Wajah Baru Pilar SDM Pengadaan Pemerintah: Bedah Tuntas Pasal 74, 74A, 74B dalam Perpres 46 Tahun 2025
Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.
File Powerpoint dapat diunduh gratis di https://docs.google.com/presentation/d/1CsLwSpvU4bPFTMocvUQZP1rMj59965mf6RMcRfVpSXk/edit?usp=sharingPengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) adalah urat nadi pembangunan. Di balik triliunan rupiah belanja negara dan daerah, ada sosok-sosok kunci yang merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi setiap prosesnya. Siapa mereka? Ya, mereka adalah Sumber Daya Manusia (SDM) Pengadaan. Sehebat apapun aturannya, tanpa SDM yang mumpuni, tujuan pengadaan untuk mendapatkan barang/jasa yang tepat dari setiap rupiah yang dibelanjakan hanyalah angan-angan belaka.
Kini, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 sebagai perubahan kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018, Pemerintah kembali menegaskan dan memperkuat peran sentral SDM Pengadaan. Perubahan ini bukan sekadar pergeseran kata, melainkan fondasi kuat untuk transformasi. Mari kita bedah tuntas apa saja perubahan signifikan terkait SDM dalam Pasal 74, 74A, dan 74B! ✨
Pasal 74: Kompetensi, Mandat yang Tak Terbantahkan
Pasal 74 dalam Perpres sebelumnya telah mengklasifikasikan SDM PBJ ke dalam tiga kelompok: Pengelola Fungsi, Perancang Kebijakan & Sistem, serta Pendukung Ekosistem. Struktur ini tetap dipertahankan dalam Perpres 46/2025. Namun, muncul satu ayat baru yang sangat fundamental: Pasal 74 ayat (4a).
(4a) Sumber daya pengelola fungsi Pengadaan Barang/Jasa... dan sumber daya perancang kebijakan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa... wajib memiliki kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa.
Maknanya: Ini adalah penegasan yang sangat kuat! Kompetensi bukan lagi nilai plus, melainkan kewajiban bagi para eksekutor (Pengelola Fungsi) dan arsitek sistem (Perancang Kebijakan & Sistem) pengadaan. Logika di baliknya jelas: hanya dengan SDM yang benar-benar kompeten, proses PBJ bisa berjalan efektif. Mereka akan lebih mampu menerjemahkan kebutuhan riil menjadi spesifikasi yang tepat, memilih metode pengadaan yang pas, serta merumuskan kebijakan yang pro-kualitas dan pro-efisiensi.
Kaitannya dengan Pasal 4a? Sangat erat! SDM yang kompeten adalah prasyarat utama untuk menghasilkan barang/jasa yang tepat dari aspek kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi, dan Penyedia. Mereka tahu bagaimana memastikan Penyedia memenuhi syarat, harga yang dibayarkan wajar, dan hasil pekerjaan sesuai ekspektasi. 💪 Ini juga sejalan dengan prinsip bahwa kebijakan dan strategi harus didasarkan pada identifikasi kebutuhan yang akurat, yang hanya bisa dilakukan oleh personel yang memahami konteks dan aturan mainnya.
Pasal 74A: Mengupas Lebih Dalam Pengelola Fungsi PBJ
Pasal 74A fokus pada sub-klasifikasi SDM Pengelola Fungsi (yang menjalankan operasional PBJ). Perpres 16/2018 menyebut mereka terdiri dari Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (JF PPBJ) dan Personel Lainnya. Perpres 46/2025 menambah satu kategori lagi: Aparatur Sipil Negara selain keduanya (Pasal 74A ayat 1c).
Maknanya: Penambahan ini adalah bentuk pengakuan terhadap realitas di lapangan, di mana ASN di luar JF PPBJ atau "Personel Lainnya" yang ditunjuk dalam kondisi khusus, seringkali juga terlibat dalam fungsi operasional PBJ, terutama di instansi dengan keterbatasan SDM. Ini melegitimasi peran mereka, meskipun ketentuan berikutnya akan mengatur lebih detail siapa melakukan apa dan dengan syarat apa.
Perubahan lain ada pada Pasal 74A ayat (2). Jika sebelumnya JF PPBJ wajib dimiliki sebagai Pokja Pemilihan /Pejabat Pengadaan, kini di Perpres 46/2025 kata /Pejabat Pengadaan dihilangkan. Maknanya: Fokus penempatan wajib JF PPBJ ada pada unit Pokja Pemilihan (yang menangani tender/seleksi kompleks). Namun, fleksibilitas penugasan JF PPBJ justru diperluas di Ayat (3), yang kini secara eksplisit menyebutkan JF PPBJ dapat ditugaskan sebagai Pejabat Pengadaan dan/atau PPK, bahkan bantuan ke PA/KPA diperinci mencakup perencanaan, pengelolaan kontrak, dan serah terima.
Maknanya: Pemerintah ingin JF PPBJ, sebagai SDM PBJ yang paling terspesialisasi, bisa dioptimalkan di berbagai titik kritis siklus PBJ. Mereka bisa di Pokja (pemilihan Penyedia yang kompleks), Pejabat Pengadaan (skala lebih kecil/langsung), bahkan sebagai PPK yang bertanggung jawab atas pengelolaan kontrak. Ini penting agar keahlian mereka terintegrasi mulai dari perencanaan (berbasis identifikasi kebutuhan) hingga memastikan output pengadaan sesuai harapan (kualitas, kuantitas, waktu, dll). 🎯
Yang tak kalah penting adalah penambahan Pasal 74A ayat (3a) (BARU) yang mewajibkan persyaratan kompetensi khusus untuk PPK, yang akan diatur lebih lanjut oleh LKPP berkoordinasi dengan Kemenkeu dan Kemendagri. Maknanya: Peran PPK dalam mengelola kontrak sangat krusial, setara dengan proses pemilihan Penyedia. Dengan standar kompetensi yang jelas untuk PPK, diharapkan pelaksanaan kontrak jadi lebih profesional, menjamin hasil yang tepat dan akuntabel sesuai perencanaan awal dari identifikasi kebutuhan.
Perpres baru juga mengubah kriteria pengecualian kewajiban memiliki JF PPBJ di Pasal 74A ayat (4), menghapus kriteria berbasis angka kredit dan menggantinya dengan kriteria TNI/Polri atau Lembaga Lain yang ditetapkan LKPP. Serta menghapus Pasal 74A ayat (9) tentang kedudukan PPK dari JF PPBJ di luar UKPBJ. Sementara itu, Ayat (5a) (BARU) secara jelas merinci bahwa Personel Lainnya (di unit yang dikecualikan) juga dapat ditugaskan sebagai Pejabat Pengadaan atau PPK, mirip dengan JF PPBJ.
Maknanya: Ada upaya untuk memberikan fleksibilitas penugasan, baik bagi JF PPBJ maupun Personel Lainnya, sekaligus memberikan kewenangan terpusat (pada LKPP) untuk mengatur pengecualian. Penghapusan ayat (9) mengindikasikan perlunya kejelasan lebih lanjut mengenai status struktural JF PPBJ yang merangkap PPK, yang mungkin akan diatur dalam regulasi turunan.
Terakhir di Pasal 74A, Perpres 46/2025 menambah Ayat (10) dan (11) (BARU). Ayat (10) memprioritaskan penugasan JF PPBJ sebagai Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan. Ayat (11) memberikan landasan hukum untuk penghargaan dan pengakuan bagi SDM pengelola fungsi PBJ. ✨ Maknanya: Ini adalah upaya strategis untuk memperkuat peran JF PPBJ di lini depan pengadaan dan meningkatkan moral serta retensi SDM PBJ melalui apresiasi. SDM yang merasa dihargai akan lebih termotivasi untuk berkinerja tinggi, yang tentunya berdampak positif pada kualitas proses dan hasil PBJ.
Pasal 74B: Mengelola Keterbatasan SDM dengan Cerdas
Pasal 74B mengatur kondisi transisi ketika jumlah JF PPBJ belum mencukupi sesuai rencana aksi pemenuhan. Perpres 16/2018 mengizinkan penggunaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) bersertifikat. Perpres 46/2025 mengganti frasa "Pegawai Negeri Sipil" menjadi "Aparatur Sipil Negara (ASN)" di Ayat (2) dan (3).
Maknanya: Penyesuaian nomenklatur ini sejalan dengan UU ASN terbaru, yang mencakup PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ini memperluas basis personel yang bisa ditugaskan untuk menjalankan fungsi Pokja Pemilihan atau Pejabat Pengadaan di masa transisi kekurangan JF PPBJ, termasuk dari unsur PPPK yang bersertifikat. Fleksibilitas ini penting agar proses PBJ (dan pemenuhan kebutuhan) tetap berjalan lancar. 🤝
Yang paling menarik dan komprehensif di Pasal 74B Perpres 46/2025 adalah pengaturan spesifik mengenai Personel Lainnya di instansi yang dikecualikan dari kewajiban JF PPBJ. Ditambahkan Ayat (3a) (BARU) yang mewajibkan instansi tersebut untuk menyusun rencana aksi pemenuhan Personel Lainnya. Lalu, Ayat (3b) (BARU) mengatur detail tata cara penugasan Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan jika jumlah Personel Lainnya yang bersertifikat kompetensi belum mencukupi – di Pokja Pemilihan harus ada minimal satu Personel Lainnya bersertifikat kompetensi, sementara yang lain bisa bersertifikat dasar; untuk Pejabat Pengadaan bisa oleh Personel Lainnya bersertifikat dasar jika yang kompeten tidak ada.
Pasal 74B: Mengelola Keterbatasan SDM dan Mengoptimalkan Personel Non-JF PBJ dalam Proses Pengadaan
Pasal 74B dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2025 adalah manifestasi konkret dari adaptasi regulasi terhadap realitas pengelolaan SDM Pengadaan di lapangan. Pasal ini secara fundamental berbicara tentang bagaimana fungsi-fungsi vital dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP), terutama yang dijalankan oleh Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan) dan Pejabat Pengadaan, tetap dapat berjalan efektif dan akuntabel meskipun kondisi ideal ketersediaan Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (JF PPBJ) belum tercapai di semua Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD).
Penyesuaian Nomenklatur dan Implikasinya (Ayat 2 dan 3)
Perubahan yang pertama kali nampak pada Pasal 74B ayat (2) dan (3) adalah penggantian frasa "Pegawai Negeri Sipil" menjadi "Aparatur Sipil Negara (ASN)". Sekilas, ini mungkin terlihat seperti perubahan redaksional minor. Namun, dalam konteks hukum kepegawaian Indonesia, ini adalah penyesuaian yang signifikan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. UU ASN membagi ASN menjadi dua kategori besar: Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Maknanya Diperluas: Dengan mengganti "PNS" menjadi "ASN", Perpres 46/2025 secara eksplisit memperluas basis personel internal yang memenuhi syarat untuk ditugaskan sebagai anggota Pokja Pemilihan atau Pejabat Pengadaan di masa transisi kekurangan JF PPBJ. Sebelumnya, hanya PNS bersertifikat yang diizinkan mengisi peran ini ketika JF PPBJ tidak mencukupi. Kini, PPPK yang juga memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat keahlian tingkat dasar/level-1 di bidang PBJ pun secara legal dapat ditugaskan. 🧑💼🤝
Ini adalah langkah pragmatis yang sangat penting. Pemerintah menyadari bahwa proses pemenuhan formasi JF PPBJ membutuhkan waktu dan tantangan, terutama di daerah atau K/L/PD tertentu. Dengan melibatkan PPPK yang bersertifikat, K/L/PD memiliki kolam sumber daya yang lebih besar untuk memastikan fungsi PBJ tetap berjalan. Fleksibilitas ini krusial untuk menjaga keberlangsungan proses PBJ (aspek waktu) dan memastikan pemenuhan kebutuhan barang/jasa sesuai kuantitas yang telah diidentifikasi, tanpa harus tertunda akibat kekurangan personel. Ini juga mendukung efisiensi, karena K/L/PD dapat mengoptimalkan personel yang ada dengan bekal kompetensi yang relevan.
Meningkatkan Status dan Mengatur Tata Kelola "Personel Lainnya" (Ayat 3a dan 3b BARU)
Bagian paling inovatif dan komprehensif dari Pasal 74B Perpres 46/2025 terletak pada penambahan Ayat (3a) dan (3b). Ayat-ayat ini secara spesifik mengatur kategori "Personel Lainnya" yang sebelumnya hanya disebut secara umum. Penting untuk diingat, "Personel Lainnya" ini utamanya adalah ASN (atau personel yang disetarakan seperti TNI/Polri) yang menjalankan fungsi PBJ di instansi yang dikecualikan dari kewajiban memiliki JF PPBJ sesuai dengan perubahan pada Pasal 74A ayat (4) Perpres 46/2025.
Ayat (3a) (BARU): Rencana Aksi Pemenuhan Personel Lainnya
(3a) Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang pengelolaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan oleh Personel Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74A ayat (5) menyusun rencana aksi pemenuhan Personel Lainnya.
Maknanya Diperluas: Penambahan ayat ini adalah bentuk pengakuan formal dan peningkatan status bagi "Personel Lainnya" sebagai SDM PBJ yang penting. Jika sebelumnya fokus "rencana aksi" hanya pada pemenuhan JF PPBJ, kini instansi yang memang mengandalkan Personel Lainnya wajib memiliki rencana sistematis untuk kategori SDM ini. Ini bukan lagi urusan ad-hoc atau asal tunjuk, melainkan sebuah proses perencanaan yang harus didasarkan pada kebutuhan nyata instansi tersebut. 📝
Rencana aksi pemenuhan Personel Lainnya ini harus mencakup identifikasi:
- Berapa banyak Personel Lainnya yang dibutuhkan untuk menangani volume dan kompleksitas pengadaan?
- Kompetensi atau sertifikasi apa yang mereka perlukan (dasar/level-1, kompetensi, atau keahlian spesifik)?
- Bagaimana strategi untuk melatih, mensertifikasi, dan menugaskan mereka secara efektif?
Ini adalah terjemahan dari prinsip identifikasi kebutuhan ke dalam konteks SDM. Rencana aksi ini memastikan bahwa struktur Personel Lainnya dibangun berdasarkan beban kerja dan jenis pengadaan yang ada di instansi yang bersangkutan, bukan sekadar mengisi kekosongan. Ini adalah langkah krusial untuk meningkatkan profesionalisme pengelolaan PBJ bahkan di unit yang tidak memiliki JF PPBJ.
Ayat (3b) (BARU): Aturan Penugasan Saat Personel Lainnya Bersertifikat Kompetensi Belum Cukup
(3b) Dalam hal jumlah Personel Lainnya yang memiliki Sertifikat Kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa yang pengelolaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan oleh Personel Lainnya belum mencukupi sesuai rencana aksi pemenuhan Personel Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3a), maka:
a. pelaksanaan tugas Pokja Pemilihan dilakukan dengan ketentuan:
1. Pokja Pemilihan beranggotakan sekurang-kurangnya 1 (satu) Personel Lainnya yang memiliki Sertifikat Kompetensi; dan
2. Anggota Pokja Pemilihan dilaksanakan oleh Personel Lainnya yang memiliki sertifikat keahlian tingkat dasar/level-1 di bidang Pengadaan Barang/Jasa.1
b. pelaksanaan tugas Pejabat Pengadaan yang tidak dapat dilakukan oleh Personel Lainnya yang memiliki Sertifikat Kompetensi, dilakukan oleh Personel Lainnya yang memiliki sertifikat keahlian tingkat dasar/level-1 di bidang Pengadaan Barang/Jasa.2
Maknanya Diperluas: Ayat ini memberikan panduan operasional yang sangat rinci dan realistis. Pemerintah menyadari bahwa meskipun sudah ada rencana aksi, pemenuhan Personel Lainnya yang bersertifikat kompetensi (tingkat yang lebih tinggi dari dasar/level-1) mungkin juga memerlukan waktu. Ayat (3b) mengatur "kondisi transisi di dalam transisi", yaitu apa yang harus dilakukan jika Personel Lainnya yang kompeten belum memadai di unit yang memang mengandalkan Personel Lainnya.
- Untuk Pokja Pemilihan (3b.a): Ini adalah fungsi yang menangani proses tender/seleksi yang kompleks. Peraturan mensyaratkan minimal satu anggota Pokja berasal dari Personel Lainnya yang sudah memiliki Sertifikat Kompetensi. Anggota Pokja lainnya (dari kategori Personel Lainnya juga) cukup memiliki sertifikat keahlian tingkat dasar/level-1.
- Implikasi: Ini menciptakan standar minimal kompetensi dalam setiap Pokja yang dijalankan oleh Personel Lainnya. Keberadaan minimal satu personel yang kompeten diharapkan dapat membimbing dan memastikan proses pemilihan Penyedia yang lebih kompleks tetap berjalan sesuai aturan dan prinsip pengadaan. Ini adalah upaya untuk menjaga kualitas proses pemilihan dan mendapatkan Penyedia yang tepat, meskipun SDM yang digunakan bukan dari JF PPBJ secara penuh. Ini adalah langkah mitigasi risiko yang cerdas. 👍
- Untuk Pejabat Pengadaan (3b.b): Ini umumnya menangani pengadaan langsung atau penunjukan langsung yang secara prosedur lebih sederhana. Jika Pejabat Pengadaan tidak dapat diisi oleh Personel Lainnya bersertifikat kompetensi, maka dapat diisi oleh Personel Lainnya yang hanya memiliki sertifikat keahlian tingkat dasar/level-1.
- Implikasi: Ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk fungsi yang kurang kompleks. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pengadaan skala kecil/standar tetap dapat dieksekusi tanpa hambatan berarti. Ini secara langsung menjaga aspek waktu dan kuantitas pemenuhan kebutuhan, memastikan barang/jasa dapat segera diperoleh untuk mendukung operasional atau layanan publik.
Relevansi dengan Tujuan PBJ (Pasal 4a) dan Identifikasi Kebutuhan:
Secara keseluruhan, perubahan pada Pasal 74B, khususnya penambahan Ayat (3a) dan (3b), menunjukkan pemikiran yang lebih matang mengenai pengelolaan SDM PBJ di Indonesia:
- Rencana Aksi Personel Lainnya (3a): Menjamin bahwa even di unit yang dikecualikan, kebutuhan SDM PBJ direncanakan secara sistematis berdasarkan identifikasi kebutuhan PBJ unit tersebut. Ini adalah langkah proaktif menuju profesionalisme di semua lini.
- Aturan Penugasan Berlapis (3b): Merupakan skema manajemen risiko SDM yang memungkinkan kelangsungan operasional (aspek waktu, kuantitas) sambil tetap berusaha menjaga kualitas proses pemilihan Penyedia (dengan mensyaratkan minimal 1 kompeten di Pokja). Ini adalah upaya menyeimbangkan tujuan efisiensi dengan akuntabilitas. ⚖️
- Fleksibilitas ASN (Ayat 2 & 3): Memperluas opsi personel (termasuk PPPK) di masa transisi kekurangan JF PPBJ, memastikan proses pengadaan tetap berjalan dan kebutuhan dapat dipenuhi.
Pasal 74B yang baru ini adalah bukti bahwa Pemerintah tidak menutup mata terhadap tantangan pemenuhan SDM PBJ. Regulasi ini memberikan "jalan tengah" yang lebih terstruktur dan mensyaratkan tingkat kompetensi minimal (melalui sertifikasi) bahkan di luar jalur JF PPBJ, demi memastikan bahwa tujuan utama PBJ – mendapatkan barang/jasa yang tepat sesuai kebutuhan – tetap dapat dicapai dalam berbagai kondisi ketersediaan SDM. Ini adalah langkah penting dalam membangun ekosistem PBJP yang tangguh dan adaptif.
Kesimpulan: Menuju Era SDM PBJ yang Lebih Profesional & Adaptif
Telaah Pasal 74, 74A, dan 74B Perpres 46 Tahun 2025 menunjukkan komitmen kuat Pemerintah untuk memperkuat pondasi SDM dalam sistem PBJP. Perubahan-perubahan ini tidak hanya menyentuh struktur dan penugasan, tetapi yang terpenting adalah penegasan mandat kompetensi bagi para pelakunya, termasuk PPK.
Selain itu, Perpres baru lebih realistis dan adaptif dengan memberikan panduan jelas untuk kondisi transisi kekurangan JF PPBJ dan mengakui serta mengatur peran Personel Lainnya secara lebih komprehensif.
Semua perubahan ini, jika diimplementasikan dengan baik, akan mendorong terciptanya SDM PBJ yang lebih profesional, kompeten, dan termotivasi. SDM yang demikian adalah aset paling berharga untuk memastikan bahwa setiap rupiah anggaran negara dan daerah dibelanjakan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, menghasilkan barang/jasa yang tepat sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi di awal. Ini adalah langkah maju menuju PBJ yang lebih berkualitas demi pembangunan nasional yang lebih baik. 🚀🇲🇨
Berarti boleh untuk ASN (selain JF PBJ) yang hanya memiliki sertifikat tingkat dasar/level 1 menjabat sebagai PP/Pokja?
BalasHapus