Sabtu, 10 Mei 2025

Ketika Audit Menantang Kepastian Kontrak - Menelaah Dalih 'Kemahalan Harga' Pasca-Transaksi

 

Ketika Audit Menantang Kepastian Kontrak: Menelaah Dalih 'Kemahalan Harga' Pasca-Transaksi dalam Pengadaan Pemerintah

Penulis: Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.



Tautan paparan powerpoint https://docs.google.com/presentation/d/1wlZARdHewpxAlERvgBvNw8emrUmiXHJ-UajGXGi6m40/edit?usp=sharing 

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah urat nadi pembangunan. Triliunan rupiah anggaran negara mengalir melalui mekanisme ini untuk mewujudkan berbagai program dan proyek demi kesejahteraan rakyat. Dalam proses yang kompleks ini, peran audit, khususnya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sangat krusial sebagai pengawal akuntabilitas dan efisiensi penggunaan keuangan negara. Namun, belakangan mencuat fenomena temuan audit yang meminta pengembalian dana dari penyedia semata-mata dengan dalih "kemahalan harga" berdasarkan interpretasi harga pasar setelah transaksi selesai, meskipun kontrak telah tuntas dilaksanakan, barang/jasa telah diterima sesuai spesifikasi, dan pembayaran telah lunas.

Praktik ini, jika tidak dilandasi pijakan hukum yang kuat, berpotensi menggerus fondasi kepastian hukum dalam berkontrak dengan pemerintah dan mencederai prinsip-prinsip dasar yang telah lama dipegang teguh dalam sistem hukum kita.

Pacta Sunt Servanda: Pilar Kontrak yang Tak Tergoyahkan

Mari kita kembali pada prinsip fundamental hukum perdata yang menjadi landasan setiap perikatan yang sah: Pacta Sunt Servanda. Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) secara tegas menyatakan, "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."1

Dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, Surat Pesanan (SP) atau Surat Perintah Kerja (SPK) yang diterbitkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan disepakati oleh penyedia melalui mekanisme seperti e-katalog, merupakan perwujudan konkret dari "persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang." Harga yang tercantum dan disepakati di dalamnya adalah harga yang mengikat secara final bagi kedua belah pihak pada saat kontrak ditandatangani. Harga ini bukan sekadar angka, melainkan kristalisasi kesepakatan nilai atas barang/jasa yang akan diserahkan pada momen kesepakatan itu. Sepanjang penyedia telah menunaikan kewajibannya sesuai kontrak, harga tersebut adalah haknya yang sah dan kewajiban PPK untuk membayarkan.

Regulasi Pengadaan: Mekanisme Perubahan Kontrak yang Terbatas dan Tertib

Regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, serta aturan pelaksananya, telah menyediakan mekanisme yang jelas – dan sangat terbatas – untuk melakukan perubahan kontrak setelah ditandatangani. Perubahan ini, yang biasanya diformalkan melalui adendum, hanya dimungkinkan karena alasan-alasan spesifik seperti perubahan ruang lingkup, penyesuaian jadwal, perubahan kuantitas (CCO/DCO), penyesuaian harga untuk kontrak jangka panjang dengan klausul yang jelas, atau kondisi kahar (force majeure).

Syarat-syarat umum kontrak standar pengadaan pemerintah pun merinci kondisi-kondisi tersebut. Namun, di sinilah letak kritiknya: tidak satu pun dari ketentuan dalam regulasi pengadaan maupun syarat umum kontrak tersebut yang mencantumkan "temuan audit mengenai perbedaan harga pasar pasca-pelaksanaan kontrak" sebagai dasar yang sah untuk mengubah nilai kontrak secara sepihak atau, bahkan lebih jauh, meminta pengembalian sebagian pembayaran yang telah lunas. Perubahan nilai kontrak yang sah memerlukan kesepakatan kedua belah pihak melalui adendum, bukan penetapan sepihak yang muncul belakangan berdasarkan analisis harga setelah semua proses selesai.

Membedah Dasar Pengembalian yang Sah: Bukan Sekadar 'Kemahalan' Pasca-Transaksi

Penting untuk membedakan temuan audit yang meminta pengembalian dana dengan dalih "kemahalan" berdasarkan interpretasi pasar pasca-transaksi, dengan kondisi-kondisi sah yang memang mewajibkan penyedia mengembalikan uang negara. Pengembalian dana secara hukum timbul dari pelanggaran fundamental terhadap kontrak atau adanya perbuatan melawan hukum yang serius. Kondisi-kondisi sah tersebut meliputi:

  1. Transaksi Fiktif: Uang negara keluar, namun barang/jasa yang dibayarkan ternyata tidak ada wujudnya sama sekali atau tidak diserahkan. Ini adalah pengeluaran yang tidak memiliki dasar fisik dan substansi.
  2. Ketidaksesuaian Spesifikasi (Under Spec): Barang/jasa diserahkan, namun kualitas, kuantitas, atau spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang tertera dalam kontrak, sehingga nilainya berkurang atau tidak dapat digunakan sesuai tujuan. Pengembalian di sini didasarkan pada kegagalan pemenuhan substansi kontrak.
  3. Pelanggaran Hukum Berat/Tindak Pidana (Suap, Gratifikasi, Kolusi): Adanya unsur suap, gratifikasi, kolusi, atau perbuatan melawan hukum lainnya dalam proses pengadaan yang secara fundamental merusak keabsahan proses perikatan itu sendiri dan menyebabkan harga menjadi tidak wajar sejak awal akibat intervensi ilegal.

Tidak dapat dimungkiri, realitas pahit praktik pengadaan di lapangan memang menunjukkan adanya oknum-oknum yang sengaja menaikkan harga di awal kontrak untuk kemudian 'meminta bagian' atau 'cashback' (gratifikasi/suap) dari penyedia. Inilah sesungguhnya titik fokus temuan yang patut didukung dan ditindak tegas. Jika sebuah temuan audit mampu membuktikan secara meyakinkan adanya praktik suap, gratifikasi, atau kolusi tersebut, atau membuktikan transaksi yang fiktif, atau adanya pembayaran yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak yang disepakati (under spec), maka tuntutan pengembalian uang negara adalah sah dan sesuai koridor hukum untuk memulihkan kerugian negara yang nyata akibat pelanggaran tersebut.

Namun, kondisi ini berbeda fundamental dengan temuan audit yang hanya didasarkan pada perbandingan harga pasar yang dilakukan setelah kontrak selesai dan dibayar lunas, tanpa mampu membuktikan adanya transaksi fiktif, ketidaksesuaian spesifikasi yang signifikan, apalagi unsur pidana yang merusak keabsahan perikatan di awal. Jika audit tidak menemukan bukti-bukti kuat adanya pelanggaran substansi kontrak (fiktif/under spec) atau adanya suap/gratifikasi/kolusi yang mempengaruhi harga sejak awal, maka transaksi jual beli antara pemerintah (PPK) dan penyedia tersebut, sesuai prinsip pacta sunt servanda, adalah sah berdasarkan hak dan kewajiban yang timbul dari kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Uang negara yang keluar adalah pembayaran sah atas hak penyedia yang telah menunaikan kewajibannya.

Prinsip ini sejalan dengan penegasan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengenai unsur kerugian negara. Melalui beberapa putusannya, terutama Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006, MK telah menegaskan bahwa kerugian negara yang dimaksud dalam undang-undang, khususnya terkait tindak pidana korupsi, haruslah bersifat "nyata (actual loss) dan pasti jumlahnya", bukan sekadar potensi atau perkiraan yang belum terwujud atau belum pasti nilainya. Artinya, kerugian itu harus dapat dihitung secara konkret berdasarkan bukti yang ada pada saat pemeriksaan

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam UU Tipikor harus dimaknai sebagai "kerugian negara yang nyata (actual loss) dan bukan sekadar potensi (potential loss)" serta "pasti jumlahnya". Kerugian tersebut harus sudah terjadi dan jumlahnya tertentu atau setidaknya dapat dihitung secara pasti berdasarkan bukti-bukti yang ada, bukan sekadar perkiraan atau potensi yang belum tentu terjadi atau belum pasti jumlahnya.

Prinsip "kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya" ini menjadi penting dalam penentuan ada atau tidaknya unsur kerugian negara dalam sebuah perkara, khususnya tindak pidana korupsi, dan jumlah yang harus dipertanggungjawabkan. Ini menekankan bahwa kerugian tersebut harus dibuktikan secara konkret dan terukur, bukan berdasarkan asumsi atau penafsiran yang belum final.

 

Bayang-Bayang Ketidakpastian: Dampak Negatif Interpretasi Pasca-Transaksi yang Tidak Berbasis Bukti Kuat

Jika temuan audit yang didasarkan pada penafsiran harga pasar pasca-pelaksanaan kontrak tanpa bukti pelanggaran substansi atau hukum berat dapat secara sepihak "membatalkan" atau mengubah nilai kontrak yang telah disepakati dan dibayar lunas, implikasinya sangat merusak ekosistem pengadaan:

  • Menggerus Prinsip Pacta Sunt Servanda: Menempatkan kesepakatan harga yang sah dan mengikat di bawah bayang-bayang interpretasi retrospektif yang tidak diatur dalam kontrak maupun regulasi.
  • Menciptakan Ketidakpastian Hukum yang Parah: Penyedia akan selalu merasa tidak aman dalam berkontrak dengan pemerintah. Harga yang telah disepakati, bahkan setelah pekerjaan selesai dan dibayar, bisa digugat kembali di kemudian hari hanya karena auditor memiliki pandangan berbeda tentang harga yang seharusnya berlaku pada saat transaksi (atau pada saat audit dilakukan?), tanpa bukti adanya pelanggaran hukum atau kontrak di awal.
  • Mencederai Filosofi E-katalog: Mekanisme e-katalog dirancang untuk mempercepat proses pengadaan dengan memberikan kepastian harga yang transparan di muka. Menafsirkan ulang harga di ujung proses hanya berdasarkan perbandingan harga pasca-transaksi mencederai esensi kepastian dan efisiensi yang dibangun e-katalog.
  • Tanpa Sandaran Regulasi yang Memadai: Seperti diuraikan sebelumnya, tidak ada pasal atau ketentuan eksplisit dalam regulasi pengadaan yang memberikan dasar hukum bagi tindakan koreksi nilai kontrak berdasarkan temuan audit atas interpretasi harga pasar pasca-transaksi ini tanpa adanya bukti pelanggaran lain yang mendasar.

 

Pola temuan yang menafsirkan ulang harga kontrak yang telah disepakati dan dilaksanakan berdasarkan perbandingan harga pasca-transaksi, tanpa adanya bukti kuat pelanggaran substansi kontrak atau hukum yang mendasar, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip praktik terbaik dalam pengadaan publik yang diakui secara internasional. Kerangka kerja pengadaan internasional, seperti yang dipromosikan oleh UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) melalui Model Law on Public Procurement, serta prinsip-prinsip dalam Agreement on Government Procurement (GPA) World Trade Organization (WTO), sangat menekankan kepastian hukum, transparansi, dan prediktabilitas sebagai fondasi utama untuk menciptakan lingkungan pengadaan yang efisien dan menarik partisipasi pelaku usaha yang berkualitas.

Kerangka Kerja Pengadaan Internasional: Pilar Kepastian dan Transparansi Global

Kerangka kerja pengadaan internasional, seperti yang dipromosikan oleh UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) melalui Model Law on Public Procurement, serta prinsip-prinsip dalam Agreement on Government Procurement (GPA) World Trade Organization (WTO), sangat menekankan kepastian hukum, transparansi, dan prediktabilitas sebagai fondasi utama untuk menciptakan lingkungan pengadaan yang efisien dan menarik partisipasi pelaku usaha yang berkualitas. Prinsip-prinsip ini dirancang untuk meminimalkan risiko, mendorong persaingan sehat, dan mencegah praktik koruptif sejak dini dalam proses pengadaan.

Model Law on Public Procurement UNCITRAL bertujuan menyediakan kerangka legislatif komprehensif yang dapat diadopsi negara-negara untuk modernisasi sistem pengadaan mereka. Hukum Model ini menekankan transparansi di setiap tahapan siklus pengadaan, mulai dari perencanaan, pengumuman peluang, proses penawaran dan evaluasi, hingga penetapan pemenang dan pelaksanaan kontrak. Kejelasan prosedur dan aturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pengadaan dan prediktabilitas bagi para pemasok yang berpartisipasi (sebagaimana disebutkan dalam rujukan [1.1]). Dengan mempromosikan objektivitas, kewajaran, partisipasi, dan integritas, Model Law ini berupaya mencapai nilai terbaik untuk uang (value for money) melalui persaingan yang adil dan akuntabilitas keputusan (rujukan [1.4], [1.7]).

Sementara itu, Agreement on Government Procurement (GPA) WTO menetapkan serangkaian hak dan kewajiban di antara negara-negara anggotanya terkait proses pengadaan pemerintah. Dua prinsip fundamental GPA adalah non-diskriminasi dan transparansi (rujukan [2.3], [2.7]). Non-diskriminasi memastikan perlakuan yang sama bagi barang, jasa, dan pemasok dari semua negara anggota GPA. Transparansi diwujudkan melalui kewajiban publikasi pengumuman pengadaan, informasi yang jelas mengenai prosedur, dan ketersediaan informasi relevan lainnya (rujukan [2.2]). GPA mengakui perlunya fleksibilitas, namun mewajibkan pengadaan dilakukan secara transparan dan imparsial, serta menghindari konflik kepentingan dan praktik koruptif (rujukan [2.1], [2.7]). Perubahan pada cakupan pengadaan yang tunduk pada GPA pun umumnya memerlukan pemberitahuan dan kesepakatan atau tidak adanya keberatan dari pihak-pihak lain (rujukan [2.3]).

Pacta Sunt Servanda sebagai prinsip universal dalam hukum kontrak perdata adalah tiang utama kepastian ini, diakui dan diintegrasikan dalam kerangka hukum domestik yang sejalan dengan standar internasional. Menantang harga kontrak yang telah sah disepakati dan dilaksanakan hanya berdasarkan evaluasi harga setelah fakta, tanpa adanya bukti kuat pelanggaran substansi kontrak (fiktif, tidak sesuai spesifikasi) atau hukum yang mendasar (suap, gratifikasi, kolusi) di awal atau selama pelaksanaan, secara fundamental mengikis prediktabilitas yang diharapkan oleh penyedia internasional maupun domestik yang berinteraksi dalam sistem pengadaan.

Hal ini kontras dengan standar audit internasional, misalnya panduan dari INTOSAI (International Organization of Supreme Audit Institutions), yang dalam konteks audit pengadaan menekankan verifikasi kepatuhan terhadap hukum, regulasi, dan ketentuan kontrak yang berlaku pada saat proses berlangsung dan saat pelaksanaan. Audit kinerja juga dilakukan untuk menilai ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dalam mencapai nilai terbaik untuk uang, namun kriteria untuk audit kepatuhan secara spesifik berasal dari hukum dan regulasi yang berlaku (rujukan [3.6]). Koreksi finansial dan tuntutan pengembalian didasarkan pada temuan konkret atas ketidakpatuhan atau penyimpangan yang menyebabkan kerugian nyata sesuai kerangka hukum dan kontrak. Intepretasi harga pasar untuk tujuan koreksi pembayaran pada kontrak yang telah tuntas dilaksanakan dan dibayar lunas, tanpa basis pelanggaran lainnya, bukanlah standar umum dalam pemulihan kerugian negara di yurisdiksi yang menjunjung tinggi kepastian hukum kontrak dalam pengadaan publik sejalan dengan prinsip-prinsip internasional.

Pacta Sunt Servanda sebagai prinsip universal dalam hukum kontrak perdata adalah tiang utama kepastian ini. Menantang harga kontrak yang telah sah disepakati dan dilaksanakan hanya berdasarkan evaluasi harga setelah fakta, tanpa bukti pelanggaran yang jelas di awal atau selama pelaksanaan, secara fundamental mengikis prediktabilitas yang diharapkan oleh penyedia internasional maupun domestik. Hal ini kontras dengan standar audit internasional yang, dalam konteks kepatuhan kontrak dan pengadaan, cenderung fokus pada verifikasi kepatuhan terhadap hukum dan ketentuan kontrak saat proses berlangsung dan saat pelaksanaan, serta mendasarkan koreksi finansial pada bukti pelanggaran yang jelas seperti transaksi fiktif, ketidaksesuaian kualitas/kuantitas, atau adanya praktik korupsi yang secara langsung mempengaruhi perikatan awal. Intepretasi harga pasar untuk tujuan koreksi pembayaran pada kontrak yang telah tuntas dilaksanakan dan dibayar lunas, tanpa basis pelanggaran lainnya, bukanlah standar umum dalam pemulihan kerugian negara di yurisdiksi yang menjunjung tinggi kepastian hukum kontrak dalam pengadaan publik.

 

Penutup

Audit adalah keniscayaan dan instrumen vital untuk menjaga akuntabilitas keuangan negara. Namun, pelaksanaannya harus teguh berpegang pada koridor hukum yang berlaku. Argumentasi bahwa "aturan pengadaan barang/jasa pada syarat berkontrak tidak mengatur perubahan nilai kontrak atas konsep temuan audit [yang didasarkan pada penafsiran pasar pasca-transaksi] tanpa didukung bukti pelanggaran substansi kontrak atau hukum berat" adalah argumen yang kokoh, berakar pada prinsip finalitas kesepakatan dalam hukum kontrak perdata dan spesifikasi mekanisme perubahan kontrak dalam hukum publik pengadaan.

Penting untuk ditegaskan kembali: jika audit menemukan dan dapat membuktikan adanya transaksi fiktif, penyerahan barang/jasa di bawah spesifikasi, atau adanya praktik suap/gratifikasi/kolusi yang mempengaruhi harga, maka tindakan koreksi dan tuntutan pengembalian dana adalah tepat dan harus didukung sepenuhnya. Inilah bentuk audit yang benar-benar menjaga keuangan negara dari kebocoran akibat praktik ilegal. Namun, menuntut pengembalian dana semata-mata berdasarkan interpretasi harga pasar setelah transaksi selesai, tanpa adanya bukti-bukti kuat pelanggaran substansi kontrak atau hukum berat yang mendasarinya, berisiko menciptakan preseden buruk, mematikan semangat pelaku usaha yang jujur untuk berinteraksi dengan pemerintah, dan ironisnya, justru menimbulkan ketidakpastian dalam sistem pengadaan yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum dan kepercayaan.

Penting bagi semua pihak, termasuk auditor, untuk kembali merujuk pada prinsip-prinsip dasar hukum kontrak dan batasan-batasan yang secara eksplisit diatur dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah agar proses audit tetap efektif dalam memberantas korupsi dan pelanggaran nyata, tanpa mengorbankan pilar kepastian hukum yang esensial bagi iklim usaha dan pembangunan nasional.

 

Daftar Rujukan

Artikel ini merujuk pada sejumlah landasan hukum dan kerangka kerja, antara lain:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Pasal 1338 ayat (1).
  2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 20ohan Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  4. Aturan turunan dari Peraturan Presiden terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (misalnya, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tentang Kontrak Pengadaan) - Disebutkan dalam teks sebagai kerangka pengaturan.
  5. UNCITRAL Model Law on Public Procurement. [Tautan informasi dan teks: https://uncitral.un.org/en/texts/procurement/modellaw]
  6. Agreement on Government Procurement (GPA), World Trade Organization (WTO). [Tautan informasi dan teks: https://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AI di Pengadaan Menunggangi Gelombang Perubahan atau Tenggelam dalam Penyangkalan?

AI di Pengadaan Menunggangi Gelombang Perubahan atau Tenggelam dalam Penyangkalan? Penulis: Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp. Sebuah kegelisaha...