Ketika Audit Menantang Kepastian Kontrak: Menelaah Dalih 'Kemahalan Harga' Pasca-Transaksi dalam Pengadaan Pemerintah
Pengadaan
barang/jasa pemerintah adalah urat nadi pembangunan. Triliunan rupiah anggaran
negara mengalir melalui mekanisme ini untuk mewujudkan berbagai program dan
proyek demi kesejahteraan rakyat. Dalam proses yang kompleks ini, peran audit,
khususnya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sangat krusial sebagai pengawal
akuntabilitas dan efisiensi penggunaan keuangan negara. Namun, belakangan
mencuat fenomena temuan audit yang meminta pengembalian dana dari penyedia
semata-mata dengan dalih "kemahalan harga" berdasarkan interpretasi
harga pasar setelah transaksi selesai, meskipun kontrak telah tuntas
dilaksanakan, barang/jasa telah diterima sesuai spesifikasi, dan pembayaran
telah lunas.
Praktik
ini, jika tidak dilandasi pijakan hukum yang kuat, berpotensi menggerus fondasi
kepastian hukum dalam berkontrak dengan pemerintah dan mencederai
prinsip-prinsip dasar yang telah lama dipegang teguh dalam sistem hukum kita.
Pacta
Sunt Servanda: Pilar Kontrak yang Tak Tergoyahkan
Mari
kita kembali pada prinsip fundamental hukum perdata yang menjadi landasan
setiap perikatan yang sah: Pacta Sunt Servanda. Pasal 1338 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) secara tegas menyatakan,
"Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya."1
Dalam
konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, Surat Pesanan (SP) atau Surat
Perintah Kerja (SPK) yang diterbitkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
disepakati oleh penyedia melalui mekanisme seperti e-katalog, merupakan
perwujudan konkret dari "persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang." Harga yang tercantum dan disepakati di dalamnya adalah
harga yang mengikat secara final bagi kedua belah pihak pada saat
kontrak ditandatangani. Harga ini bukan sekadar angka, melainkan kristalisasi
kesepakatan nilai atas barang/jasa yang akan diserahkan pada momen
kesepakatan itu. Sepanjang penyedia telah menunaikan kewajibannya sesuai
kontrak, harga tersebut adalah haknya yang sah dan kewajiban PPK untuk
membayarkan.
Regulasi
Pengadaan: Mekanisme Perubahan Kontrak yang Terbatas dan Tertib
Regulasi
pengadaan barang/jasa pemerintah, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021,
serta aturan pelaksananya, telah menyediakan mekanisme yang jelas – dan sangat
terbatas – untuk melakukan perubahan kontrak setelah ditandatangani. Perubahan
ini, yang biasanya diformalkan melalui adendum, hanya dimungkinkan karena
alasan-alasan spesifik seperti perubahan ruang lingkup, penyesuaian jadwal,
perubahan kuantitas (CCO/DCO), penyesuaian harga untuk kontrak jangka panjang
dengan klausul yang jelas, atau kondisi kahar (force majeure).
Syarat-syarat
umum kontrak standar pengadaan pemerintah pun merinci kondisi-kondisi tersebut.
Namun, di sinilah letak kritiknya: tidak satu pun dari ketentuan dalam
regulasi pengadaan maupun syarat umum kontrak tersebut yang mencantumkan
"temuan audit mengenai perbedaan harga pasar pasca-pelaksanaan kontrak"
sebagai dasar yang sah untuk mengubah nilai kontrak secara sepihak atau, bahkan
lebih jauh, meminta pengembalian sebagian pembayaran yang telah lunas.
Perubahan nilai kontrak yang sah memerlukan kesepakatan kedua belah pihak
melalui adendum, bukan penetapan sepihak yang muncul belakangan berdasarkan
analisis harga setelah semua proses selesai.
Membedah
Dasar Pengembalian yang Sah: Bukan Sekadar 'Kemahalan' Pasca-Transaksi
Penting
untuk membedakan temuan audit yang meminta pengembalian dana dengan dalih
"kemahalan" berdasarkan interpretasi pasar pasca-transaksi, dengan
kondisi-kondisi sah yang memang mewajibkan penyedia mengembalikan uang
negara. Pengembalian dana secara hukum timbul dari pelanggaran fundamental
terhadap kontrak atau adanya perbuatan melawan hukum yang serius.
Kondisi-kondisi sah tersebut meliputi:
- Transaksi
Fiktif: Uang
negara keluar, namun barang/jasa yang dibayarkan ternyata tidak ada
wujudnya sama sekali atau tidak diserahkan. Ini adalah pengeluaran yang
tidak memiliki dasar fisik dan substansi.
- Ketidaksesuaian
Spesifikasi (Under Spec):
Barang/jasa diserahkan, namun kualitas, kuantitas, atau spesifikasi
teknisnya tidak sesuai dengan yang tertera dalam kontrak, sehingga
nilainya berkurang atau tidak dapat digunakan sesuai tujuan. Pengembalian
di sini didasarkan pada kegagalan pemenuhan substansi kontrak.
- Pelanggaran
Hukum Berat/Tindak Pidana (Suap, Gratifikasi, Kolusi): Adanya unsur suap,
gratifikasi, kolusi, atau perbuatan melawan hukum lainnya dalam proses
pengadaan yang secara fundamental merusak keabsahan proses perikatan itu
sendiri dan menyebabkan harga menjadi tidak wajar sejak awal akibat
intervensi ilegal.
Tidak
dapat dimungkiri, realitas pahit praktik pengadaan di lapangan memang
menunjukkan adanya oknum-oknum yang sengaja menaikkan harga di awal kontrak
untuk kemudian 'meminta bagian' atau 'cashback' (gratifikasi/suap) dari
penyedia. Inilah
sesungguhnya titik fokus temuan yang patut didukung dan ditindak tegas. Jika
sebuah temuan audit mampu membuktikan secara meyakinkan adanya praktik suap,
gratifikasi, atau kolusi tersebut, atau membuktikan transaksi yang fiktif, atau
adanya pembayaran yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak yang disepakati
(under spec), maka tuntutan pengembalian uang negara adalah sah dan sesuai
koridor hukum untuk memulihkan kerugian negara yang nyata akibat pelanggaran
tersebut.
Namun,
kondisi ini berbeda fundamental dengan temuan audit yang hanya didasarkan pada
perbandingan harga pasar yang dilakukan setelah kontrak selesai dan
dibayar lunas, tanpa mampu membuktikan adanya transaksi fiktif,
ketidaksesuaian spesifikasi yang signifikan, apalagi unsur pidana yang merusak
keabsahan perikatan di awal.
Jika audit tidak menemukan bukti-bukti kuat adanya pelanggaran substansi
kontrak (fiktif/under spec) atau adanya suap/gratifikasi/kolusi yang
mempengaruhi harga sejak awal, maka transaksi jual beli antara pemerintah (PPK)
dan penyedia tersebut, sesuai prinsip pacta sunt servanda, adalah sah
berdasarkan hak dan kewajiban yang timbul dari kesepakatan yang tertuang dalam
kontrak. Uang negara yang keluar adalah pembayaran sah atas hak penyedia yang
telah menunaikan kewajibannya.
Prinsip
ini sejalan dengan penegasan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia
mengenai unsur kerugian negara. Melalui beberapa putusannya, terutama Putusan
MK Nomor 003/PUU-IV/2006, MK telah menegaskan bahwa kerugian negara yang
dimaksud dalam undang-undang, khususnya terkait tindak pidana korupsi, haruslah
bersifat "nyata (actual loss) dan pasti jumlahnya", bukan
sekadar potensi atau perkiraan yang belum terwujud atau belum pasti nilainya.
Artinya, kerugian itu harus dapat dihitung secara konkret berdasarkan bukti
yang ada pada saat pemeriksaan
Dalam
pertimbangannya, MK menyatakan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara" dalam UU Tipikor harus dimaknai sebagai "kerugian
negara yang nyata (actual loss) dan bukan sekadar potensi (potential
loss)" serta "pasti jumlahnya". Kerugian tersebut
harus sudah terjadi dan jumlahnya tertentu atau setidaknya dapat dihitung
secara pasti berdasarkan bukti-bukti yang ada, bukan sekadar perkiraan atau
potensi yang belum tentu terjadi atau belum pasti jumlahnya.
Prinsip
"kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya" ini menjadi penting
dalam penentuan ada atau tidaknya unsur kerugian negara dalam sebuah perkara,
khususnya tindak pidana korupsi, dan jumlah yang harus dipertanggungjawabkan.
Ini menekankan bahwa kerugian tersebut harus dibuktikan secara konkret dan
terukur, bukan berdasarkan asumsi atau penafsiran yang belum final.
Bayang-Bayang
Ketidakpastian: Dampak Negatif Interpretasi Pasca-Transaksi yang Tidak Berbasis
Bukti Kuat
Jika
temuan audit yang didasarkan pada penafsiran harga pasar pasca-pelaksanaan
kontrak tanpa bukti pelanggaran substansi atau hukum berat dapat secara
sepihak "membatalkan" atau mengubah nilai kontrak yang telah
disepakati dan dibayar lunas, implikasinya sangat merusak ekosistem pengadaan:
- Menggerus
Prinsip Pacta Sunt Servanda: Menempatkan kesepakatan harga yang sah dan
mengikat di bawah bayang-bayang interpretasi retrospektif yang tidak
diatur dalam kontrak maupun regulasi.
- Menciptakan
Ketidakpastian Hukum yang Parah:
Penyedia akan selalu merasa tidak aman dalam berkontrak dengan pemerintah.
Harga yang telah disepakati, bahkan setelah pekerjaan selesai dan dibayar,
bisa digugat kembali di kemudian hari hanya karena auditor memiliki
pandangan berbeda tentang harga yang seharusnya berlaku pada saat
transaksi (atau pada saat audit dilakukan?), tanpa bukti adanya
pelanggaran hukum atau kontrak di awal.
- Mencederai
Filosofi E-katalog:
Mekanisme e-katalog dirancang untuk mempercepat proses pengadaan dengan
memberikan kepastian harga yang transparan di muka. Menafsirkan
ulang harga di ujung proses hanya berdasarkan perbandingan harga
pasca-transaksi mencederai esensi kepastian dan efisiensi yang dibangun
e-katalog.
- Tanpa
Sandaran Regulasi yang Memadai:
Seperti diuraikan sebelumnya, tidak ada pasal atau ketentuan eksplisit
dalam regulasi pengadaan yang memberikan dasar hukum bagi tindakan koreksi
nilai kontrak berdasarkan temuan audit atas interpretasi harga pasar
pasca-transaksi ini tanpa adanya bukti pelanggaran lain yang
mendasar.
Pola
temuan yang menafsirkan ulang harga kontrak yang telah disepakati dan
dilaksanakan berdasarkan perbandingan harga pasca-transaksi, tanpa adanya bukti
kuat pelanggaran substansi kontrak atau hukum yang mendasar, tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip praktik terbaik dalam pengadaan publik yang diakui
secara internasional. Kerangka kerja pengadaan internasional, seperti yang
dipromosikan oleh UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade
Law) melalui Model Law on Public Procurement, serta prinsip-prinsip dalam
Agreement on Government Procurement (GPA) World Trade Organization (WTO),
sangat menekankan kepastian hukum, transparansi, dan prediktabilitas
sebagai fondasi utama untuk menciptakan lingkungan pengadaan yang efisien dan
menarik partisipasi pelaku usaha yang berkualitas.
Kerangka
Kerja Pengadaan Internasional: Pilar Kepastian dan Transparansi Global
Kerangka
kerja pengadaan internasional, seperti yang dipromosikan oleh UNCITRAL (United
Nations Commission on International Trade Law) melalui Model Law on Public
Procurement, serta prinsip-prinsip dalam Agreement on Government Procurement
(GPA) World Trade Organization (WTO), sangat menekankan kepastian hukum,
transparansi, dan prediktabilitas sebagai fondasi utama untuk menciptakan
lingkungan pengadaan yang efisien dan menarik partisipasi pelaku usaha yang
berkualitas. Prinsip-prinsip ini dirancang untuk meminimalkan risiko, mendorong
persaingan sehat, dan mencegah praktik koruptif sejak dini dalam proses
pengadaan.
Model
Law on Public Procurement UNCITRAL
bertujuan menyediakan kerangka legislatif komprehensif yang dapat diadopsi
negara-negara untuk modernisasi sistem pengadaan mereka. Hukum Model ini
menekankan transparansi di setiap tahapan siklus pengadaan, mulai dari
perencanaan, pengumuman peluang, proses penawaran dan evaluasi, hingga
penetapan pemenang dan pelaksanaan kontrak. Kejelasan prosedur dan aturan ini
bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pengadaan dan
prediktabilitas bagi para pemasok yang berpartisipasi (sebagaimana
disebutkan dalam rujukan [1.1]). Dengan mempromosikan objektivitas, kewajaran,
partisipasi, dan integritas, Model Law ini berupaya mencapai nilai terbaik
untuk uang (value for money) melalui persaingan yang adil dan
akuntabilitas keputusan (rujukan [1.4], [1.7]).
Sementara
itu, Agreement on Government Procurement (GPA) WTO menetapkan
serangkaian hak dan kewajiban di antara negara-negara anggotanya terkait proses
pengadaan pemerintah. Dua prinsip fundamental GPA adalah non-diskriminasi
dan transparansi (rujukan [2.3], [2.7]). Non-diskriminasi memastikan
perlakuan yang sama bagi barang, jasa, dan pemasok dari semua negara anggota
GPA. Transparansi diwujudkan melalui kewajiban publikasi pengumuman pengadaan,
informasi yang jelas mengenai prosedur, dan ketersediaan informasi relevan
lainnya (rujukan [2.2]). GPA mengakui perlunya fleksibilitas, namun mewajibkan
pengadaan dilakukan secara transparan dan imparsial, serta menghindari konflik
kepentingan dan praktik koruptif (rujukan [2.1], [2.7]). Perubahan pada cakupan
pengadaan yang tunduk pada GPA pun umumnya memerlukan pemberitahuan dan
kesepakatan atau tidak adanya keberatan dari pihak-pihak lain (rujukan [2.3]).
Pacta
Sunt Servanda
sebagai prinsip universal dalam hukum kontrak perdata adalah tiang utama
kepastian ini, diakui dan diintegrasikan dalam kerangka hukum domestik yang
sejalan dengan standar internasional. Menantang harga kontrak yang telah sah
disepakati dan dilaksanakan hanya berdasarkan evaluasi harga setelah
fakta, tanpa adanya bukti kuat pelanggaran substansi kontrak (fiktif, tidak
sesuai spesifikasi) atau hukum yang mendasar (suap, gratifikasi, kolusi) di
awal atau selama pelaksanaan, secara fundamental mengikis prediktabilitas
yang diharapkan oleh penyedia internasional maupun domestik yang berinteraksi
dalam sistem pengadaan.
Hal
ini kontras dengan standar audit internasional, misalnya panduan dari INTOSAI
(International Organization of Supreme Audit Institutions), yang dalam konteks
audit pengadaan menekankan verifikasi kepatuhan terhadap hukum, regulasi, dan
ketentuan kontrak yang berlaku pada saat proses berlangsung dan saat
pelaksanaan. Audit kinerja juga dilakukan untuk menilai ekonomi, efisiensi,
dan efektivitas dalam mencapai nilai terbaik untuk uang, namun kriteria untuk
audit kepatuhan secara spesifik berasal dari hukum dan regulasi yang berlaku
(rujukan [3.6]). Koreksi finansial dan tuntutan pengembalian didasarkan pada
temuan konkret atas ketidakpatuhan atau penyimpangan yang menyebabkan kerugian
nyata sesuai kerangka hukum dan kontrak. Intepretasi harga pasar untuk tujuan
koreksi pembayaran pada kontrak yang telah tuntas dilaksanakan dan dibayar
lunas, tanpa basis pelanggaran lainnya, bukanlah standar umum dalam pemulihan
kerugian negara di yurisdiksi yang menjunjung tinggi kepastian hukum kontrak
dalam pengadaan publik sejalan dengan prinsip-prinsip internasional.
Pacta
Sunt Servanda
sebagai prinsip universal dalam hukum kontrak perdata adalah tiang utama
kepastian ini. Menantang harga kontrak yang telah sah disepakati dan
dilaksanakan hanya berdasarkan evaluasi harga setelah fakta, tanpa bukti
pelanggaran yang jelas di awal atau selama pelaksanaan, secara fundamental mengikis
prediktabilitas yang diharapkan oleh penyedia internasional maupun
domestik. Hal ini kontras dengan standar audit internasional yang, dalam
konteks kepatuhan kontrak dan pengadaan, cenderung fokus pada verifikasi
kepatuhan terhadap hukum dan ketentuan kontrak saat proses berlangsung dan
saat pelaksanaan, serta mendasarkan koreksi finansial pada bukti
pelanggaran yang jelas seperti transaksi fiktif, ketidaksesuaian
kualitas/kuantitas, atau adanya praktik korupsi yang secara langsung
mempengaruhi perikatan awal. Intepretasi harga pasar untuk tujuan koreksi
pembayaran pada kontrak yang telah tuntas dilaksanakan dan dibayar lunas, tanpa
basis pelanggaran lainnya, bukanlah standar umum dalam pemulihan kerugian
negara di yurisdiksi yang menjunjung tinggi kepastian hukum kontrak dalam
pengadaan publik.
Penutup
Audit
adalah keniscayaan dan instrumen vital untuk menjaga akuntabilitas keuangan
negara. Namun, pelaksanaannya harus teguh berpegang pada koridor hukum yang
berlaku. Argumentasi bahwa "aturan pengadaan barang/jasa pada syarat
berkontrak tidak mengatur perubahan nilai kontrak atas konsep temuan audit
[yang didasarkan pada penafsiran pasar pasca-transaksi] tanpa didukung bukti
pelanggaran substansi kontrak atau hukum berat" adalah argumen yang
kokoh, berakar pada prinsip finalitas kesepakatan dalam hukum kontrak perdata
dan spesifikasi mekanisme perubahan kontrak dalam hukum publik pengadaan.
Penting
untuk ditegaskan kembali: jika audit menemukan dan dapat membuktikan adanya
transaksi fiktif, penyerahan barang/jasa di bawah spesifikasi, atau adanya
praktik suap/gratifikasi/kolusi yang mempengaruhi harga, maka tindakan koreksi
dan tuntutan pengembalian dana adalah tepat dan harus didukung sepenuhnya. Inilah bentuk audit yang
benar-benar menjaga keuangan negara dari kebocoran akibat praktik ilegal.
Namun, menuntut pengembalian dana semata-mata berdasarkan interpretasi harga
pasar setelah transaksi selesai, tanpa adanya bukti-bukti kuat
pelanggaran substansi kontrak atau hukum berat yang mendasarinya, berisiko
menciptakan preseden buruk, mematikan semangat pelaku usaha yang jujur untuk
berinteraksi dengan pemerintah, dan ironisnya, justru menimbulkan
ketidakpastian dalam sistem pengadaan yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip
kepastian hukum dan kepercayaan.
Penting
bagi semua pihak, termasuk auditor, untuk kembali merujuk pada prinsip-prinsip
dasar hukum kontrak dan batasan-batasan yang secara eksplisit diatur dalam
regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah agar proses audit tetap efektif dalam
memberantas korupsi dan pelanggaran nyata, tanpa mengorbankan pilar kepastian
hukum yang esensial bagi iklim usaha dan pembangunan nasional.
Daftar
Rujukan
Artikel
ini merujuk pada sejumlah landasan hukum dan kerangka kerja, antara lain:
- Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Pasal 1338 ayat (1).
- Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
- Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 20ohan Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
- Aturan
turunan dari Peraturan Presiden terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(misalnya, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
tentang Kontrak Pengadaan) - Disebutkan dalam teks sebagai kerangka
pengaturan.
- UNCITRAL
Model Law on Public Procurement. [Tautan informasi dan teks: https://uncitral.un.org/en/texts/procurement/modellaw]
- Agreement
on Government Procurement (GPA), World Trade Organization (WTO). [Tautan
informasi dan teks: https://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar