Rabu, 06 Agustus 2025

Jebakan Utang Proyek - Mengurai Korupsi dan Tata Kelola Pengadaan Melalui Pengendalian Rekening Escrow

Jebakan Utang Proyek: Mengurai Korupsi dan Tata Kelola Pengadaan Melalui Pengendalian Rekening Escrow


Penulis Agus Arif Rakhman M.M CPSp 


1. Pendahuluan (Introduction)

Tata kelola pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan pilar krusial dalam mewujudkan efisiensi anggaran dan akuntabilitas publik. Namun, praktik di lapangan kerap dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya adalah risiko finansial yang merembet menjadi isu korupsi. Latar belakang ini mendorong perlunya instrumen kebijakan yang lebih tajam dan sistematis, terutama dalam mengendalikan alur pembayaran proyek.

Dinamika pelaksanaan pengadaan, khususnya pada proyek konstruksi, sering melibatkan skema pembiayaan perbankan. Mekanisme ini, jika tidak diawasi dengan ketat, dapat menjadi celah bagi penyedia untuk melalaikan kewajiban finansialnya. Akibatnya, negara dirugikan dan iklim bisnis terganggu. Regulasi baru yang berfokus pada pengendalian rekening pembayaran hadir sebagai respons atas urgensi ini, menandai transformasi kebijakan untuk menutup celah kebocoran anggaran dan memperkuat integritas pengadaan.


2. Permasalahan atau Isu Pokok (Problem Statement)

Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa 30,8% kredit sektor konstruksi yang disalurkan perbankan kepada penyedia barang/jasa pemerintah tergolong kredit bermasalah (Non-Performance Loan/NPL). Hal ini terjadi karena penyedia tidak memenuhi kewajiban pembayaran kepada bank pemberi kredit. Padahal, pembayaran proyek pemerintah seharusnya disalurkan melalui rekening penampungan (escrow account) di bank pemberi kredit.

Di lapangan, banyak penyedia memindahkan rekening penampungan ke bank lain tanpa sepengetahuan bank pemberi kredit maupun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Praktik ini memicu risiko gagal bayar dan membuka peluang moral hazard serta penyalahgunaan dana proyek. Isu inilah yang menjadi dasar diterbitkannya Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2025.


3. Analisis Empiris dan Normatif (Regulatory and Empirical Analysis)

Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2025 merupakan langkah konkret memperkuat good governance dan risk management pengadaan pemerintah. Surat edaran ini ditujukan kepada Pejabat Penandatangan Kontrak (PA, KPA, dan PPK) untuk mengendalikan nomor rekening pembayaran.

Secara normatif, kebijakan ini berlandaskan pada:

  • Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007.
  • Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018.
  • Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 dan perubahannya.

Sebelum kontrak ditandatangani, Pejabat Penandatangan Kontrak wajib mengklarifikasi penyedia mengenai fasilitas kredit bank dan nomor rekening penampungan pembayaran. Klarifikasi ini harus didukung dokumen credit clearance dari pimpinan bank. Langkah ini merupakan penerapan prinsip probity, menekankan transparansi dan akuntabilitas sejak awal.

Selain itu, surat edaran ini menegaskan bahwa perubahan nomor rekening penampungan tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan tertulis dari bank pemberi kredit. Aturan ini menutup celah penyedia untuk memindahkan dana proyek secara sepihak, meningkatkan kepastian bagi bank, dan memastikan dana digunakan sesuai peruntukan.


4. Simulasi Konkret dan Ilustrasi Angka (Simulation and Case Illustration)

Contoh kasus:
Sebuah proyek konstruksi bernilai Rp200 miliar dibiayai pinjaman bank Rp150 miliar (75% nilai kontrak). Termin pertama 20% atau Rp40 miliar dicairkan ke rekening penyedia. Tanpa pengendalian, penyedia bisa memindahkan dana tersebut untuk proyek lain, mengabaikan kewajiban cicilan bank.

Dengan kebijakan escrow account, alur dana menjadi terkendali:

Skema Pembayaran Aliran Dana Proyek (Termin 1) Dampak Risiko
Sebelum SE LKPP 3/2025 Pencairan Rp40 miliar ke rekening penyedia. Dana dapat dialihkan sepihak, memicu gagal bayar (NPL) dan merugikan bank. Potensi pekerjaan mangkrak.
Setelah SE LKPP 3/2025 Pencairan Rp40 miliar ke rekening escrow di bank pemberi kredit. Dana hanya digunakan untuk keperluan proyek (bahan, upah, dll.) dengan persetujuan bank. Risiko NPL ditekan signifikan.

Simulasi ini menunjukkan bahwa dari total NPL 30,8% (Rp46,2 miliar dari Rp150 miliar), penerapan kebijakan ini dapat menekan NPL hingga 50%, atau menghemat potensi kerugian sekitar Rp23,1 miliar dalam satu proyek.


5. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan (Policy Recommendation)

Langkah strategis untuk memperkuat kebijakan:

  • Penguatan Kapasitas SDM: PA, KPA, dan PPK perlu pelatihan manajemen risiko finansial serta verifikasi credit clearance.
  • Sinergi Antarlembaga: LKPP, Kementerian Keuangan, dan OJK perlu kolaborasi untuk menciptakan kerangka regulasi terpadu.
  • Integrasi Sistem Informasi: Integrasikan SPSE dengan sistem perbankan guna mempermudah verifikasi rekening secara digital.

Implikasinya, ekosistem pengadaan menjadi lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas. Prinsip value for money tercapai karena dana proyek hanya digunakan sesuai peruntukan.


6. Penutup (Conclusion)

Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2025 adalah instrumen penting untuk menutup celah moral hazard dan risiko gagal bayar dalam pengadaan pemerintah. Melalui mekanisme escrow account, regulasi ini memperkuat tata kelola, memastikan penggunaan dana publik efektif, dan mengurangi kerugian finansial.

Keberhasilan implementasi bergantung pada konsistensi penerapan oleh PA, KPA, PPK, penyedia, dan perbankan. Kebijakan ini tidak hanya mencegah korupsi, tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap proses pengadaan yang bersih dan efisien.

Ke depan, praktik ini sebaiknya diatur dalam regulasi lebih tinggi agar keberlanjutan dan dampaknya semakin masif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sertifikat Kompetensi Pengadaan - Menyingkap Realitas Keahlian di Balik Jabatan Struktural

Sertifikat Kompetensi Pengadaan: Menyingkap Realitas Keahlian di Balik Jabatan Struktural Penulis Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp. Pendahuluan...