Kamis, 23 Oktober 2025

Audit E-Purchasing di Era Digital: Melampaui Pola Tender, Menuju Verifikasi Nilai dan Integritas di Pasar E-Katalog

Audit E-Purchasing di Era Digital: Melampaui Pola Tender, Menuju Verifikasi Nilai dan Integritas di Pasar E-Katalog

Penulis Agus Arif Rakhman M.M CPSp 

Abstrak Eksekutif : Ratusan triliun rupiah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kini dibelanjakan melalui E-purchasing via katalog elektronik (e-katalog), sebuah lompatan efisiensi pengadaan pemerintah. Namun, ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerapkan kacamata audit tender tradisional dan menandai pola transaksi wajar dalam e-katalog—seperti pembelian produk baru tayang, transaksi berulang, hingga pembelian saat harga naik—sebagai "anomali" yang mencurigakan, kita berisiko mematikan dinamisme pasar digital itu sendiri. Paper ini berargumen bahwa pendekatan audit BPK perlu bergeser dari sekadar deteksi pola berbasis tender menuju verifikasi substansi: memastikan value for money tercapai, integritas terjaga, dan prosedur E-purchasing dipatuhi, sesuai amanat SPKN. Fokus pada pola usang berisiko menciptakan efek kekhawatiran (chilling effect) dan menghambat kematangan ekosistem pengadaan digital Indonesia, padahal kompetensi dalam memahami pasar digital adalah kunci.

1. Pendahuluan: Paradoks Pengawasan di Pasar Digital Pemerintah

E-purchasing melalui e-katalog telah menjadi tulang punggung modernisasi pengadaan barang/jasa (PBJ) pemerintah Indonesia, dirancang untuk efisiensi, kecepatan, dan transparansi akses produk/harga. BPK, sebagai lembaga audit negara, memiliki mandat vital untuk memastikan akuntabilitas setiap rupiah yang dibelanjakan. Namun, temuan BPK yang mengkategorikan beberapa pola transaksi E-purchasing sebagai "anomali" menunjukkan adanya potensi disrupsi pemahaman: logika audit yang terbiasa dengan risiko dalam sistem tender tertutup kini diterapkan pada ekosistem marketplace e-katalog yang dinamis dan terbuka.

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK sendiri (Peraturan BPK No 1 Tahun 2017), khususnya PSP 100 paragraf 13-17, menekankan pemeriksaan yang independen, objektif, dan profesional untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi pengelolaan keuangan negara. Fokus utama seharusnya adalah memastikan substansi akuntabilitas tercapai: negara menerima barang/jasa sesuai spesifikasi, harga wajar (value for money), tidak ada transaksi fiktif, gratifikasi, suap, atau penyalahgunaan wewenang lainnya. Paper ini akan membantah enam "anomali" yang diidentifikasi BPK, dengan argumentasi bahwa pola-pola tersebut seringkali merupakan fenomena pasar yang wajar dan efisien dalam konteks e-katalog, dan bahwa fokus audit BPK perlu disesuaikan agar sejalan dengan SPKN dan realitas pasar digital, sambil mengakui pentingnya kompetensi khusus bagi pemeriksa dalam memahami dinamika ini.


2. Membedah "Anomali": Perspektif Ekonomi Pasar vs. Logika Tender

Berikut adalah analisis terhadap enam isu yang dianggap anomali oleh BPK, dilihat dari kacamata ekonomi pasar e-katalog:

Isu 1: Pembelian Produk Baru Tayang

  • Logika BPK (Tender): Produk muncul tiba-tiba saat dibutuhkan, mencurigakan, mungkin "pesanan".

  • Logika E-Katalog (Pasar): Pasar dinamis, penyedia terus menambah produk. Penayangan baru adalah respons penyedia terhadap sinyal permintaan (RUP yang transparan) atau inovasi produk. Pembeli memilih opsi terbaik saat itu, termasuk produk baru jika paling sesuai & efisien.

  • Analogi: Mencurigai supermarket yang baru saja menata produk roti model terbaru di rak pajangan, lalu Anda membelinya karena memang mencari roti jenis itu.

  • Contoh Konkret: Sebuah universitas membutuhkan laptop generasi terbaru (sesuai RUP). Vendor menayangkan model terbaru di e-katalog mendekati jadwal pengadaan. Universitas membelinya via E-purchasing karena spesifikasinya paling sesuai kebutuhan riset terkini dan harganya wajar setelah negosiasi. Ini efisiensi pemanfaatan teknologi baru.

Isu 2: Transaksi Berulang ke Penyedia Tertentu

  • Logika BPK (Tender): Pengulangan vendor bisa jadi indikasi favoritisme/kolusi.

  • Logika E-Katalog (Pasar): Rasionalitas ekonomi untuk mengurangi biaya transaksi (pencarian, negosiasi, pemantauan). Implementasi prinsip VMS (Vendor Management System) berdasarkan kinerja memuaskan sebelumnya (kualitas, waktu, layanan). Efisien dan lumrah selama harga wajar & tak ada korupsi.

  • Analogi: Anda selalu membeli kopi di kedai langganan karena rasanya pas, pelayanannya cepat, dan harganya sesuai, daripada harus mencoba kedai baru setiap hari.

  • Contoh Konkret: Dinas Kesehatan rutin membeli reagen lab dari Penyedia A via e-katalog karena hanya A yang konsisten menjaga cold chain pengiriman dan menyediakan certificate of analysis per batch, krusial untuk validitas hasil tes. Mengganti vendor berisiko tinggi terhadap kualitas pengujian.

Isu 3: Transaksi Saat Harga Naik

  • Logika BPK (Tender): Kenaikan harga dianggap potensi mark-up atau pengaturan.

  • Logika E-Katalog (Pasar): Harga di pasar dinamis, dipengaruhi supply-demand, biaya input (kurs, bahan baku), inflasi. Harga tayang adalah plafon, dan pembelian saat harga pasar naik bisa jadi keputusan rasional karena urgensi atau menghindari kenaikan lebih lanjut. Fokus pada kewajaran harga saat itu dan negosiasi.

  • Analogi: Anda tetap membeli tiket pesawat meskipun harganya naik saat musim liburan karena memang harus bepergian saat itu; harga tersebut adalah harga pasar yang berlaku.

  • Contoh Konkret: BPBD membeli terpal via e-katalog saat musim hujan meskipun harga tayang naik 10% dari bulan lalu. Kenaikan ini wajar karena permintaan tinggi (faktor pasar), dan kebutuhan terpal mendesak untuk antisipasi bencana. Harga akhir tetap dinegosiasikan.


Isu 4: Penyusunan Referensi Harga Tidak Memadai

  • Logika BPK (Tender): Referensi lemah = potensi kemahalan yang tidak terdeteksi.

  • Logika E-Katalog (Pasar): Ini kewenangan PPK/PP dengan fleksibilitas sumber data (tak ada rumus baku), tujuannya alat negosiasi bukan HPS tender. Penilaian "tidak memadai" bersifat subjektif, lebih sering cerminan isu kompetensi pelaku atau keterbatasan data pasar untuk produk spesifik, bukan otomatis anomali fraud. Fokus pada dokumentasi, justifikasi, dan penggunaan referensi dalam negosiasi.

  • Analogi: Anda ingin menawar harga mobil bekas. Anda mengecek harga di beberapa situs online dan bertanya ke teman sebagai referensi. Referensi Anda mungkin tidak "sempurna" (tidak punya data harga dealer resmi), tapi cukup sebagai dasar menawar. Yang penting Anda punya referensi dan menggunakannya.

  • Contoh Konkret: PPK membeli suku cadang mesin khusus dari ATPM via e-katalog. Referensi harga dibuat dari harga tahun lalu + inflasi, karena tidak ada pembanding lain. Ini dapat dipertanggungjawabkan meski sumbernya terbatas. Audit harus melihat logisnya estimasi dan upaya negosiasi.

Isu 5: Pengadaan Produk Spesifik/Kustom di E-Katalog

  • Logika BPK (Tender): Barang kustom seharusnya via tender, e-katalog untuk barang standar.

  • Logika E-Katalog (Pasar): E-katalog bisa mengakomodasi produk spesifik/konfigurasi selama tayang transparan (spesifikasi & harga plafon jelas). Ini lebih transparan dari tender tertutup dan mendorong terbentuknya pasar niche. Prosedur E-purchasing (referensi harga, negosiasi) tetap berlaku.

  • Analogi: Anda membeli komputer rakitan di toko online, memilih sendiri komponen spesifik (CPU, RAM, VGA) dari opsi yang disediakan; ini 'kustom' tapi dalam platform pasar standar.

  • Contoh Konkret: Pemda memesan ambulans via e-katalog dari karoseri yang menawarkan paket modifikasi interior sesuai standar Dinkes (tata letak oksigen, brankar, dll) pada basis mobil tertentu. Spesifikasi modifikasi dan harga paketnya tayang jelas. Ini efisien daripada tender ambulans jadi utuh.

Isu 6: Pembuatan Paket, Penayangan Produk, dan Input Kontrak Berdekatan Waktunya

  • Logika BPK (Tender): Proses terlalu cepat mencurigakan, terkesan sudah diatur.

  • Logika E-Katalog (Pasar): Ini konsekuensi logis efisiensi jika didahului perencanaan (RUP) transparan dan respons pasar cepat dari penyedia. E-purchasing memang dirancang untuk memangkas waktu. Kedekatan waktu menunjukkan sistem berjalan sesuai desainnya.

  • Analogi: Anda melihat promo flash sale sepatu idaman di aplikasi e-commerce (penjual menayangkan promo mendekati tanggal gajian). Anda langsung membuat 'pesanan' (paket), memasukkan ke keranjang (pilih produk), dan checkout (kontrak) dalam beberapa menit. Cepat karena info sudah ada dan platformnya memungkinkan.

  • Contoh Konkret: RUP Kemenkes butuh reagen Z bulan depan. Penyedia menayangkan harga terbaru minggu ini. PPK membuat paket E-purchasing hari ini, langsung pilih produk, negosiasi 1 jam, terbit Surat Pesanan besok. Proses cepat karena info (RUP & produk) sudah siap bertemu di platform yang efisien.

3. Menyelaraskan Audit dengan SPKN dan Kebutuhan Kompetensi

Fokus BPK seharusnya kembali pada mandat inti SPKN (PSP 100):

  • Memastikan Value for Money: Apakah negara mendapatkan barang/jasa sesuai spesifikasi, tepat waktu, dengan harga wajar dalam konteks pasar e-katalog saat transaksi?

  • Memastikan Integritas: Apakah ada bukti transaksi fiktif, suap, gratifikasi, conflict of interest, atau penurunan spesifikasi secara curang?

  • Memastikan Kepatuhan Prosedural: Apakah prosedur E-purchasing spesifik (penyusunan referensi, negosiasi, dokumentasi, prioritas PDN/UMK) telah diikuti?.

Menilai pola transaksi E-purchasing memerlukan kompetensi khusus bagi pemeriksa BPK dalam memahami:

  • Dinamika marketplace digital.

  • Strategi penetapan harga penyedia di platform online.

  • Peran RUP sebagai sinyal pasar.

  • Tujuan efisiensi di balik metode E-purchasing.

  • Teknik analisis data transaksi digital untuk mendeteksi fraud yang relevan (bukan sekadar pola tender).

Tanpa kompetensi ini, risiko salah interpretasi menjadi tinggi, yang dapat menciptakan iklim keengganan mengambil risiko yang wajar (risk aversion) di kalangan pelaku pengadaan. Mereka akan cenderung menghindari E-purchasing atau melakukan prosedur berbelit-belit hanya demi "terlihat aman" di mata audit, yang justru menggerus efisiensi yang ingin dicapai. Ini adalah bentuk disinsentif terhadap adopsi praktik pengadaan modern.


4. Rekomendasi: Menuju Audit E-Purchasing yang Kontekstual dan Konstruktif

BPK perlu mempertimbangkan adaptasi berikut:

  1. Mengembangkan Kriteria Audit Spesifik E-Katalog: Bekerja sama dengan LKPP untuk merumuskan kriteria risiko dan prosedur audit yang sesuai dengan logika marketplace, bukan menyalin mentah-mentah dari audit tender.

  2. Meningkatkan Kompetensi Pemeriksa: Memberikan pelatihan intensif kepada auditor mengenai dinamika pasar digital, E-purchasing, analisis data transaksi online, dan regulasi PBJ terkait e-katalog.

  3. Fokus pada Verifikasi Substansi: Prioritaskan audit pada kewajaran harga (pasca-negosiasi) dibandingkan harga pasar saat itu, kesesuaian barang/jasa dengan kebutuhan, bukti negosiasi, dan deteksi indikator fraud yang konkret (fiktif, suap, dll), bukan pada pola transaksional semata.

  4. Memanfaatkan Data untuk Analisis Komprehensif: Gunakan data transaksi e-katalog secara luas untuk benchmarking harga dan identifikasi potensi outlier harga yang sistematis, bukan hanya mencurigai transaksi individual tanpa konteks pasar.

  5. Dialog Konstruktif: Membangun dialog dengan LKPP dan pelaku pengadaan untuk memahami tantangan praktis dan memastikan temuan audit bersifat konstruktif untuk perbaikan sistem, bukan sekadar menimbulkan ketakutan.

5. Kesimpulan

Mengaudit E-purchasing dengan kacamata tender tradisional adalah seperti menilai performa mobil balap dengan kriteria truk pengangkut barang – keduanya kendaraan, tetapi tujuan, desain, dan metrik kinerjanya berbeda. E-katalog adalah marketplace yang hidup dengan dinamika pasarnya sendiri. Pola transaksi seperti pembelian produk baru, transaksi berulang, fluktuasi harga, hingga kedekatan waktu proses seringkali merupakan cerminan efisiensi dan responsivitas pasar yang wajar.

BPK memiliki peran krusial, namun agar efektif dan tidak kontraproduktif, fokus audit harus bergeser dari sekadar mencocokkan pola tender ke verifikasi substansi value for money dan integritas dalam konteks pasar e-katalog, sambil mengakui dan mengisi kebutuhan akan kompetensi pemeriksa di era digital. Hanya dengan demikian, pengawasan BPK dapat benar-benar mendukung terwujudnya pengadaan pemerintah yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan adaptif terhadap inovasi.


Senin, 20 Oktober 2025

Navigasi Perubahan Kontrak Konstruksi E-Katalog Pasca Mini-Kompetisi dalam Koridor Akuntabilitas

 

Menyibak Tabir CCO Item Baru: Navigasi Perubahan Kontrak Konstruksi E-Katalog Pasca Mini-Kompetisi dalam Koridor Akuntabilitas

Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp.


1. Pendahuluan (Introduction)

Transformasi digital dalam pengadaan barang/jasa pemerintah Indonesia, khususnya melalui platform Katalog Elektronik (E-Katalog) versi 6 yang diatur dalam Keputusan Kepala LKPP Nomor 177 Tahun 2024, menjanjikan efisiensi, transparansi, dan kecepatan. Salah satu metode yang didorong untuk mencapai efisiensi harga adalah Mini-Kompetisi. Namun, sektor konstruksi memiliki dinamika lapangan yang seringkali berbeda dari asumsi perencanaan. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, sebagai payung hukum utama, telah mengantisipasi kebutuhan fleksibilitas melalui mekanisme Perubahan Kontrak (CCO/Addendum). Tulisan ini mengupas tantangan spesifik: bagaimana menangani kebutuhan penambahan item pekerjaan baru yang tidak tercantum dalam lingkup awal kontrak hasil mini-kompetisi e-katalog, seraya tetap menjaga prinsip akuntabilitas dan value for money.


2. Permasalahan atau Isu Pokok (Problem Statement)

Kasus yang sering muncul di lapangan adalah ketika pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang diadakan melalui mini-kompetisi e-katalog (misalnya, paket pekerjaan parkiran dengan item urugan kembali dan beton lantai) ternyata menghadapi kondisi lapangan yang berbeda. Ditemukan bahwa elevasi tanah aktual lebih rendah dari perkiraan, sehingga memerlukan item pekerjaan baru berupa "timbunan" agar konstruksi dapat mencapai level yang direncanakan.

Masalah utamanya adalah:

  1. Item "timbunan" tidak ada dalam daftar produk/jasa yang dikompetisikan melalui mini-kompetisi.

  2. Harga satuan untuk item "timbunan" belum terbentuk melalui proses kompetitif di awal.

  3. Bagaimana Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat secara sah dan akuntabel menambahkan item pekerjaan baru ini ke dalam kontrak (Surat Pesanan) yang sudah berjalan, tanpa mencederai semangat efisiensi harga yang menjadi tujuan mini-kompetisi?


3. Analisis Empiris dan Normatif (Regulatory and Empirical Analysis)

Kerangka hukum pengadaan barang/jasa pemerintah Indonesia secara eksplisit mengakomodasi kebutuhan perubahan kontrak. Pasal 54 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 (jo. Perpres 46/2025) menyatakan bahwa jika terdapat perbedaan antara kondisi lapangan saat pelaksanaan dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis/KAK dalam dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia dapat melakukan perubahan kontrak. Perubahan ini bisa meliputi, salah satunya, menambah dan/atau mengurangi jenis kegiatan (huruf b). Ini menjadi landasan hukum utama untuk menambahkan item pekerjaan "timbunan" yang sebelumnya tidak ada.

Namun, penambahan item baru ini harus dilakukan dengan hati-hati dan memenuhi kaidah tata kelola yang baik (good governance) serta prinsip value for money. Beberapa aspek krusial yang perlu dianalisis:

  • Justifikasi Kebutuhan: Penambahan item baru harus didasarkan pada kebutuhan teknis yang nyata dan mendesak di lapangan, bukan sekadar keinginan atau akibat perencanaan awal yang buruk. Perbedaan kondisi lapangan harus didokumentasikan secara objektif (misal: hasil pengukuran ulang, analisis geoteknik jika perlu). Ini sejalan dengan prinsip akuntabilitas dalam pengadaan.

  • Penetapan Harga Satuan Baru: Ini adalah titik paling krusial. Karena harga item baru tidak terbentuk melalui kompetisi, PPK harus memastikan harga satuan yang ditetapkan wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendekatan berlapis dapat digunakan:

  1. Referensi Internal Penyedia di E-Katalog: Periksa apakah penyedia yang sama memiliki item sejenis (timbunan) di etalase lain dalam e-katalog. Ini bisa jadi patokan awal negosiasi.

  2. Referensi HPS Awal: Jika analisis harga satuan timbunan ada saat penyusunan HPS (meskipun tidak masuk RAB final), ini bisa jadi dasar.

  3. Survei Harga Pasar Setempat: Cara paling umum adalah melakukan survei harga pasar yang wajar untuk material dan upah pekerjaan timbunan di lokasi proyek. Dokumentasi survei ini penting untuk audit (probity).

  4. Negosiasi: Berdasarkan data referensi di atas, PPK melakukan negosiasi harga satuan dengan penyedia. Hasil negosiasi harus mencerminkan harga yang wajar, tidak mark-up.

  • Batas Perubahan Nilai Kontrak: Pasal 54 ayat (2) Perpres 16/2018 (jo. Perpres 46/2025) menetapkan bahwa penambahan nilai kontrak akhir akibat perubahan tidak boleh melebihi 10% dari nilai kontrak awal. Batasan ini penting untuk menjaga agar CCO tidak menjadi "kontrak baru terselubung". Pengecualian batas 10% hanya dimungkinkan jika perubahan disebabkan keadaan darurat dan harus mendapat persetujuan PA/KPA (Pasal 54 ayat (3) Perpres 46/2025). Prinsip manajemen risiko pengadaan mengharuskan PPK mengelola perubahan dalam batas yang ditetapkan.

  • Teori Kontrak Tidak Lengkap (Incomplete Contract Theory): Secara teoretis, kontrak (termasuk Surat Pesanan e-katalog) tidak mungkin mengatur setiap kemungkinan di masa depan, terutama dalam proyek konstruksi yang kompleks dan dinamis. Mekanisme CCO adalah wujud pengakuan atas ketidaklengkapan kontrak ini, menyediakan cara formal untuk mengatasi unforeseen contingencies. Namun, pelaksanaannya harus tetap dalam koridor good faith dan tidak eksploitatif.

  • Praktik Internasional: Kerangka kerja pengadaan internasional seperti World Bank Procurement Framework atau standar kontrak seperti FIDIC juga mengenal mekanisme Variations (Perubahan) untuk mengakomodasi penyesuaian lingkup, kuantitas, atau kondisi lapangan, dengan prosedur persetujuan dan valuasi yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa CCO adalah praktik umum, namun harus dikelola dengan baik.


4. Simulasi Konkret dan Ilustrasi Angka (Simulation and Case Illustration)

Mari kita simulasikan kasus pekerjaan parkiran:

  • Kontrak Awal (Hasil Mini-Kompetisi E-Katalog):

  • Item 1: Urugan Kembali Tanah Galian (50 m³) @ Rp 100.000 = Rp 5.000.000

  • Item 2: Beton Lantai K-225 (100 m³) @ Rp 950.000 = Rp 95.000.000

  • Nilai Kontrak Awal (Surat Pesanan): Rp 100.000.000

  • Kondisi Lapangan: Setelah galian dan sebelum urugan kembali, pengukuran ulang menunjukkan elevasi dasar parkiran 30 cm lebih rendah dari rencana di area seluas 200 m². Diperlukan timbunan material pilihan (misal: sirtu dipadatkan) setebal 30 cm.

  • Kebutuhan Item Baru (Timbunan):

  • Volume = Luas x Tebal = 200 m² x 0.3 m = 60 m³

  • Penentuan Harga Satuan Timbunan (Simulasi):

  • Tidak ada item timbunan di e-katalog penyedia.

  • Tidak ada analisis timbunan di HPS awal.

  • Survei harga pasar + negosiasi dengan penyedia: Disepakati harga satuan timbunan sirtu terpasang (termasuk pemadatan) = Rp 180.000 / m³ (didukung bukti survei).

  • Perhitungan Nilai Tambahan:

  • Nilai Pekerjaan Timbunan = Volume x Harga Satuan = 60 m³ x Rp 180.000 = Rp 10.800.000

  • Pemeriksaan Batas 10%:

  • Batas Maksimal Penambahan = 10% x Nilai Kontrak Awal = 10% x Rp 100.000.000 = Rp 10.000.000

  • Analisis Batas Nilai: Nilai pekerjaan tambahan (Rp 10.800.000) melebihi batas 10% (Rp 10.000.000).

  • Kesimpulan Simulasi & Tindak Lanjut:

  • Jika kondisi ini bukan keadaan darurat, PPK tidak bisa menambahkan seluruh volume timbunan 60 m³ melalui CCO pada kontrak ini. PPK harus mencari solusi lain, misalnya merevisi desain (jika memungkinkan) atau mengadakan pekerjaan timbunan secara terpisah (jika tidak melanggar aturan pemecahan paket).

  • Jika PPK dapat memberikan justifikasi kuat bahwa kondisi ini adalah bagian dari keadaan darurat (misal: penundaan akan menyebabkan kerusakan lebih besar atau bahaya), maka PPK dapat mengajukan persetujuan kepada PA/KPA untuk melakukan CCO melebihi 10%. Jika disetujui, addendum dapat dibuat.

Contoh Tabel Perubahan Kontrak (jika disetujui PA/KPA):

Item Pekerjaan

Volume Awal

Harga Satuan Awal

Nilai Awal

Volume Baru

Harga Satuan Baru

Nilai Baru

Perubahan Nilai

Urugan Kembali Tanah Galian

50 m³

Rp 100.000

Rp 5.000.000

50 m³

Rp 100.000

Rp 5.000.000

Rp 0

Beton Lantai K-225

100 m³

Rp 950.000

Rp 95.000.000

100 m³

Rp 950.000

Rp 95.000.000

Rp 0

Timbunan Sirtu Padat

0 m³

-

Rp 0

60 m³

Rp 180.000

Rp 10.800.000

+Rp 10.800.000

Total Kontrak



Rp 100.000.000



Rp 110.800.000

+Rp 10.800.000


5. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan (Policy Recommendation)

Untuk menavigasi CCO penambahan item baru pasca mini-kompetisi e-katalog secara akuntabel, PPK direkomendasikan untuk:

  1. Perkuat Investigasi Awal: Lakukan pemeriksaan kondisi lapangan yang lebih cermat sebelum menetapkan spesifikasi dan volume dalam paket mini-kompetisi untuk meminimalkan potensi CCO signifikan.

  2. Justifikasi Rigorous: Bangun justifikasi teknis yang sangat kuat dan objektif untuk setiap usulan penambahan item baru. Libatkan konsultan pengawas atau tim teknis independen jika perlu.

  3. Transparansi Harga Baru: Dokumentasikan proses penentuan harga satuan baru secara transparan, mulai dari survei pasar hingga risalah negosiasi dengan penyedia. Pastikan harga yang disepakati adalah harga terbaik yang wajar (best reasonable price).

  4. Patuhi Batas 10%: Secara ketat patuhi batasan perubahan nilai kontrak maksimal 10%. Gunakan opsi persetujuan PA/KPA hanya untuk kondisi darurat yang sesungguhnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

  5. Dokumentasi Lengkap: Arsipkan seluruh dokumen terkait CCO (justifikasi, perhitungan, risalah negosiasi, addendum) sebagai bagian integral dari dokumen kontrak untuk kemudahan audit.

  6. Pemanfaatan Fitur (Jika Ada): Jika platform e-katalog/SPSE di masa depan menyediakan fitur CCO yang lebih canggih (termasuk penambahan item di luar katalog), manfaatkan fitur tersebut untuk pencatatan digital yang lebih terintegrasi.


6. Penutup (Conclusion)

Penambahan item pekerjaan baru melalui CCO pada kontrak hasil mini-kompetisi e-katalog adalah dimungkinkan secara hukum berdasarkan Perpres 16/2018 (jo. Perpres 46/2025). Namun, pelaksanaannya menuntut kehati-hatian ekstra dari PPK, terutama dalam justifikasi kebutuhan, penetapan harga satuan baru yang wajar, dan kepatuhan terhadap batasan nilai perubahan kontrak. Proses ini harus dilihat bukan sebagai celah untuk mengakali hasil mini-kompetisi, melainkan sebagai mekanisme governance untuk memastikan tujuan akhir proyek tercapai secara efektif dan akuntabel ketika menghadapi dinamika lapangan yang tak terhindarkan. Profesionalisme, integritas, dan dokumentasi yang cermat adalah kunci untuk melaksanakan CCO ini tanpa menimbulkan risiko hukum di kemudian hari.



Audit E-Purchasing di Era Digital: Melampaui Pola Tender, Menuju Verifikasi Nilai dan Integritas di Pasar E-Katalog

Audit E-Purchasing di Era Digital: Melampaui Pola Tender, Menuju Verifikasi Nilai dan Integritas di Pasar E-Katalog Penulis Agus Arif Rakhma...