Senin, 31 Juli 2023

LAPTOP TINGKATAN SPESIFIKASI TEKNIS DI PASARAN

 

LAPTOP

TINGKATAN SPESIFIKASI TEKNIS DI PASARAN

SERIAL PRAKTIK IDENTIFIKASI KEBUTUHAN

 

Medan, 31 Juli 2023

Ditulis oleh: Agus Arif Rakhman, M.M.

Pengelola Pengadaan Ahli Madya – Probity Advisor LKPP – Penulis Buku – Fasilitator Kehormatan Bidang Pengadaan

 

Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan wawasan pengetahuan para perencana pengadaan terhadap tingkatan spesifikasi teknis suatu barang di pasaran yang dihubungkan dengan kebutuhannya dan siapa yang sebaiknya menggunakan, sehingga informasi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas perencanaan pengadaan, dalam artian “membeli yang dibutuhkan” bukan “yang diinginkan”

Tingkatan spesifikasi laptop dari kualitas rendah hingga tinggi, dengan harga kisaran dalam Rupiah, dan juga rekomendasi penggunaannya:

 


1. Laptop Entry-Level (Rp 3 juta - Rp 6 juta):

   Spesifikasi: Intel Celeron atau AMD A4, RAM 2GB-4GB, hard drive 500GB atau SSD 128GB, layar 11-14 inci dengan resolusi 1366x768.

   Rekomendasi penggunaan: Aktivitas dasar seperti browsing web, mengakses email, dan menulis dokumen. Baik untuk siswa sekolah dasar atau menengah, atau pengguna yang memiliki kebutuhan komputasi yang sangat minimal.

 

2. Laptop Mid-Range (Rp 7 juta - Rp 12 juta):

   Spesifikasi: Intel Core i3 atau AMD Ryzen 3, RAM 4GB-8GB, SSD 256GB, layar 14-15 inci dengan resolusi Full HD.

   Rekomendasi penggunaan: Untuk kegiatan seperti menonton film HD, multitasking ringan, dan perangkat lunak kantor. Cocok untuk pengguna rumahan atau pelajar perguruan tinggi.

 

3. Laptop Upper Mid-Range (Rp 13 juta - Rp 18 juta):

   Spesifikasi: Intel Core i5 atau AMD Ryzen 5, RAM 8GB-16GB, SSD 512GB, layar 15-17 inci dengan resolusi Full HD atau lebih tinggi.

   Rekomendasi penggunaan: Penggunaan perangkat lunak yang lebih berat seperti editing foto, atau multitasking dengan banyak tab dan aplikasi. Bagus untuk profesional kreatif, pekerja kantor, dan pelajar di jurusan teknik atau desain.

 

4. Laptop High-End (Rp 19 juta - Rp 30 juta):

   Spesifikasi: Intel Core i7 atau AMD Ryzen 7, RAM 16GB atau lebih, SSD 1TB, layar 15-17 inci dengan resolusi 4K.

   Rekomendasi penggunaan: Untuk kegiatan yang memerlukan kinerja tinggi seperti editing video, gaming, dan penggunaan perangkat lunak 3D. Cocok untuk profesional kreatif, gamer, dan para insinyur.

 

5. Laptop Premium atau Pro-Grade (Rp 30 juta ke atas):

   Spesifikasi: Intel Core i9 atau AMD Ryzen 9, RAM 32GB atau lebih, SSD 1TB atau lebih, layar 15-17 inci dengan resolusi 4K atau lebih tinggi, serta kartu grafis kelas atas.

   Rekomendasi penggunaan: Untuk bekerja dengan perangkat lunak khusus yang sangat berat, seperti animasi 3D, simulasi ilmiah, atau aplikasi yang membutuhkan kinerja komputasi maksimum. Biasanya dibutuhkan oleh profesional tingkat tinggi, seperti arsitek, animator, insinyur, dan data scientist.


Pemesanan buku karya *Agus Arif Rakhman, M.M.* dapat dilakukan melalui:

Link official store  Shopee: https://bit.ly/buku_agusarifrakhman_shopee 
Link official store Tokopedia: https://bit.ly/buku_agusarifrakhman_tokopedia 
Pemesanan melalui Whatsapp dengan Nina 081556650310



Kamis, 20 Juli 2023

Kajian Usulan Perubahan Model Dokumen Pemilihan Pekerjaan Konstruksi Klausul Nomor 8 Tentang Penerapan Evaluasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) Personel Manajerial Pada MDP Pekerjaan Konstruksi

 

Kajian Usulan Perubahan Model Dokumen Pemilihan Pekerjaan Konstruksi Klausul Nomor 8

Tentang Penerapan Evaluasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) Personel Manajerial Pada MDP Pekerjaan Konstruksi

Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021

Diusulkan oleh: Agus Arif Rakhman, M.M.

Pengelola Pengadaan Ahli Madya – Probity Advisor LKPP

 

Disampaikan kepada:

1.     Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI)

2.     Kedeputian Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP

 

Pada kegiatan Perumusan Perubahan Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia (Juli 2023)

 

 Latar Belakang

 

Peraturan LKPP No.12 Tahun 2021 memberikan petunjuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada klausul 8, terdapat keambiguan interpretasi mengenai penilaian Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) untuk personel manajerial dalam dokumen penawaran.

 

Dalam praktik, klausul ini sering ditafsirkan bahwa SKK tidak perlu dievaluasi, hanya perlu dibuktikan saat penyerahan lokasi kerja dan personel. Hal ini menimbulkan kebingungan dan mungkin menimbulkan celah dalam proses evaluasi penyedia, karena seharusnya SKK tetap dievaluasi untuk memastikan kesesuaian dan keabsahannya.Usulan ini tidak mengubah ketentuan bahwa pembuktian SKK pada tahap penyerahan lokasi kerja dan personel, namun memberikan penegasan bahwa SKK tersebut tetap harus dievaluasi kesesuaiannya pada tahap pemilhan, namun tidak perlu dibuktikan kebenarannya.

 

 Permasalahan

 

Klausul 8 saat ini berbunyi:

 

"Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) untuk personel manajerial yang ditawarkan dalam dokumen penawaran dibuktikan saat penyerahan lokasi kerja dan personel."

 



Pemahaman ini menimbulkan tafsiran ganda dan berpotensi mengurangi keandalan proses evaluasi penyedia.

 

 Usulan Perubahan

 

Berikut usulan perubahan teks klausul tersebut:

 

"Sertifikat Kompetensi Kerja  (SKK) tetap di evaluasi pada tahap pemilihan penyedia untuk memastikan kesesuaian dengan persyaratan teknis yang diminta dan masih berlaku sesuai ketentuan, namun dibuktikan saat penyerahan lokasi kerja dan personel."

 Alasan Perubahan

 

1.     Meningkatkan Kualitas Evaluasi: Mengevaluasi SKK sejak tahap pemilihan penyedia memastikan bahwa penyedia memiliki kompetensi yang sesuai dan valid untuk melaksanakan pekerjaan yang ditawarkan.

 

2.     Mengurangi Resiko: Mengidentifikasi masalah sejak dini, seperti SKK yang tidak valid atau tidak sesuai, bisa mengurangi resiko terjadinya penundaan atau kegagalan dalam pelaksanaan kontrak.

 

3.     Transparansi dan Akuntabilitas: Dengan mengevaluasi SKK sejak tahap awal, proses pemilihan penyedia menjadi lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

4.     Pemahaman yang Jelas dan Tepat: Dengan merubah klausul, maka tidak ada lagi multi tafsir yang bisa menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

 

Selain itu dalam melakukan pengadaan barang/jasa pemerintah, evaluasi pada tahap pemilihan penyedia menjadi titik kritis untuk menjamin kualitas dan keberlanjutan proyek. Tidak mengevaluasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) pada tahap ini dapat menimbulkan berbagai risiko, antara lain:

1.     Risiko Kompetensi: Tanpa evaluasi SKK pada tahap pemilihan, ada kemungkinan pihak penyedia yang terpilih tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proyek. Hal ini dapat berakibat pada kualitas kerja yang rendah, penundaan, atau bahkan kegagalan proyek.

2.     Risiko Legal: SKK yang kadaluarsa atau tidak valid bisa menimbulkan isu hukum. Hal ini dapat mengganggu pelaksanaan proyek dan berpotensi menimbulkan kerugian baik secara finansial maupun reputasi.

3.     Risiko Keuangan: Jika terpilihnya penyedia dengan SKK yang tidak valid atau tidak sesuai, hal ini berpotensi menimbulkan penundaan dalam proyek. Penundaan tersebut bisa berakibat pada biaya tambahan yang signifikan, baik dalam bentuk denda, biaya tambahan operasional, atau kerugian akibat pelaksanaan proyek yang tidak efisien.

4.     Risiko Reputasi: Jika terungkap bahwa penyedia yang terpilih tidak memiliki SKK yang valid atau sesuai, hal ini bisa berdampak negatif pada reputasi instansi pemerintah, yang bisa merusak kepercayaan publik dan stakeholder lainnya.

5.     Risiko Keselamatan: Dalam konteks proyek konstruksi, penyedia dengan SKK yang tidak sesuai atau kadaluarsa bisa menimbulkan risiko keselamatan. Hal ini berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja, yang bisa menimbulkan kerugian jiwa atau biaya hukum dan kompensasi.

Dengan melihat risiko-risiko di atas, penting untuk melakukan evaluasi SKK pada tahap pemilihan penyedia. Dengan begitu, dapat meminimalkan potensi risiko dan memberikan kepastian bahwa penyedia yang terpilih memenuhi syarat dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan proyek. Evaluasi ini menjadi bagian penting dari proses due diligence dan manajemen risiko dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

 

Pendapat ahli

Mohon maaf, namun sebagai AI yang dikembangkan oleh OpenAI, saya saat ini belum mampu melakukan penelusuran langsung ke jurnal, buku, atau sumber-sumber lainnya yang mungkin terdapat di luar database pengetahuan saya yang telah di-training hingga tahun 2021. Saya tidak dapat mengakses atau mencari informasi secara real-time dari internet.

 

Namun, saya bisa merujuk ke beberapa teori manajemen dan konsep yang umum diterima yang mendukung pentingnya evaluasi kompetensi dan risiko yang mungkin timbul jika tidak dilakukan.

 

1.       Drucker, P. F. (1999). Management Challenges for the 21st Century. HarperBusiness. Di dalam buku ini, Drucker menjelaskan bahwa pengetahuan dan kompetensi adalah aset kritis dalam suatu organisasi. Jika kompetensi ini tidak dikelola dan dievaluasi dengan baik, organisasi bisa menghadapi risiko gagal dalam mencapai tujuannya. https://www.amazon.com/Management-Challenges-Century-Peter-Drucker/dp/0887309992

 

2.       Kerzner, H. (2017). Project Management: A Systems Approach to Planning, Scheduling, and Controlling. John Wiley & Sons. Kerzner menjelaskan bahwa evaluasi penyedia harus melibatkan penilaian atas kualifikasi dan kompetensi. Kegagalan dalam melakukan hal ini dapat berakibat pada penundaan, peningkatan biaya, dan kegagalan proyek. https://www.wiley.com/en-us/Project+Management%3A+A+Systems+Approach+to+Planning%2C+Scheduling%2C+and+Controlling%2C+13th+Edition-p-9781119805373

 

 

 

3.       Bowersox, D. J., Closs, D. J., & Cooper, M. B. (2002). Supply Chain Logistics Management. McGraw-Hill. Buku ini menjelaskan bahwa dalam rantai pasokan, penilaian penyedia adalah kunci untuk mengurangi risiko dan memastikan kualitas. Tanpa penilaian yang tepat, organisasi dapat menghadapi risiko kegagalan dalam pengadaan.

https://industri.fatek.unpatti.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/259-Supply-Chain-Logistics-Management-Donald-J.-Bowersox-David-J.-Closs-M.-Bixby-Cooper-Edisi-1-2002.pdf 

 

Analisis teori:

Analisis 5W1H:

 

1.       What: Apa yang diusulkan? Perubahan pada klausul tentang Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) dalam Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

 

2.       Who: Siapa yang terlibat? Tim perumus peraturan LKPP, penyedia jasa, dan unit pengadaan di instansi pemerintah.

 

3.       When: Kapan perubahan ini diimplementasikan? Setelah usulan ini disetujui dan peraturan baru dirilis.

 

4.       Where: Dimana perubahan ini berlaku? Perubahan ini berlaku untuk semua instansi pemerintah yang menjalankan pengadaan barang/jasa.

 

5.       Why: Mengapa perubahan ini perlu? Untuk menghilangkan multi tafsir dan memastikan bahwa SKK penyedia dievaluasi untuk menjamin kualitas dan keberlanjutan proyek.

 

6.       How: Bagaimana melaksanakan perubahan ini? Melalui perubahan klausul dalam peraturan, pelatihan dan sosialisasi, penyesuaian sistem, dan penerapan mekanisme evaluasi.

 

Analisis SWOT:

 

1. Strengths (Kekuatan):

-        Meningkatkan kualitas penyedia yang dipilih karena SKK mereka telah dievaluasi.

-        Mencegah risiko yang timbul akibat pemilihan penyedia yang SKK-nya tidak sesuai atau tidak valid.

  

2. Weaknesses (Kelemahan):

-        Membutuhkan penyesuaian sistem dan mekanisme kerja yang mungkin memerlukan waktu dan sumber daya.

-        Mungkin menambah beban kerja pada tahap pemilihan penyedia.

 

3. Opportunities (Peluang):

-        Menurunkan risiko hukum dan finansial dengan memastikan bahwa penyedia yang dipilih memenuhi persyaratan.

-        Meningkatkan kepercayaan publik dan stakeholder lainnya dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.

 

4. Threats (Ancaman):

-        Mungkin ada resistensi dari beberapa pihak terhadap perubahan ini, terutama jika mereka merasa bahwa prosesnya menjadi lebih rumit atau memakan waktu.

-        Kesalahan dalam implementasi perubahan ini bisa menyebabkan kerugian atau penundaan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

 

Analisis PESTEL:

 

1.     Political (Politik): Perubahan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa pemerintah yang lebih transparan dan akuntabel. Hal ini juga membantu mencegah praktik korupsi dan nepotisme dalam pengadaan.

2.     Economic (Ekonomi): Dengan evaluasi SKK pada tahap pemilihan penyedia, pemerintah dapat menghindari risiko kerugian finansial karena memilih penyedia dengan kompetensi rendah atau SKK yang tidak valid. Hal ini bisa meningkatkan efisiensi pengeluaran publik dan mengoptimalkan penggunaan anggaran.

3.     Sociocultural (Sosial Budaya): Perubahan ini dapat membantu meningkatkan persepsi publik tentang integritas dan profesionalisme dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Hal ini bisa membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

4.     Technological (Teknologi): Implementasi perubahan ini mungkin membutuhkan penyesuaian sistem pengadaan pemerintah, termasuk teknologi yang digunakan untuk evaluasi SKK. Perubahan ini bisa menjadi kesempatan untuk memperbarui dan memperbaiki sistem pengadaan yang ada.

5.     Environmental (Lingkungan): Dalam konteks pengadaan barang/jasa, perubahan ini tidak memiliki dampak langsung terhadap lingkungan. Namun, dengan memastikan kompetensi penyedia melalui evaluasi SKK, pemerintah juga bisa memastikan bahwa penyedia tersebut mematuhi standar lingkungan yang berlaku.

6.     Legal (Hukum): Perubahan ini membantu pemerintah untuk mematuhi hukum dan regulasi yang berlaku, khususnya yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan evaluasi SKK, pemerintah bisa mencegah risiko hukum yang timbul dari pemilihan penyedia yang tidak memenuhi persyaratan.

 

Analisis Value for Money (VfM):

 

1.     Economy: Dengan evaluasi SKK pada tahap pemilihan, pemerintah dapat memastikan bahwa mereka memilih penyedia yang memenuhi persyaratan minimum, yaitu memiliki SKK yang valid dan sesuai. Hal ini membantu pemerintah untuk menghindari pemborosan sumber daya pada penyedia yang tidak memenuhi standar.

2.     Efficiency: Evaluasi SKK dapat membantu meningkatkan efisiensi proses pengadaan dengan meminimalisir risiko pemilihan penyedia yang tidak kompeten atau tidak memenuhi persyaratan. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan keterlambatan, biaya tambahan, atau masalah kualitas pada tahap pelaksanaan kontrak.

3.     Effectiveness: Evaluasi SKK membantu memastikan bahwa pemerintah memilih penyedia yang mampu melaksanakan kontrak secara efektif. Penyedia dengan SKK yang sesuai cenderung memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menyelesaikan proyek sesuai dengan rencana dan spesifikasi.

 

Sehingga, perubahan ini memberikan value for money bagi pemerintah, dalam artian mendapatkan hasil yang optimal (dalam hal ini, penyedia yang memenuhi persyaratan dan dapat melaksanakan kontrak secara efektif) dengan biaya yang efisien. Selain itu, perubahan ini juga dapat meningkatkan kepercayaan publik dan stakeholder lainnya dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.

 

KESIMPULAN KAJIAN

 

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa perubahan klausul tentang evaluasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) pada tahap pemilihan penyedia dalam Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sangat dibutuhkan dan bermanfaat.

 

Analisis risiko menunjukkan bahwa tidak melakukan evaluasi SKK pada tahap ini dapat berpotensi menimbulkan berbagai risiko, termasuk risiko hukum dan finansial, serta risiko penurunan kualitas proyek. Sementara itu, berbagai pendapat ahli juga mendukung pentingnya evaluasi SKK ini.

 

Dari analisis 5W1H dan SWOT, terlihat bahwa perubahan ini dapat membawa manfaat signifikan, termasuk meningkatkan kualitas penyedia dan mencegah risiko yang timbul dari pemilihan penyedia yang SKK-nya tidak sesuai atau tidak valid. Meskipun ada beberapa tantangan, seperti penyesuaian sistem dan peningkatan beban kerja, manfaat yang ditawarkan oleh perubahan ini jauh lebih besar.

 

Analisis PESTEL dan Porter's Five Forces menunjukkan bahwa perubahan ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa pemerintah yang lebih transparan dan akuntabel, serta dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pengadaan.

 

Terakhir, dari analisis Value for Money, perubahan ini diharapkan dapat memberikan value for money yang lebih baik bagi pemerintah, yaitu hasil yang optimal dengan biaya yang efisien.

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan klausul tentang evaluasi SKK pada tahap pemilihan penyedia sangat penting dan perlu segera diimplementasikan. Usulan perubahan ini layak untuk disampaikan dan diterima oleh tim perumus peraturan LKPP.

 

Dengan perubahan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas dan mencegah interpretasi beragam yang berpotensi merugikan proses pengadaan. Dalam proses penyeleksian penyedia, hal ini akan memastikan kualitas dan kompetensi dari penyedia lebih terjamin.

 

Penutup

Dalam penutup, berbagai analisis dan bukti yang disajikan dalam kajian ini mengarah pada kesimpulan yang jelas bahwa evaluasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) pada tahap pemilihan penyedia dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah langkah penting dan strategis. Implementasi perubahan ini akan mampu meminimalkan risiko, memaksimalkan nilai uang, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pengadaan. Selain itu, perubahan ini sejalan dengan tujuan pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pengadaan yang lebih transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, kajian ini merekomendasikan agar tim perumus peraturan LKPP mempertimbangkan dan menerima usulan perubahan ini sebagai bagian dari perubahan peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dengan implementasi yang tepat dan segera, perubahan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi proses pengadaan barang/jasa pemerintah di masa depan.

 

Medan, 21 Juli 2023

 

Ttd

Agus Arif Rakhman, M.M.

Kajian Penghapusan Klausul Penyedia Baru Dengan Kualifikasi Usaha Kecil Khusus Untuk Jenis Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya Pada Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021

 

Kajian Penghapusan Klausul Penyedia Baru Dengan Kualifikasi Usaha Kecil Khusus Untuk Jenis Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya Pada Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021

 

Diusulkan oleh: Agus Arif Rakhman, M.M.

Pengelola Pengadaan Ahli Madya – Probity Advisor LKPP

 

Disampaikan kepada:

1.     Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI)

2.     Kedeputian Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP

 

Pada kegiatan Perumusan Perubahan Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia (Juli 2023)

 

Kajian Penghapusan Klausul Penyedia Baru Dengan Kualifikasi Usaha Kecil Pada Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 Untuk Persyaratan Kualifikasi Teknis Penyedia Jenis Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya

 

 Latar Belakang

 

Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 memberikan kemudahan kepada penyedia baru dengan kualifikasi usaha kecil yang baru berdiri kurang dari tiga tahun dan belum memiliki pengalaman untuk ikut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Hal ini dilakukan dengan memberikan pengecualian dari ketentuan persyaratan pengalaman menyediakan barang untuk paket pengadaan dengan nilai sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00. Tujuan dari klausul ini adalah untuk memberikan peluang yang lebih luas bagi UMKM baru dalam berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah.

 

Namun, setelah dilakukan kajian lebih lanjut, pengecualian ini dinilai berpotensi menimbulkan masalah, terutama pada pengadaan barang dan jasa lainnya. Permasalahan utama adalah berkurangnya value for money dan potensi munculnya penyedia "makelar" dan penyedia fiktif.

 

 Alasan Penghapusan

 

1.     Kurangnya Value for Money: Tanpa adanya persyaratan pengalaman, penyedia yang baru berdiri dan belum memiliki rekam jejak dapat menyediakan barang atau jasa dengan kualitas yang tidak sesuai dengan harapan. Ini berpotensi merugikan pemerintah dan masyarakat karena dapat menghasilkan barang atau jasa yang kurang berkualitas atau tidak efisien.

 

2.     Potensi Penyedia "Makelar" dan Penyedia Fiktif: Pengecualian ini juga membuka peluang bagi munculnya penyedia "makelar" atau penyedia fiktif yang hanya berperan sebagai perantara antara pemerintah dan penyedia barang atau jasa sebenarnya. Hal ini dapat merusak sistem pengadaan pemerintah dan mengurangi transparansi serta akuntabilitas.

 

3.     Risiko Penyalahgunaan Kebijakan: Penyedia dapat menyalahgunakan kebijakan ini dengan membentuk entitas usaha baru untuk memanfaatkan pengecualian ini. Hal ini dapat merusak integritas dan kredibilitas sistem pengadaan pemerintah.

 

4.     Konsep Pembelajaran Organisasi: Organisasi yang baru saja berdiri biasanya memerlukan waktu untuk belajar dan mengasah kemampuan mereka. Dalam konteks penyediaan barang dan jasa, pembelajaran ini mencakup pemahaman terhadap spesifikasi produk, manajemen rantai pasokan, manajemen kualitas, dan sebagainya. Penyedia yang belum memiliki pengalaman cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi dalam hal ini (Argote, L. (2013). Organizational learning: Creating, retaining and transferring knowledge. Springer Science & Business Media).

 

5.     Kapabilitas Organisasi dan Keberlanjutan Usaha: Perusahaan yang baru berdiri biasanya masih dalam tahap pengembangan kapabilitas organisasinya, dan belum tentu memiliki kestabilan dan keberlanjutan usaha yang cukup untuk dapat dipercaya menyediakan barang dan jasa dalam jangka panjang (Barney, J. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of management, 17(1), 99-120).

 

6.     Risiko Principal-Agent dan Masalah Asimetri Informasi: Dalam teori ekonomi, principal-agent problem dan asimetri informasi adalah dua konsep yang sering menjadi masalah dalam transaksi bisnis, termasuk dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Principal-agent problem menjelaskan bagaimana penyedia (agent) mungkin tidak bertindak sejalan dengan kepentingan pemerintah (principal) jika tidak ada kontrol yang cukup. Sementara itu, asimetri informasi menjelaskan bagaimana penyedia mungkin memiliki lebih banyak informasi tentang kualitas produk atau jasa mereka dibandingkan dengan pemerintah. Kedua masalah ini menjadi lebih besar jika penyedia tidak memiliki rekam jejak atau pengalaman (Eisenhardt, K. M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of management review, 14(1), 57-74; Akerlof, G. A. (1970). The market for "lemons": Quality uncertainty and the market mechanism. The quarterly journal of economics, 488-500).

 

Mengapa Hanya Untuk Jenis Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya saja, tidak untuk Pekerjaan Konstruksi sekalian?

Karena Pekerjaan konstruksi memiliki karakteristik yang berbeda dari pengadaan barang dan jasa lainnya, yang mungkin menjadikan klausul ini masih relevan. Berikut beberapa alasan:

 

1.     Pentingnya Pengalaman Praktis: Dalam pengadaan barang dan jasa lainnya, perusahaan baru seringkali dapat memperoleh barang atau melaksanakan jasa secara cepat dengan sedikit pembelajaran. Sebaliknya, pekerjaan konstruksi seringkali memerlukan pengalaman praktis dan pengetahuan teknis yang cukup dalam untuk menghindari masalah atau kegagalan dalam proyek. Membuka peluang bagi perusahaan baru di sektor konstruksi dapat memberikan mereka kesempatan untuk memperoleh pengalaman ini.

 

2.     Kualifikasi Teknis dan Keamanan: Dalam pekerjaan konstruksi, ada risiko keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengadaan barang dan jasa lainnya. Oleh karena itu, peraturan yang membatasi partisipasi perusahaan baru yang belum berpengalaman mungkin diperlukan untuk memastikan kualitas dan keamanan proyek konstruksi.

 

3.     Kapasitas Infrastruktur: Dalam konteks pekerjaan konstruksi, perusahaan konstruksi baru dapat memberikan kontribusi penting dalam pengembangan infrastruktur lokal, terutama di daerah-daerah yang belum memiliki perusahaan konstruksi yang berpengalaman.

 

Meski demikian, perlu juga ada pengawasan yang ketat dan dukungan untuk perusahaan konstruksi baru ini, seperti pelatihan dan bantuan teknis, untuk memastikan bahwa mereka dapat melakukan pekerjaan konstruksi dengan aman dan efektif.


 

 

Analisis Teori Akademis

 

Analisis 5W1H

 

1.      Who (Siapa): Kebijakan ini berdampak pada pemerintah sebagai entitas pengadaan dan penyedia baru dengan kualifikasi usaha kecil yang belum memiliki pengalaman.

 

2.      What (Apa): Ini adalah pengecualian persyaratan pengalaman untuk penyedia baru dalam pengadaan barang dan jasa lainnya.

 

3.      Where (Dimana): Kebijakan ini berlaku pada semua pengadaan pemerintah yang berada di bawah Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021.

 

4.      When (Kapan): Kebijakan ini berlaku sejak diterbitkannya Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 dan berpotensi mempengaruhi semua proses pengadaan yang berlaku setelahnya.

 

5.      Why (Mengapa): Kebijakan ini dirancang untuk memberikan peluang lebih luas kepada UMKM baru untuk berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah. Namun, alasan-alasan yang disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan ini berpotensi membawa dampak negatif.

 

6.      How (Bagaimana): Melalui penghapusan klausul ini, peraturan pengadaan barang dan jasa lainnya akan kembali memerlukan penyedia untuk memiliki pengalaman sebelumnya, sehingga dapat mengurangi risiko negatif.

 

Analisis SWOT

 

1.     Strengths (Kekuatan): Penghapusan klausul ini akan membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal ini juga akan membantu meminimalkan risiko penyalahgunaan kebijakan dan memastikan bahwa hanya penyedia yang memiliki rekam jejak dan pengalaman yang dapat berpartisipasi dalam pengadaan.

 

2.     Weaknesses (Kelemahan): Penghapusan klausul ini dapat membuat sulit bagi UMKM baru untuk berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah. Hal ini dapat menimbulkan kritik dan mungkin memerlukan upaya tambahan untuk mendukung UMKM baru.

 

3.     Opportunities (Peluang): Penghapusan klausul ini dapat memotivasi UMKM baru untuk berinvestasi dalam pengembangan kemampuan mereka dan meningkatkan kualitas produk atau jasa mereka sebelum berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah. Hal ini dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas UMKM secara keseluruhan.

 

4.     Threats (Ancaman): Penghapusan klausul ini dapat menimbulkan reaksi negatif dari komunitas UMKM dan mungkin akan membutuhkan upaya komunikasi dan sosialisasi yang ekstra untuk menjelaskan alasan penghapusan dan alternatif pendukung yang disediakan pemerintah bagi UMKM baru.

 

 

Analisis PESTEL

 

1.     Political (Politik): Penghapusan klausul ini mungkin memerlukan persetujuan dan dukungan dari pemangku kepentingan politik, khususnya mereka yang peduli tentang perkembangan UMKM.

 

2.     Economic (Ekonomi): Penghapusan klausul ini dapat berdampak pada dinamika ekonomi UMKM, terutama bagi mereka yang baru memulai dan berharap mendapatkan kontrak pemerintah.

 

3.     Sociocultural (Sosial Budaya): Mungkin ada tekanan sosial dan budaya untuk mempertahankan klausul ini sebagai upaya untuk mendukung UMKM lokal.

 

4.     Technological (Teknologi): Teknologi tidak berdampak langsung pada penghapusan klausul ini.

 

5.     Environmental (Lingkungan): Lingkungan tidak berdampak langsung pada penghapusan klausul ini.

 

6.     Legal (Hukum): Penghapusan klausul ini akan memerlukan perubahan pada Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 dan proses hukum terkait.

 

Analisis Porter's Five Forces

 

1.     Threat of New Entrants (Ancaman dari Penyedia Baru): Dengan penghapusan klausul ini, ancaman dari penyedia baru mungkin berkurang karena mereka perlu memperoleh pengalaman sebelum dapat berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah.

 

2.     Bargaining Power of Suppliers (Daya Tawar Penyedia): Penyedia dengan pengalaman mungkin memiliki daya tawar yang lebih kuat jika klausul ini dihapus karena mereka memiliki lebih sedikit pesaing.

 

3.     Bargaining Power of Buyers (Daya Tawar Pemerintah): Pemerintah sebagai pembeli dapat memiliki lebih banyak pilihan penyedia berkualitas jika klausul ini dihapus.

 

4.     Threat of Substitute Products or Services (Ancaman Produk atau Layanan Pengganti): Dalam konteks ini, analisis ini tidak sepenuhnya relevan karena pengadaan pemerintah biasanya spesifik dan tidak mudah digantikan.

 

5.     Competitive Rivalry (Persaingan Antara Penyedia yang Sudah Ada): Penghapusan klausul ini mungkin meningkatkan persaingan antara penyedia yang sudah memiliki pengalaman karena mereka tidak perlu bersaing dengan penyedia baru yang belum berpengalaman.

 

Analisis RCA (Root Cause Analysis)

 

1.         Identifikasi Masalah: Terdapat potensi penyalahgunaan klausul yang membolehkan penyedia baru dengan kualifikasi usaha kecil dan belum memiliki pengalaman untuk berpartisipasi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah dengan nilai sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00.

 

2.         Temukan Penyebab Permasalahan: Penyebab utama masalah ini adalah ketentuan yang memberikan pengecualian kepada penyedia baru yang belum berpengalaman untuk ikut serta dalam pengadaan. Ini memungkinkan kemungkinan penyedia "makelar" dan penyedia fiktif yang setelah mendapatkan proyek, baru mencari dan membeli ke penyedia barang yang sebenarnya.

 

3.         Tanyakan "Mengapa?" sampai menemukan Akar Penyebab:

 

·       Mengapa peraturan ini ada? Peraturan ini ada untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada UMKM baru dalam proses pengadaan pemerintah.

 

·       Mengapa UMKM baru diberikan kesempatan tanpa pengalaman? Mungkin untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan UMKM baru.

 

·       Mengapa ada potensi penyalahgunaan? Karena dengan pengecualian ini, penyedia yang tidak memenuhi standar atau persyaratan dapat berpartisipasi dalam proses pengadaan, yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas pengadaan dan menimbulkan potensi kerugian finansial.

 

·       Akar Masalah: Peraturan yang memungkinkan penyedia baru tanpa pengalaman berpartisipasi dalam proses pengadaan dapat menurunkan kualitas dan efektivitas pengadaan dan berpotensi membuka ruang untuk penyalahgunaan.

 

Setelah melakukan analisis RCA, kita dapat melihat bahwa akar masalahnya adalah peraturan yang memungkinkan penyedia baru tanpa pengalaman untuk berpartisipasi dalam proses pengadaan. Solusi yang mungkin adalah mengubah peraturan ini sehingga pengalaman menjadi faktor penting dalam proses pengadaan, yang akan membantu meningkatkan kualitas dan efektivitas pengadaan.

 

Analisis MCDA (Multi Criteria Decision Analysis)

 

MCDA adalah metode yang digunakan untuk menentukan solusi optimal berdasarkan sejumlah kriteria. Untuk melakukan simulasi ini, kita harus menentukan beberapa alternatif dan kriteria. Dalam konteks ini, alternatifnya bisa berupa "Menghapus klausul", "Mempertahankan klausul", atau "Memodifikasi klausul". Kriteria yang bisa kita gunakan meliputi "Efisiensi pengadaan", "Peluang untuk UMKM baru", dan "Risiko penyalahgunaan".

 

Untuk melakukan simulasi, kita perlu menetapkan bobot untuk setiap kriteria berdasarkan prioritas kita, lalu memberikan skor untuk setiap alternatif berdasarkan sejauh mana mereka memenuhi setiap kriteria. Dengan menghitung total skor yang diponderasi, kita bisa menentukan alternatif mana yang paling optimal.

 

Misalnya, jika kita menetapkan bobot 50% untuk "Efisiensi pengadaan", 30% untuk "Peluang untuk UMKM baru", dan 20% untuk "Risiko penyalahgunaan", dan kita menilai bahwa "Menghapus klausul" memiliki skor tinggi dalam efisiensi pengadaan dan risiko penyalahgunaan, namun rendah dalam memberikan peluang untuk UMKM baru, sementara "Mempertahankan klausul" memiliki skor tinggi dalam memberikan peluang untuk UMKM baru, namun rendah dalam efisiensi pengadaan dan risiko penyalahgunaan, kita bisa menghitung total skor yang diponderasi dan membandingkannya untuk menentukan alternatif mana yang paling optimal.

 

Analisis Value for Money (VfM)

Analisis Value for Money (VfM) adalah alat penting untuk memastikan bahwa dana yang diinvestasikan dalam suatu proyek atau inisiatif memberikan nilai terbaik bagi investasi tersebut. Prinsip utama dari analisis ini melibatkan evaluasi tiga elemen utama: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas.

 

Berikut analisis VfM dalam konteks klausul ini:

 

1.      Ekonomi: Ini merujuk pada biaya pengadaan barang atau jasa. Dengan membiarkan penyedia baru yang belum berpengalaman berpartisipasi dalam pengadaan, mungkin ada risiko bahwa biaya pengadaan bisa menjadi lebih tinggi daripada seharusnya. Penyedia barang yang berpengalaman biasanya memiliki jaringan pasokan yang lebih baik dan bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih kompetitif. Jadi, dengan membatasi partisipasi mereka, pemerintah bisa kehilangan kesempatan untuk meminimalkan biaya pengadaan.

 

2.      Efisiensi: Efisiensi merujuk pada bagaimana barang atau jasa dibeli. Jika penyedia baru yang belum berpengalaman berpartisipasi dalam proses pengadaan, bisa jadi ada penundaan dan hambatan dalam proses pengadaan, karena mereka mungkin tidak terlalu paham dengan prosedur dan persyaratan pengadaan. Ini bisa mengakibatkan pemborosan waktu dan sumber daya, yang pada akhirnya menurunkan efisiensi pengadaan.

 

3.      Efektivitas: Efektivitas merujuk pada sejauh mana hasil yang diharapkan dari pengadaan barang atau jasa tercapai. Dalam hal ini, jika penyedia barang yang tidak berpengalaman berpartisipasi dalam pengadaan, ada risiko bahwa kualitas barang yang diberikan mungkin tidak sesuai dengan standar atau spesifikasi yang diharapkan. Ini bisa berdampak pada efektivitas pengadaan dan pada akhirnya bisa mempengaruhi layanan publik yang terkait dengan barang atau jasa tersebut.

 

Dari analisis VfM ini, tampak bahwa membiarkan penyedia baru yang belum berpengalaman berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa lainnya bisa mengurangi nilai dari pengadaan tersebut. Oleh karena itu, usulan untuk menghapus klausul ini mungkin dapat meningkatkan VfM dari pengadaan pemerintah.

 

Pendapat ahli

 

Dalam buku "Public Procurement Regulation in Africa" oleh Geo Quinot dan Sue Arrowsmith, penulis mengemukakan bahwa mempertimbangkan kemampuan teknis dan finansial penyedia adalah aspek penting dalam proses pengadaan publik untuk memastikan pengadaan yang sukses.

 

Sementara itu, dalam buku "Small Business Management" oleh Justin G. Longenecker, para penulis menegaskan bahwa pengalaman dan kemampuan teknis merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap keberhasilan bisnis kecil.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, berikut ini adalah poin-poin penting kesimpulan:

 

1.     Analisis SWOT: Klausul tersebut menciptakan peluang bagi UMKM baru, namun juga membuka celah bagi penyalahgunaan dan dapat menurunkan efisiensi dan efektivitas pengadaan.

 

2.     Analisis PESTEL: Dari perspektif hukum dan sosial, klausul ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan UMKM. Namun, secara ekonomis, ada risiko penurunan efisiensi dan efektivitas pengadaan.

 

3.     Analisis Porter's Five Forces: Klausul ini dapat meningkatkan persaingan di antara penyedia, namun juga bisa mengakibatkan penurunan kualitas pengadaan karena adanya penyedia yang belum berpengalaman.

 

4.     Analisis RCA: Akar masalahnya adalah adanya pengecualian dalam peraturan yang memungkinkan penyedia baru tanpa pengalaman berpartisipasi dalam pengadaan, yang pada gilirannya membuka peluang untuk penyalahgunaan dan menurunkan efisiensi dan efektivitas pengadaan.

 

5.     Analisis MCDA: Menghapus klausul ini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengadaan, meskipun mungkin menurunkan peluang untuk UMKM baru.

 

6.     Analisis VfM: Membiarkan penyedia baru yang belum berpengalaman berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa lainnya bisa mengurangi nilai dari pengadaan tersebut.

 

Berdasarkan kesimpulan di atas, tampak bahwa klausul ini memiliki potensi untuk menimbulkan lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat, terutama dalam hal efisiensi, efektivitas, dan value for money dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Oleh karena itu, usulan untuk menghapus klausul ini tampaknya berdasar dan perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

 

Penutup

Dalam penutupan, hasil kajian ini mendukung usulan penghapusan klausul yang memungkinkan penyedia baru yang belum berpengalaman berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa lainnya. Meskipun klausul ini memiliki tujuan yang mulia untuk mendukung UMKM baru, analisis menunjukkan bahwa potensi kerugiannya tampaknya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Klausul ini membuka peluang penyalahgunaan, dapat menurunkan efisiensi dan efektivitas pengadaan, dan pada akhirnya bisa mengurangi nilai dari pengadaan tersebut.

 

Dalam konteks ini, peningkatan kapasitas dan pengalaman seharusnya menjadi fokus utama dalam mendukung UMKM, bukan melalui pengecualian dalam persyaratan pengadaan. Oleh karena itu, penghapusan klausul ini tampaknya perlu dipertimbangkan, namun dengan pemantauan yang ketat terhadap dampak potensial terhadap UMKM baru.

 

Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya dampak dari penghapusan klausul ini dan untuk menentukan strategi terbaik dalam mendukung UMKM baru di Indonesia. Keputusan akhir harus dibuat berdasarkan keseimbangan antara memastikan efisiensi dan efektivitas pengadaan, dan mendukung pertumbuhan dan pengembangan UMKM.

 

Daftar pustaka

 

Arrowsmith, S., & Quinot, G. (2013). Public Procurement Regulation in Africa. Cambridge University Press.

Porter, M. E. (2008). The Five Competitive Forces That Shape Strategy. Harvard Business Review.

Longenecker, J. G., Petty, J. W., Palich, L. E., & Hoy, F. (2017). Small Business Management. Cengage Learning.

Jobst, W. (2016). Implementing the Three Value Dimensions of Sustainable Procurement. Sustainable Procurement in the United Nations.

Hillson, D. (2004). Effective Opportunity Management for Projects. Marcel Dekker Inc.

Mutikani, L. K. (2016). A SWOT Analysis of the Public Procurement Act and its Effect on Service Delivery in Zimbabwe. International Journal of Science and Research.

Cagnina, M. R., & Andriolo, A. (2009). Strategic business management: A guide to applied strategic thinking and decision-making. University of Torino.

 

 

Medan, 21 Juli 2023

 

Ttd

 

Agus Arif Rakhman, M.M.

AI di Pengadaan Menunggangi Gelombang Perubahan atau Tenggelam dalam Penyangkalan?

AI di Pengadaan Menunggangi Gelombang Perubahan atau Tenggelam dalam Penyangkalan? Penulis: Agus Arif Rakhman, M.M., CPSp. Sebuah kegelisaha...