaran LKPP No. 1 Tahun 2025 sebagai Jembatan Transisi Perpres No. 46 Tahun 2025

Menavigasi Era Baru Pengadaan: Telaah Kritis Surat Edaran LKPP No. 1 Tahun 2025 sebagai Jembatan Transisi Perpres No. 46 Tahun 2025

Penulis: Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.

Download Surat Edaran 
https://jdih.lkpp.go.id/regulation/surat-edaran-kepala-lkpp/surat-edaran-kepala-lkpp-nomor-1-tahun-2025

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 membawa perubahan signifikan terhadap lanskap Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah, mengubah sejumlah ketentuan fundamental yang diatur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 dan perubahannya. Untuk merespons dinamika ini, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menerbitkan Surat Edaran (SE) Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2025.

SE ini berfungsi sebagai "jembatan" krusial pada masa transisi, memberikan penjelasan praktis dan arahan teknis sebelum peraturan pelaksana turunan (Peraturan LKPP) dan penyesuaian pada sistem elektronik seperti SPSE dan Katalog Elektronik rampung. Tujuannya adalah untuk menghindari kekosongan hukum, menjamin kepastian, serta memberikan perlindungan bagi para pelaku pengadaan dalam menerapkan aturan baru.

Berikut adalah telaah mendalam atas isi SE No. 1 Tahun 2025, yang dibandingkan secara langsung dengan ketentuan baru dalam Perpres No. 46 Tahun 2025.


Analisis Rinci Poin-Poin Penjelasan dalam Surat Edaran

SE Kepala LKPP No. 1 Tahun 2025 memberikan panduan spesifik atas beberapa pasal krusial yang berubah.

1. Pengetahuan KPA yang Merangkap sebagai PPK (SE Poin 6.a vs. Perpres Pasal 10 ayat (6))

  • Aturan Baru Perpres: Pasal 10 ayat (6) Perpres 46/2025 menambahkan syarat bahwa Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang melaksanakan tugas sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) "wajib memiliki pengetahuan tentang pengadaan barang dan jasa serta PPK". Ketentuan ini bersifat baru dan belum memiliki definisi operasional.
  • Penjelasan dalam SE: Surat Edaran memberikan interpretasi yang lebih longgar dan praktis selama masa transisi. "Pengetahuan" tersebut dapat dibuktikan melalui salah satu dari empat opsi:
    • Sertifikat kompetensi PPK.
    • Sertifikat PBJ tingkat dasar/level-1.
    • Sertifikat kelulusan pelatihan PBJ.
    • Sertifikat kehadiran dalam kegiatan sosialisasi/bimbingan teknis PBJ. SE ini juga memberikan klausul "grandfathering", di mana kewajiban ini dikecualikan bagi KPA yang sudah merangkap sebagai PPK sebelum Perpres 46/2025 diundangkan.
  • Telaah & Interpretasi: Langkah ini sangat pragmatis. LKPP mencegah potensi kelumpuhan dalam penetapan PPK dengan memberikan definisi "pengetahuan" yang inklusif. Tanpa SE ini, K/L/PD bisa ragu-ragu menunjuk KPA sebagai PPK karena kriteria "pengetahuan" yang abstrak.

2. Syarat Kualifikasi Kinerja Penyedia (SE Poin 6.b vs. Perpres Pasal 44 ayat (8a))

  • Aturan Baru Perpres: Pasal 44 ayat (8a) menyisipkan ketentuan baru bahwa persyaratan kualifikasi "paling sedikit meliputi kinerja Penyedia".
  • Penjelasan dalam SE: SE memberikan tiga arahan teknis penting:
    1. Penilaian kinerja diutamakan yang tercantum dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP).
    2. Jika data di SIKaP belum tersedia, penilaian dapat dilakukan secara manual mengacu pada Peraturan LKPP No. 4 Tahun 2021.
    3. Penyedia usaha kecil yang baru berdiri (kurang dari 3 tahun) dan belum memiliki pengalaman, dikecualikan dari syarat kinerja ini untuk paket hingga Rp2,5 Miliar (Barang/Konstruksi/Jasa Lainnya) atau Rp1 Miliar (Jasa Konsultansi).
  • Telaah & Interpretasi: Ini adalah respons atas tantangan implementasi. Data SIKaP belum komprehensif untuk semua penyedia. Pengecualian bagi usaha kecil yang baru berdiri sangat vital untuk mendukung tujuan pemerintah dalam mendorong pelaku usaha baru dan mencegah aturan ini menjadi penghalang masuk (barrier to entry).

3. Status Toko Daring dalam E-purchasing (SE Poin 6.c vs. Perpres Pasal 38 & 41)

  • Aturan Baru Perpres: Perpres 46/2025 secara eksplisit menghapus frasa "atau Toko Daring" dari definisi E-purchasing. Catatan dalam dokumen konsolidasi bahkan menegaskan: "ketentuan toko daring dihapus dari Perpres PBJ".
  • Penjelasan dalam SE: Anehnya, SE No. 1 Tahun 2025 menyatakan bahwa "pelaksanaan E-purchasing tetap dapat dilaksanakan melalui Toko Daring yang merupakan bagian dari katalog elektronik".
  • Telaah & Interpretasi: Ini adalah poin klarifikasi yang paling signifikan dan berpotensi membingungkan. SE ini tampaknya memberikan penafsiran bahwa meskipun tidak lagi disebut secara eksplisit dalam pasal, Toko Daring secara fungsional dianggap sebagai salah satu platform atau fitur di dalam ekosistem Katalog Elektronik. Klarifikasi ini penting untuk menjaga kelangsungan transaksi yang selama ini berjalan masif melalui Toko Daring.

4. Penundaan Pelaksanaan Fitur Baru SPSE (SE Poin 6.d, 6.h)

  • Aturan Baru Perpres: Perpres 46/2025 memperkenalkan banyak kewajiban dan fitur baru yang berbasis sistem, seperti:
    • Penerapan pemilik manfaat (Beneficial Ownership).
    • Penunjukan Langsung untuk repeat order.
    • E-purchasing oleh Pokja Pemilihan, untuk Jasa Konsultansi, dan dalam Swakelola.
    • E-purchasing dengan mini kompetisi.
    • Pengadaan Langsung di atas Rp50 juta yang wajib transaksional.
  • Penjelasan dalam SE: SE secara tegas menyatakan bahwa fitur-fitur baru ini baru dapat dilaksanakan "setelah petunjuk teknis dan fitur telah tersedia pada SPSE". Jika fitur belum siap (contoh: Penunjukan Langsung pascakualifikasi atau Pengadaan Langsung transaksional), PPK diminta menggunakan fitur "pencatatan" pada SPSE.
  • Telaah & Interpretasi: Klausul ini adalah "katup pengaman" utama dari SE. LKPP menyadari bahwa pengembangan sistem membutuhkan waktu. Aturan ini mencegah para pelaku pengadaan berada dalam posisi ilegal karena diwajibkan oleh Perpres untuk menggunakan fitur yang secara teknis belum ada. Penggunaan fitur "pencatatan" adalah solusi sementara untuk menjaga akuntabilitas.

5. Penggunaan Jenis Kontrak Baru di SPSE (SE Poin 6.e vs. Perpres Pasal 27)

  • Aturan Baru Perpres: Pasal 27 direvisi untuk menambahkan beberapa jenis kontrak baru, seperti Kontrak Berbasis Kinerja, Modifikasi Putar Kunci, dan memperluas penggunaan Kontrak Payung.
  • Penjelasan dalam SE: Apabila jenis kontrak baru ini belum tersedia sebagai pilihan di aplikasi SPSE, pengguna diarahkan untuk "memilih salah satu jenis kontrak yang tersedia" di sistem. Namun, jenis kontrak yang sah dan berlaku secara hukum mengacu pada "Dokumen Rancangan Kontrak dan Dokumen Pemilihan yang diunggah pada aplikasi SPSE".
  • Telaah & Interpretasi: Solusi ini memprioritaskan substansi hukum (dokumen yang diunggah) di atas keterbatasan teknis aplikasi. Ini memastikan proses pengadaan dapat terus berjalan menggunakan jenis kontrak yang paling sesuai dengan karakteristik pekerjaan, meskipun sistem belum sepenuhnya ter-update.

6. Tahapan Penunjukan Langsung Pascakualifikasi (SE Poin 6.g vs. Perpres Pasal 44)

  • Aturan Baru Perpres: Perpres 46/2025 menggeser metode Penunjukan Langsung dari metode Prakualifikasi menjadi Pascakualifikasi.
  • Penjelasan dalam SE: SE menjabarkan secara rinci 11 tahapan pelaksanaan Penunjukan Langsung dengan metode pascakualifikasi, mulai dari undangan hingga penandatanganan kontrak.
  • Telaah & Interpretasi: Perpres hanya mengubah "kapan" kualifikasi dilakukan, tetapi tidak merinci "bagaimana" prosesnya. SE ini mengisi kekosongan tersebut dengan memberikan panduan prosedural yang jelas bagi Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan, yang sangat dibutuhkan untuk keseragaman dan kepastian proses.

7. Preferensi Harga untuk Pekerjaan Konstruksi (SE Poin 6.i vs. Perpres Pasal 67)

  • Aturan Baru Perpres: Pasal 67 ayat (4) mengubah mekanisme preferensi harga untuk Pekerjaan Konstruksi, dari berbasis capaian TKDN menjadi berbasis "komitmen untuk memenuhi ketentuan batasan minimum nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)".
  • Penjelasan dalam SE: SE memberikan dua klarifikasi vital:
    1. Batasan minimum nilai TKDN yang menjadi acuan adalah Keputusan Menteri PUPR Nomor 602/KPTS/M/2023.
    2. Batasan minimum TKDN tersebut "bukan merupakan persyaratan yang menggugurkan penawaran peserta".
  • Telaah & Interpretasi: Penjelasan ini sangat penting untuk mencegah salah tafsir. Tanpa klarifikasi ini, Pokja Pemilihan bisa keliru menganggap batasan minimum TKDN sebagai ambang batas kelulusan teknis (passing grade) yang menggugurkan. SE menegaskan bahwa ini adalah kriteria untuk mendapatkan insentif (preferensi harga), bukan syarat wajib.

Kesimpulan

Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2025 memegang peranan strategis sebagai instrumen problem-solving di masa transisi penerapan Perpres No. 46 Tahun 2025. SE ini tidak menciptakan norma baru, melainkan menerjemahkan ketentuan-ketentuan baru yang bersifat umum atau yang implementasinya bergantung pada kesiapan sistem menjadi petunjuk teknis yang dapat segera dieksekusi.

Secara garis besar, SE ini berfokus pada tiga hal:

  1. Memberikan Solusi Pragmatis: Menawarkan jalan keluar (workaround) ketika fitur pada sistem elektronik belum tersedia.
  2. Mendefinisikan Konsep Abstrak: Memberikan definisi operasional untuk istilah-istilah baru dalam Perpres (seperti "pengetahuan" KPA).
  3. Mencegah Salah Interpretasi: Meluruskan pemahaman atas aturan baru yang berpotensi ditafsirkan secara keliru (seperti pada preferensi harga dan syarat kinerja).

Bagi seluruh pelaku pengadaan, SE ini adalah panduan wajib untuk memastikan setiap langkah yang diambil selama masa transisi tetap akuntabel, dapat dipertanggungjawabkan, dan sejalan dengan semangat Perpres No. 46 Tahun 2025, sambil menunggu terbitnya Peraturan LKPP dan pemutakhiran sistem pengadaan secara elektronik secara menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sertifikat Kompetensi Pengadaan - Menyingkap Realitas Keahlian di Balik Jabatan Struktural

Sertifikat Kompetensi Pengadaan: Menyingkap Realitas Keahlian di Balik Jabatan Struktural Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp. Pendahuluan...